Apa itu Jurnalisme Data?
Benedicta Alvinta Prima
Pernahkan anda mengunjungi situs beritagar.id? Ada yang menarik dari situs berita online ini. Ya tentunya karena situs ini menyediakan kolom khusus untuk infografis. Lalu bagaimana awalnya hingga bisa ada infografis? Tentunya berawal dari data yang mereka miliki.
Data adalah kumpulan fakta. Sedangkan kerja jurnalis adalah mengumpulkan fakta yang bertebaran dilapangan dan menyajikannya menjadi sebuah informasi. Jadi, jurnalisme data adalah kumpulan fakta yang digunakan sebagai dasar analisis, penggambaran informasi dan pembuatan berita. Sebagai contoh yang dimaksud dengan data adalah jumlah kekerasan seksual pada anak di tahun 2016.
Jurnalisme data sebenarnya bukan lagi hal yang baru, namun dengan perkembangan teknologi data bisa dibuat secara gamblangdan mudah dipahami oleh users. Sama seperti dalam membuat laporan pada mata kuliah tertentu, dosen akan lebih percaya apabila ada data berupa angka yang dicantumkan. Begitulah kekuatan jurnalisme data yang dari tadi kita bicarakan.
Dengan data, jurnalis bisa melakukan hal-hal ini:
- Data membuat jurnalis memiliki wewenang lebih untuk memverifikasi.
- Data membuat jurnalis mengetahui informasi yang lebih besar.
- Data membuat jurnalis mudah mengetahui informasi baru
- Data bisa membuat informasi semakin efisien dan mudah dipahami
Benedicta Alvinta Prima
Sumber: Kompasiana
_____________________
Jurnalisme Data: Dari Data jadi Berita
Dio Prasasti
Data jurnalisme berbeda dengan jurnalisme biasa. Salah satu yang membedakan data jurnalisme dengan jurnalisme lain adalah, di dalam jurnalisme ini, ada data yang dipakai sebagai sumber berita utama. Data ini merupakan kumpulan dari berbagai berita yang pernah ada. Tidak hanya di media cetak atau penyiaran, data jurnalisme juga bisa dilakukan di media online.
Jurnalisme data berbeda dengan jurnalisme presisi. Dalam jurnalisme presisi, jurnalis mencari sendiri data- yang akan dibuat berita. Sementara dalam jurnalisme data, jurnalis menyajikan data yang sudah ada ke dalam sebuah bentuk tulisan. Jonathan Stray mengatakan bahwa jurnalisme data adalah mengumpulkan, melaporkan, dan mengkurasi atau memilih, lalu mempublikasikan data yang sesuai dengan kepentingan publik. Sementara dalam jurnalisme presisi, jurnalis menggunakan cara-cara yang hampir sama dengan penelitian untuk mencapai data yang empiris.
Di Indonesia sendiri, kompetisi tentang jurnalisme data sudah pernah diadakan. Pada hari Sabtu, 5 Maret 2016 tepatnya, digelar acara Indonesia Data Driven Journalism 2016. Acara ini diadakan dalam rangka merayakan International Open Data Day 2016 di Gedung Krida Bhakti, Kompleks Istana Negara, Jakarta. Acara ini digelar oleh One Data Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen Jakarta, AJI Indonesia, dan Jaringan Indonesia untuk Jurnalisme Investigasi (JARING). (Lengkapnya bisa dibaca di: https://kabar24.bisnis.com/read/20160305/15/525520/open-data-day-jurnalis-ikuti-kompetisi-jurnalisme-data).
Dalam hal ini, jurnalisme data juga berperan sebagai transparansi data ke masyarakat. Selain itu, data yang diungkap juga mampu memberitahu public bahwa isu yang terjadi tidaklah sederhana. Dengan adanya data, publik akan tahu bahwa isu yang terjadi lebih rumit dan kompleks. Dengan adanya data isu yang kompleks tersebut akan lebih mudah terungkap dan lebih mudah dipahami oleh publik. Tujuan lain adanya jurnalisme data adalah bagaimana agar jurnalis lebih peka terhadap data. Salah satu contoh jurnalisme data yang disajikan dengan menarik adalah sebagai berikut: https://www.guardian.co.uk/world/datablog/interactive/2010/oct/23/wikileaks-iraq-deaths-map
Kita bisa melihat bagaimana prinsip jurnalisme online seperti interaktivitas juga diperhatikan di dalam berita ini. Sehingga, pembaca juga bisa melihat secara detil apa yang terjadi. Selain itu, jurnalisme data juga bisa dibuat dengan menarik seperti berita di atas. Tentunya butuh niat untuk secara detil membuat data yang spesifik dan menarik seperti berita tersebut.
