Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra | 08 Februari, 2017
Bila kepercayaan masyarakat terhadap jurnalisme runtuh maka demokrasi juga runtuh. Sebaliknya, makin bermutu jurnalisme dalam masyarakat, makin bermutu pula masyarakat tersebut.
tirto.id - Era digital adalah tantangan besar bagi media cetak. Di Jakarta, beberapa suratkabar bukan hanya cetaknya yang berhenti tapi institusinya ikut mati. Semua media besar—termasuk Kompas, Tempo, Jawa Pos, dan Bisnis Indonesia—membuat portal berita daring (online). Namun ada perbedaan standar jurnalisme antara versi cetak dan versi daring. Apa yang seharusnya dilakukan media yang bermula dari cetak di era serba digital? Apakah media cetak akan mati?
Wan Ulfa Nur Zuhra dari Tirto menemui Andreas Harsono di kediamannya akhir pekan lalu. Andreas belajar jurnalisme di Universitas Harvard bersama guru Bill Kovach. Pada 2001, pulang ke Jakarta, ia mengelola Majalah Pantau, khusus media dan jurnalisme. Namun majalah ini tutup pada 2003 karena kesulitan keuangan. Ia ikut mengubah majalah jadi Yayasan Pantau buat riset media dan pelatihan jurnalisme. Pada 2008, ia pindah bekerja untuk Human Rights Watch, organisasi hak asasi manusia, risetnya terutama soal kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama. Ia masih rutin menulis dan mengajar jurnalisme di kelas Yayasan Pantau.
Ketika radio muncul dan TV muncul, cetak pernah diramal mati, tetapi tidak. Ketika kelak penetrasi internet semakin besar, apakah cetak akan mati?
Itu istilahnya doomsday scenario bahwa kalau yang baru muncul, yang lama mati. Orang yang masih percaya gituan, menurut saya ekstrem. Sebaliknya, mereka yang mengatakan keadaan cetak akan sama seperti sebelumnya, juga tak realistis. Dalam buku Blur: How to Know What's True in the Age of Information Overload, karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, koran berubah ketika ada radio, radio berubah ketika ada TV. “We have been here before,” kata Kovach dan Rosenstiel.
Suratkabar pertama terbit pada 1604 di Jerman, Perancis, dan Inggris. Ia menciptakan opini publik sehingga orang-orang punya pendapat dan tak ingin masyarakat mereka diatur oleh para bangsawan dan agamawan. Ia melahirkan demokrasi. Ada pemilihan umum secara rutin guna pergantian pemimpin.
Ketika radio hadir pada 1840-an, teknologi audio membuat orang bisa mendengarkan berita langsung, termasuk saat Perang Dunia II. Koran menyesuaikan diri. Ketika TV hadir pada 1950-an, juga ada penyesuaian dari koran dan radio. Siaran langsung televisi berlangsung saat CNN meliput Perang Teluk secara live pada 1991. Pemirsa bisa langsung lihat roket diluncurkan dan meledak di Baghdad.
Internet juga begitu. Barack Obama adalah presiden Amerika Serikat pertama dalam era internet. Dia punya account Facebook, YouTube, Twitter. Media cetak menyesuaikan. Di Amerika Serikat, laporan-laporan di koran tak sekadar breaking news.
Secara bisnis dan kue iklan pun terjadi perubahan. Google dan Facebook mengambil banyak porsi iklan. Namun, media cetak bertahan. Industri buku, misalnya, tergerus banyak oleh e-book dengan perangkat macam Kindle dan iPad. Namun, kenikmatan membaca buku, membolak-balik halaman, sambil tiduran, dan memahami naskah panjang, belum bisa diubah penuh. Jadi kita masih mengalami pergeseran tersebut.
Itu kan buku, bagaimana dengan koran?
Saya tak mau gegabah mengatakan media cetak akan seratus persen mati. Saya sadar ada perubahan besar pada bisnis cetak tapi kelak jadinya seperti apa dan bagaimana, saya belum tahu. Kita masih menyaksikan revolusi komunikasi ini berjalan. Kita tak tahu apa yang terjadi besok.
Menghadapi gempuran internet, apakah media cetak harus mempertimbangkan untuk menghentikan cetaknya?
Tidak akan drastis, harus pelan-pelan.
Kenapa?
Karena pemasang iklan cetak masih ada sementara untuk online belum jelas pendapatan dari mana. Ini belum lagi penetrasi internet. Kalau Anda pergi ke Manokwari, Anda masih setengah mati sambungan internet. Artinya, iklan cetak juga masih ada.
Kalau kita lihat di Amerika, pembaca sekarang mulai bayar. Berita mereka baru bisa dibaca kalau berlangganan. Ini dilakukan oleh media seperti New York Times, Wall Street Journal, Washington Post, banyak sekali. Saya langganan The Economist, New York Times, Washington Post, The New Yorker, satu bulan sekitar Rp1,2 juta. Lumayan mahal.
Di Indonesia, kita perlu keteguhan, waktu dan dana untuk mendidik pembaca agar mau dukung berita online. Sekarang mereka belum mau, kita tak bisa memaksa, tapi dengan begitu banyak hoax dan berita palsu, seharusnya ia jadi kesempatan bagi media untuk mengatakan kepada masyarakat bahwa kalian perlu jurnalisme yang bermutu. Kalian perlu mendukung jurnalisme bermutu dengan memberikan sumbangan uang. Dewan Pers seharusnya mendorong media buat mendapat dukungan dana dari masyarakat.
Di Amerika itu medianya bermigrasi dari cetak ke online, sementara di Indonesia, media yang awalnya berbasis cetak kemudian membuat produk online dan ditujukan untuk liputan yang cepat.
Ini mengganggu saya sejak saya selesai belajar di Universitas Harvard lantas diminta jadi redaktur Majalah Pantau pada 2001. Ini keputusan yang aneh. Di Amerika, banyak sekali media online dengan naskah panjang dan dibuat dalam waktu lama. Di Indonesia, praktik ini membuat brand media digerogoti karena toleransi buat eror lebih tinggi dalam media online mereka sendiri.
Bagaimana caranya agar media yang basisnya cetak bisa mentransfer kualitas jurnalisme yang baik ke mediumnya yang digital?
Ada dua pendekatan. Pertama, wartawan harus dididik buat berpikir media digital. Dalam buku Blur disebutkan 16 pendekatan digital. Misalnya, wartawan perlu sediakan link pada kata-kata kunci, perlu link organisasi atau orang yang ditulis dalam laporan mereka, sediakan transkrip wawancara, ada rekaman video atau audio, ada biografi si wartawan, sediakan Frequently Asked Questions, pendekatan “crowd source” –minta informasi tambahan dari publik. Jangan lupa perlu ada koreksi dan update. Ini banyak beda dengan pendekatan cetak di mana pendekatan wartawan lebih soal side bar, tanya-jawab, pull quotes dan sebagainya.
Perubahan kedua pada policy maker. Mereka perlu memahami ada revolusi besar komunikasi. Peranan media sebagai penjaga pagar masyarakat sudah runtuh. Kasarnya, sekarang setiap orang bisa jadi produsen informasi lewat Twitter, Facebook, WhatsApp, blog, video dan sebagainya. Pemerintah Indonesia –