Sumber: Kompasiana
________________________
Pengertian Jurnalisme Data di http://www.komunikasipraktis.com/2016/11/pengertian-jurnalisme-data.html
______________
Microsoft Tekankan Pentingnya Pengolahan Jurnalisme Data yang Efisien bagi Industri Media
Teknologi Azure memungkinkan pengolahan data menjadi lebih mudah, terkontrol, dan aman di tengah terpaan arus informasi
Jakarta, 14 November 2016 – Perkembangan teknologi yang semakin pesat ditandai dengan meningkatnya jumlah pengguna internet di dunia. Hingga akhir tahun 2015 lalu, laporan State of Connectivity 2015: A Report on Global Internet Access mengungkapkan jumlah pengguna internet di dunia telah mencapai angka 3,2 miliar. Di era big data, penetrasi internet yang tinggi bersamaan dengan datangnya informasi data yang melimpah, menimbulkan tantangan baru bagi berbagai industri, salah satunya industri media yang kerap mengalami terpaan arus informasi secara berlebih atau information overload.
Big data merupakan kumpulan data yang muncul dengan jumlah sangat besar dan dapat diolah untuk kemudian dianalisis sesuai dengan keperluan tertentu seperti melakukan prediksi, membuat keputusan, membaca sebuah tren, melihat tingkah laku konsumen, dan lain sebagainya. Pada industri media, penulisan jurnalistik akan terlihat lebih rinci, menarik, dan kredibel, apabila disertai dengan penggunaan dan analisa data yang mendalam.
Salah satu organisasi yang fokus dalam mengolah data menjadi solusi adalah Provetic Indonesia. Melalui pendekatan sains dan teknologi, data bisa memberikan insight yang fungsional, baik bagi industri media maupun industri lainnya.
“Di era digital, kekuatan data sangat diperlukan oleh industri mana pun, termasuk media, agar industri bersangkutan dapat terus menyediakan layanan publik, menstimulasi pembangunan, memberikan informasi yang kredibel, serta selalu siap menghadapi tantangan bisnis yang ada,” ujar Shafiq Pontoh, Chief Strategy Officer, Provetic Indonesia. “Pun demikian, diperlukan ketelitian dalam memilah data saat akan digunakan sebagai sumber acuan, baik untuk penelitian maupun penulisan berita,” tambahnya.
Walaupun tren big data tengah berkembang pesat di Indonesia, tren jurnalisme data di Indonesia masih belum terlalu terdengar. Padahal, jurnalisme data merupakan salah satu bentuk pemanfaatan big data yang dapat dilakukan oleh industri media dan menjadi kebutuhan yang seolah tak bisa dipisahkan dari proses penulisan berita oleh para jurnalis. Selain melalui wawancara dan investigasi, penggunaan data yang valid dapat menjadi fakta kuat dalam sebuah berita.
Adapun tantangan terbesar dalam hal pemanfaatan data saat ini adalah masih minimnya tools pengolah data yang mudah digunakan, terutama bagi para jurnalis yang memilki kesibukan tinggi dengan tenggat waktu yang sempit.
Menjawab tantangan jurnalisme data tersebut, Microsoft Indonesia menekankan pentingnya Azure sebagai solusi pengolahan data yang mudah digunakan melalui pendekatan data yang lebih intensif dan terukur. Oleh karena itu, mulai dari penyimpanan data untuk bahan penulisan hingga kegiatan operasi sehari-hari serta manajemen data perusahaan, media dapat memanfaatkan Microsoft Azure. Tidak hanya dapat membantu jurnalis untuk mengolah data, Azure juga memungkinkan media sebagai perusahaan untuk mengefisiensikan biaya operasional karena pengguna cukup membayar sesuai dengan jenis pengolahan data yang diinginkan (pay-as-you-go).
“Saat ini, data menjadi aset berharga baik bagi organisasi maupun individu sehingga keberadaannya sangat signifikan di era transformasi digital ini,” ujar Tony Seno Hartono, National Technology Officer, Microsoft Indonesia. “Microsoft Azure hadir sebagai pilihan yang dapat mempermudah penggunanya ketika berurusan dengan data dan memastikan bahwa data tersebut aman, privasi data terlindungi, serta memastikan bahwa empunya data memiliki kontrol dan kepemilikan atas data secara konsisten sesuai dengan ekspektasi,” tambahnya.
Untuk memastikan keamanan data, layanan Microsoft Azure pun telah tersertifikasi ISO 27001 yang menjamin bahwa data aman, serta ISO 27018 yang membuat pemilik data nyaman karena akses terhadap data tersebut terjamin. Tidak hanya melalui Azure, Microsoft juga membantu jurnalisme data dengan Microsoft Power BI yang mampu mengubah data menjadi jauh lebih menarik secara visual. Melalui Power BI, jurnalisme data tidak hanya menjadi sekadar eksplorasi data, tetapi juga visualisasi data yang jauh lebih kaya sehingga dapat menarik lebih banyak audiens.
“Pengolah jurnalisme data di era big data menjadi kebutuhan yang mendesak. Keberadaan Microsoft Azure, Power BI, dan lain sebagainya menjadi tools yang diharapkan dapat membantu para jurnalis sehingga bisa menghasilkan berita yang lebih lengkap dan faktual,” tutup Tony.
Sumber: Microsoft News
____________________
Jurnalisme Data dan ‘Big Data’
ADITYA RIZKI YUDIANTIKA
Terkadang data kuantitatif tidak menghasilkan argumen yang menarik. Ia membutuhkan alur cerita.
ALAM
satu diskusi tentang “jurnalisme (dan) data” beberapa waktu lalu, rekan saya,
Wisnu Prasetya Utomo, melemparkan dua poin pertanyaan sebelum mengakhiri sesinya:
Apakah jurnalisme
data adalah istilah yang dibuat-buat padahal jurnalisme itu memang seharusnya
berdasarkan pada data?
Apakah tugas
jurnalis hanya menuliskan dan membunyikan data-data tanpa konteks dan tidak
menganalisisnya menjadi informasi yang lebih
berguna?
Untuk
menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kembali merujuk ke istilah dasar, apa itu
jurnalisme dan apa itu data. Menurut kamus Oxford, jurnalisme adalah aktivitas
atau profesi terkait menulis untuk surat kabar, majalah, atau berita daring (online),
termasuk aktivitas menyiapkan berita untuk disiarkan kepada publik lewat radio
maupun televisi. Adapun data adalah fakta atau statistik yang dikumpulkan untuk
keperluan analisis, bisa berupa data kuantitatif maupun data kualitatif, bisa
data mentah maupun ringkasan data (summary).
Agar
sebuah data menjadi bernilai maka perlu diolah menjadi informasi. Dari
penjelasan ini harus dibedakan penyebutan data dan informasi. Dalam studi
manajemen informasi, piramida ‘data-information-knowledge-wisdom’ secara jelas
menunjukkan bahwa kedudukan informasi lebih tinggi dibandingkan data.
Dari
kedua definisi itu, frasa “jurnalisme data” dihadirkan untuk tujuan yang
sedikit berbeda dengan jurnalisme secara umum. Istilah jurnalisme data—atau
biasa disebut data-driven journalism (DDJ)—mulai digunakan
sejak 2009. Istilah ini menggambarkan proses jurnalistik berdasar pada analisis
dan penyaringan ‘set data’ untuk membuat berita (news story).
Dalam
satu makalah yang ditulis Mirko Lorenz (dimuat dalam prosiding “Data-driven
journalism: what is there to learn”) pada satu konferensi DDJ tahun 2010, dia
menambahkan bahwa jurnalisme data memiliki pendekatan lebih luas. Ia tumbuh
seiring ketersediaan data terbuka (open data) yang bisa diakses oleh
publik dan dapat diolah lewat peranti lunak terbuka (open source).
Tujuannya menciptakan layanan baru di ranah publik, membantu konsumen, manajer,
dan politisi untuk memahami pola dan membuat keputusan dari temuan-temuan yang
ada. Harapannya bisa membantu menempatkan wartawan ke dalam peran yang lebih
relevan bagi masyarakat dengan pendekatan baru.
Dalam
makna lain, jurnalisme data digunakan untuk membedakan jurnalisme yang berbasis
set data ketimbang jurnalisme konvensional yang diramu berdasarkan talking
news. Jurnalisme konvensional yang saya maksud adalah produk jurnalisme
dari sebuah media, terutama media daring, yang diolah tanpa kedalaman, mengutip
sumber tanpa memberikan konteks yang jelas, serta menyebarkan informasi dengan
data yang kurang akurat dan tidak lengkap hanya untuk mengejar klik.
JIKA MERUNUT sejarahnya—saat
itu masih menggunakan istilah computer-assisted-reporting (CAR),
bentuk jurnalisme data pertama kali digunakan pada 1952 oleh jaringan CBS untuk
memprediksi hasil pemilihan presiden Amerika Serikat. Namun, banyak pakar yang
menyangsikan studi kasus itu sebagai bentuk jurnalisme data yang pertama karena
ia tidak pernah benar-benar menggunakan data. CAR lebih dikenal sebagai
pendekatan sistematis dan terorganisir pertama yang menggunakan peranti
komputer untuk mengumpulkan dan menganalisis data, sehingga diperoleh
peningkatan kualitas suatu berita atau laporan.
Barulah
pada 1967, Philip Meyer (saat itu bekerja untuk The
Detroit Free Press) menggunakan mainframe —komputer berukuran
besar berkecepatan tinggi—untuk menganalisis survei penduduk kota Detroit guna
memperoleh penjelasan terperinci tentang kerusuhan yang meletus di kota itu.
Satu dekade berikutnya, The Guardian memakai pendekatan yang sama untuk melihat
kasus kerusuhan rasial di Inggris dengan menyitasi karya Meyer. Meyer pernah
menulis Precision Journalism: A Reporter’s
Introduction to Social Science Methods (1973), sebuah buku berisi
teknik “jurnalisme presisi”—istilah lain sebelum dikenal jurnalisme data.
The
Guardian, The New York Times, The Texas Tribune, The Los Angeles Times,
ProPublica, dan Die Zeit adalah beberapa media daring yang memopulerkan model jurnalisme
data belakangan ini. Kendati jurnalisme data sudah dikenal saat media cetak
masih populer, proses analisis data selalu memerlukan mesin komputasi atau
komputer.
Saya
kira kasus Berkas Panama dan film Spotlight adalah dua contoh paling
gamblang guna menggambarkan secara konkret mengenai jurnalisme data.
Dalam
Berkas Panama misalnya, segundukan dokumen dari Monsack Fonseca masih berupa
data mentah. Ia lantas disigi oleh ratusan wartawan di seluruh dunia, lewat
koordinasi International Consortium of Investigative Journalists, guna
dianalisis untuk mengarah pada konteks-konteks tertentu. Temuan-temuan itu
dipublikasikan lewat jaringan kolaborasi media melalui pelbagai cara. Ada yang
memaparkan dalam bentuk ringkasan data, ada pula lewat visualisasi data
(grafis, video, animasi, dan media interaktif lain). Meski belum memiliki
konteks yang jelas, namun informasi singkatnya sudah cukup bisa dipahami
publik.
Misalnya,
informasi dasar soal apa itu Berkas Panama dan cara kerjanya, termasuk
nama-nama politikus, pengusaha, selebritas, seniman, dan olahragawan di seluruh
dunia yang menjadi klien firma hukum asal Panama itu.
Di
Indonesia, bentuk pelaporan mendalam yang diulas oleh
tim investigasi Tempo (sebagai salah satu media rekanan ICIJ untuk
menginvestigasi Berkas Panama) merupakan satu contoh produk jurnalisme data,
kendati isinya masih ringkasan. Sementara ulasan yang dilaporkan di beberapa
edisi majalah Tempo—mengaitkan beberapa pengusaha dan politikus Indonesia
dengan beberapa nama Indonesia yang terdaftar dalam Berkas Panama—merupakan
usaha media itu memberikan konteks dan mengembangkan temuannya.
Sama
halnya jika anda pernah menonton film Spotlight yang diangkat
dari kisah nyata. Data-data yang dikumpulkan oleh
tim investigasi Boston Globe awalnya masih berupa data mentah. Ia masih berupa
daftar pastur yang dipindahtugaskan maupun cuti—bukan data para pastur yang
terduga pedofil. Ia lantas dicocokkan dengan kesaksian para korban, wawancara
dengan pengacara dan bekas pastur, sebelumnya akhirnya melansir temuannya. Begitu laporan investigatif itu
dimuat dalam surat kabar, ternyata ada banyak warga yang mengaku pernah menjadi
korban dari jaringan sistemik yang melindungi para pelaku. Selain menggambarkan
bagaimana jurnalisme data bekerja, saya kira laporan Spotlight juga
telah menunjukkan fungsi jurnalisme data, yaitu memberikan wawasan bahwa masih
ada banyak korban yang tidak terekspos oleh media dan kasusnya tak pernah
diselesaikan selama bertahun-tahun.
APAKAH data-data yang disajikan
dalam bentuk infografik sudah informatif? Bisa ya, bisa tidak. Dari definisinya, infografik adalah representasi visual yang dapat berupa informasi maupun
data, misalnya dalam bentuk bagan atau diagram. Infografik ialah salah satu
bentuk untuk memvisualisasikan data.
Dalam
studi analisis data, istilah visualisasi data berarti cara menampilkan data ke
pelbagai tampilan multimedia (bisa berupa citra statis, video, maupun web
infografis). Tujuannya tak hanya untuk memaparkan data secara lebih menarik dan
mudah dipahami, tapi juga memberikan saripati (insight/ keypoint) yang
perlu diperhatikan. Infografik menjadi lebih informatif jika disertai dengan
ulasan yang kontekstual atas maksud infografik tersebut, bukan sekadar
menampilkan data.
Dalam
kasus di Indonesia, sangat sering kita menghadapi data-data dari pelbagai
sumber resmi yang belum rapi dan tidak terstruktur dengan baik. Ketidakjelasan
versi data rujukan juga seringkali jadi masalah tersendiri. Sebagai contoh, ada
data statistik soal kemiskinan yang dirilis Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian Desa—mana yang benar dan dapat dijadikan acuan? Bagaimanapun
jurnalisme data sangat bergantung pada data yang nilainya dapat
dipertanggungjawabkan. Meski masih kurang lengkap, direktori milik pemerintah
Indonesia yang terangkum dalam data.go.id adalah salah satu sumber
terpercaya untuk mendapatkan aneka data yang bisa diakses oleh publik.
Data
yang acak dan amburadul akan menyulitkan pra-proses penambangan data sebelum
dianalisis lebih lanjut. Perlu proses apa yang disebut “normalisasi data” agar
pengolahan data tersebut bisa optimal dan lebih mudah digunakan. Belum lagi
jika datanya bervolume besar, bahkan sangat besar: sekumpulan data dari tahun
ke tahun, terdiri dari ribuan baris dan ratusan kolom serta jutaan dokumen yang
berbeda format (teks, video, audio, halaman web, dll.).
Dari
sisi penyimpanan, banyak peranti penyimpanan digital yang cenderung lebih
portabel dan mampu menyimpan lebih dari miliaran bit data. Semakin hari
jumlahnya semakin bertambah pesat seiring kecepatan transfer data dari satu
medium ke medium lain. Bagaimana mengatasi timbunan data yang jumlahnya sangat
besar, acak, dan memiliki kecepatan pertumbuhan data yang tinggi?
Kasus-kasus
seperti itulah yang melahirkan istilah big data.
Big
data menjelaskan
sekumpulan set data yang sangat besar—biasanya disimpan dalam storage/server karena
mampu menyimpan lebih banyak data—yang dapat diolah untuk menemukan pola, tren,
dan asosiasi, yang berhubungan dengan perilaku dan interaksi manusia.
Istilah big data saya pikir dipakai untuk membedakan dari
istilah data secara umum yang berukuran ramping dan masih mungkin dianalisis
lewat pelbagai metode statistik.
Kelompok
riset dan studi META Group Research (2001) menyebutkan bahwa istilah big
data tidak hanya dicirikan oleh besaran atau volume data, tapi juga
oleh dua hal lain—disebut 3V termasuk kecepatan (velocity) dan keragaman
(variety).
Volume
berhubungan dengan ukuran data. Dalam konteks big data, ukuran
minimal sudah level terabit (bukan lagi megabit atau gigabit). Kecepatan
terkait aras pertumbuhan data, yang menunjukkan seberapa sering volume data itu
bertambah atau diperbarui. Sementara keragaman terkait jenis format data. Jika
anda menelusuri web penyedia data terbuka (open data), akan ada banyak
jenis format data yang ditawarkan (misal dalam bentuk .XLS, .SQL, .DOC, dll.).
Dari definisi ini menjadi jelas bahwa tak semua data dapat dikategorikan
sebagai big data.
Dalam
implementasinya, big data tak hanya membutuhkan ‘set data’
yang besar, yang keluarannya cenderung kuantitatif. Tricia Wang, etnografer
teknologi global, berpendapat bahwa big data sangat memerlukan thick data;
keduanya saling melengkapi. Istilah thick data diperoleh Wang
dari Clifford Geertz, antropolog yang pernah menulis The Religion of
Java, dalam esainya yang berjudul “Thick Description: Toward an
Interprettive Theory of Culture”.
Thick
data merupakan
metode kualitatif dengan pendekatan etnografi untuk mengungkap makna di
balik visualisasi dan analisis big data. Thick data menjabarkan
konteks sosial dari sebuah data melalui story (cerita). Cerita
yang dikumpulkan dan dianalisis menghasilkan sebuah wawasan, yang kemudian
menginspirasi desain, strategi, dan inovasi.
“Terkadang
data kuantitatif itu sendiri tidak menghasilkan argumen-argumen menarik. Bahkan
ilmuwan-ilmuwan membutuhkan alur cerita untuk menjelaskan poin-poin yang mereka
dapatkan,” jelas de Waal, primatologis dan ilmuwan biologi yang pernah
melakukan eksperimen dengan pendekatan thick data.
Tabel
1. Perbedaan Thick Data dan Big Data
Pertanyaannya,
siapakah yang bertugas untuk menganalisis big data dalam
sebuah bisnis atau perusahaan, misalnya?
Ada
yang menyebutnya sebagai analis data (data analyst) atau
ilmuwan data (data scientist). Meski mirip, tapi profesi
keduanya berbeda pada beberapa perusahaan. Analis data sebenarnya dikenal
sebelum ada istilah big data. Mereka adalah orang-orang yang
bertugas untuk mengamati data dan mencari pola dari data yang dikumpulkan dari
pelbagai sumber untuk menentukan kondisi dari sebuah entitas bisnis. Analis
data berusaha untuk menerjemahkan data tersebut agar dapat dipahami oleh para
pemimpin perusahaan.
Sementara
ilmuwan data bertugas melakukan eksperimen-eksperimen guna menemukan hal-hal
baru yang bisa bermanfaat untuk entitas bisnis. Ilmuwan data setidaknya memiliki tiga kemampuan, yaitu 1)
Memahami logika bisnis perusahaan (seperti yang dilakukan analis data); 2)
Mengolah data dengan pendekatan statistik dan matematis untuk mengetahui pola
data beserta algoritmanya; 3) Menggunakan peranti (tools) untuk
mengolah dan menganalisis data.
Kendati
penerapan big data saat ini lebih banyak diterapkan pada situs e-commerce,
media seperti New York Times melalui nytlabs.com belakangan sudah mulai
melakukan riset media dengan pendekatan big data. Di jajaran tim
riset dan pengembangan medianya, mereka telah menempatkan seorang ilmuwan data.
Mereka juga telah menciptakan beberapa peranti analisis yang mampu mengolah
sekumpulan data menjadi informasi dan visualisasi yang lebih mudah dipahami.
Misalnya mereka mengembangkan prototipe Delta yang berfungsi untuk
memvisualisasikan navigasi dan durasi waktu pengunjung saat membaca halaman
web nytimes.com beserta
relasinya.
MEMANGLAH tak ada kewajiban
seorang jurnalis untuk menganalisis data. Namun, jika data itu dapat
dikumpulkan dan diolah secara cepat, maka hal tersebut perlu dilakukan untuk
menguatkan opini penulis. Analisis data maupun analisis big data sekalipun
tetap memerlukan konteks yang akan menumbuhkan wawasan bagi pembaca. Dalam hal
ini, seorang yang punya kompetensi spesialis pada jurnalisme data, ia dikenal
sebagai jurnalis data.
Sarah Cohen, jurnalis asal Amerika Serikat
peraih Pulitzer untuk kategori peliputan investigatif (2002),
mengatakan bahwa analisis data dapat berguna untuk mengungkapkan “alur cerita”
dalam tulisan. Ada juga pendapat dari David McCandless, jurnalis data dan
desainer informasi asal Inggris pengelola blog informasi visual bertajuk ‘Information
is Beautiful’. Dia mendeskripsikan analisis data sebagai “cara
pandang baru” dalam menjelaskan sebuah masalah. Melalui analisis data,
setidaknya wartawan bisa menggeser fokus utama profesi dari “seseorang yang
paling pertama melaporkan sebuah berita” menjadi “orang pertama yang melaporkan
apa yang sesungguhnya terjadi.”
Apakah
jurnalisme data adalah momok dan bukan sesuatu yang menarik bagi jurnalis?
Ternyata tidak. Dalam sebuah survei yang dirilis oleh European Journalism Centre pada
2011 tentang kebutuhan pelatihan jurnalisme data, sebanyak
134 dari sampel 200 pekerja dan penggiat media menyatakan mereka sangat
tertarik dengan jurnalisme data, kendati bentuk jurnalisme ini masih baru bagi
mereka. Hasil survei itu menyimpulkan tiga pokok soal tantangan pelatihan
jurnalisme data:
Perlu pendekatan
sistematis untuk merancang kurikulum jurnalisme data;
Jurnalis dan
penerbit harus sama-sama belajar menganalisis data; dan
Perlu sebuah tim
untuk melakukan analisis data.
Saya
kira dengan kemunculan sejumlah media baru terutama di Jakarta, seiring tren
digital yang tak terhindarkan, jurnalisme data mulai dipakai di Indonesia,
sebagai upaya adaptasi atas perkembangan jurnalisme secara global. Mengutip
saran Hassel
Fallas, jurnalis data dari La Nación (Kosta Rika), dalam artikelnya yang cerdas: “Sekali kamu
belajar jurnalisme data, kamu harus berkomitmen untuk terus belajar. Bahkan
sekalipun kamu sudah sangat mampu dan paham benar atas teknik, perangkat, dan
metode dalam menganalisis dan memvisualisasikan data. Selalu ada tantangan di
depan: set data lebih besar, aplikasi baru yang perlu diuji, dan teknik-teknik
baru menerapkan pendekatan berbeda—yang fungsinya menumbuhkan partisipasi dari
orang-orang yang menjadikan ceritamu penting.”*
__
Rujukan:
Data-driven
journalism: what is there to learn? (2010). Data-driven Journalism
Roundtable. Amsterdam: European Journalism Centre. Baca juga buku dan
panduan jurnalisme data: http://datajournalismhandbook.org/ yang
diinisiasi oleh European Journalism Centre dan the Open Knowledge Foundation.
Data Analyst dan Data Scientist. (2014, November 10). (O. B. Indonesia, Produser)
Diambil kembali dari https://openbigdata.wordpress.com/2014/11/10/data-analyst-dan-data-scientist/
Data Journalism Handbook 1.0 (Beta). (t.thn.). (E. J. Centre, Produser) Diambil kembali
dari http://datajournalismhandbook.org/1.0/en/
Fallas,
H (2013, November 4). Data-Driven Journalism’s Secret. Diambil
dari ProPublica.org: https://www.propublica.org/nerds/item/data-driven-journalisms-secrets
Houston,
B. (2015, November 12). Fifty Years of Journalism and Data: A Brief
History. Diambil kembali dari Global Investigative Journalism
Network: http://gijn.org/2015/11/12/fifty-years-of-journalism-and-data-a-brief-history/
Laney,
D. (2001). 3-d data management: controlling data volume, velocity and
variety. META Group Research Note.
Lanin,
I. (2015, November 30). Infografik atau infografis? . Diambil
kembali dari Beritagar.id: https://beritagar.id/artikel/tabik/infografik-atau-infografis
Lorenz,
M. (2011, September 21). Training data driven journalism: Mind the gaps.
(D. D. Journalism, Produser) Diambil kembali dari http://datadrivenjournalism.net/news_and_analysis/training_data_driven_journalism_mind_the_gaps
Rowley,
J. (2007). The wisdom hierarchy: representations of the DIKW hierarchy. Journal
of Information and Communication Science, 33, 163-180.
Tempo,
T. I. (2016). Jejak Korupsi Global dari Panama. Diambil kembali
dari https://investigasi.tempo.co/panama/
Wang,
T. (2013, Mei 13). Big Data Needs Thick Data. Diambil kembali dari
Etnography Matters: http://ethnographymatters.net/blog/2013/05/13/big-data-needs-thick-data/
___________
Jurnalisme Data
DATA BERCERITA
Photo
(detail): © ldprod - Fotolia.com
Data
adalah bahan baku di zaman digital ini. Data dalam jumlah besar menjanjikan
cara riset dan format publikasi baru di dunia jurnalisme. Di Jerman pun
jurnalisme data terus berkembang.
Belum
pernah data dikumpulkan dalam jumlah dan dengan keragaman seperti sekarang,
untuk selanjutnya direkam dan disimpan dalam bank data. Bagi jurnalisme, banjir
data tersebut merupakan harta karun, karena mengandung informasi dan cerita
yang siap diungkapkan melalui penggabungan, pembobotan, dan penilaian.
Jurnalisme data – itulah nama yang disematkan kepada tren di mana himpunan data yang dapat dibaca oleh mesin dianalisis dengan perangkat lunak, sehingga data yang membeludak tersebut dapat menghasilkan nilai tambah berupa informasi yang koheren. Informasi itu harus disajikan dan divisualisasikan dengan cara yang mudah dipahami. Dalam keadaan ideal, jurnalisme data memungkinkan para pengguna menarik kesimpulan sendiri berkat penyediaan lingkungan riset interaktif serta publikasi data mentah – jurnalisme data mendobrak wujud linear format publikasi tradisional dengan memanfaatkan ciri khas internet: Hipertekstual, multimedial, dan interaktif.
Jurnalisme data – itulah nama yang disematkan kepada tren di mana himpunan data yang dapat dibaca oleh mesin dianalisis dengan perangkat lunak, sehingga data yang membeludak tersebut dapat menghasilkan nilai tambah berupa informasi yang koheren. Informasi itu harus disajikan dan divisualisasikan dengan cara yang mudah dipahami. Dalam keadaan ideal, jurnalisme data memungkinkan para pengguna menarik kesimpulan sendiri berkat penyediaan lingkungan riset interaktif serta publikasi data mentah – jurnalisme data mendobrak wujud linear format publikasi tradisional dengan memanfaatkan ciri khas internet: Hipertekstual, multimedial, dan interaktif.
AWAL MULA JURNALISME DATA
Jurnalisme data mula-mula digulirkan oleh
redaksi online harian Inggris The Guardian, yang
pada tahun 2010 mengolah ribuan dokumen rahasia mengenai Perang Afghanistan
yang diterima dari platform pengungkapan Wikileaks. Dari lebih dari 90.000
himpunan data dihasilkan laporan yang diperkaya dengan konten multimedia serta
grafik interaktif. Di samping itu, harian tersebut mengunggah bank data yang
dapat ditelusuri oleh pengguna. The Guardian kemudian
menjelaskan langkah itu sebagai suatu keharusan: Cara-cara lazim seperti teks
atau tabel kurang memadai untuk mengetahui kadar informasi yang terkandung
dalam himpunan data yang melimpah. Jurnalisme data, sebaliknya, menawarkan
kemungkinan riset dan publikasi yang bermakna.
PROYEK JURNALISME DATA DI JERMAN
The Guardian menjadi pelopor
jurnalisme data dengan mengolah informasi digital sehingga menjadi ramah
pembaca. Tidak lama kemudian jurnalisme data mulai merambah ke Jerman dalam
berbagai format. Salah satu yang paling dikenal adalah aplikasi “Verräterisches
Handy” (Ponsel pembocor rahasia) oleh Zeit Online di tahun
2011. Ketika itu, politikus Malte Spitz dari partai Die Grünen(Partai
Hijau) memberi akses kepada datanya yang tersimpan dalam kurun waktu Agustus
2009 sampai Februari 2010. Setelah ditampilkan dalam bentuk peta animasi, data
tersebut menunjukkan dengan tepat di mana Spitz berada pada setiap saat. Untuk
mempertegas betapa mendetail hidup seseorang dapat digambarkan, Zeit
online pun mengaitkan geodata tersebut dengan informasi mengenai Malte
Spitz yang tersedia bebas di internet, seperti cuitan atau artikel blog. Tema
pengawasan melalui penyimpanan data semakin dikembangkan melalui artikel
tambahan. Pengguna dapat mengunduh data tersebut, menelusuri hidup Spitz dengan
kecepatan yang dapat dipilih sendiri, serta mengunjungi titik waktu tertentu.
Sementara itu, format “Parteispenden-Watch” (Pemantau sumbangan partai) dari
harian taz sejak 2009 menampilkan sumbangan untuk partai politik dalam bentuk
peta interaktif. Berkat penyajian secara grafis berikut teks pendamping,
konteks sumbangan menjadi transparan dan dapat dipahami. Surat kabar Berliner
Morgenpost pun memilih pendekatan jurnalisme data untuk membahas tema
pengungsi: Berbagai grafik memperjelas tempat asal para pengungsi yang tiba
antara Januari dan Agustus 2015 dan di negara bagian mana saja mereka
ditampung.
HAMBATAN DI JERMAN
Jurnalisme data memang berkembang di Jerman, tetapi
prosesnya cenderung tersendat-sendat. Media Jerman harus menghadapi berbagai
rintangan. Peraturan perlindungan data yang ketat di Jerman kadang-kadang
menyebabkan para jurnalis sangat sulit memperoleh akses ke himpunan data.
Gerakan Open-Data pun, yang mencita-citakan kebebasan mengakses dan
memanfaatkan data yang dibiayai oleh negara dan yang dapat menjadi basis data
bagi banyak proyek jurnalisme data, belum terlalu didukung oleh birokrasi
Jerman. Selama ini publikasi data oleh instansi pemerintah bersifat sukarela
dan cenderung dikerjakan dengan setengah hati. Ditambah lagi karena hak cipta
Eropa-kontinental mencegah, misalnya, peta digunakan secara bebas untuk
keperluan visualisasi.
JURNALISME DATA MEMERLUKAN JURNALIS
Jurnalis data bekerja berdasarkan
prinsip-prinsip etika dan keahlian yang sama seperti jurnalis klasik. Namun
berhubung jurnalis data menggunakan material sumber dan peralatan yang berbeda,
peran mereka pun berubah: Dulu jurnalis memandang diri sebagai penjaga sumber
informasi, tetapi pada proyek jurnalisme data mereka kini dituntut lebih
terbuka. Sebab jurnalisme data didasarkan pada prinsip-prinsip budaya internet
yang bebas dan terbuka. Ini mencakup gagasan bahwa dengan beragih data dengan
para pengguna, redaksi akan memperoleh informasi baru yang berguna untuk
memperdalam pembahasan. Kecuali itu, para jurnalis memerlukan keterampilan
teknis untuk memanfaatkan peluang yang ditawarkan oleh internet dan
menghasilkan artikel yang sesuai. Di masa mendatang, riset tidak jarang juga
akan melibatkan “scraping”, yaitu penelusuran laman dan pengumpulan data
mentah.
Namun itu tidak berarti bahwa kaum jurnalis akan menjadi “penambang data”, ahli statistik, dan pembuat program. Dan itu juga tidak berarti bahwa ke depan jurnalisme tidak lagi membutuhkan jurnalis, karena program mungkin akan dapat secara mandiri meminta data dari bank data, mengolahnya, dan menyajikannya kembali. Berhubung data tidak dapat berbicara, kerangka jurnalisme klasik masih tetap diperlukan: Baru setelah sumber data dijelaskan, berbagai kaitan ditunjukkan, dan hasil-hasil dianalisis, himpunan data yang besar dapat memberikan nilai tambah berupa informasi.
Namun itu tidak berarti bahwa kaum jurnalis akan menjadi “penambang data”, ahli statistik, dan pembuat program. Dan itu juga tidak berarti bahwa ke depan jurnalisme tidak lagi membutuhkan jurnalis, karena program mungkin akan dapat secara mandiri meminta data dari bank data, mengolahnya, dan menyajikannya kembali. Berhubung data tidak dapat berbicara, kerangka jurnalisme klasik masih tetap diperlukan: Baru setelah sumber data dijelaskan, berbagai kaitan ditunjukkan, dan hasil-hasil dianalisis, himpunan data yang besar dapat memberikan nilai tambah berupa informasi.
Sumber: Goethe
0 komentar:
Posting Komentar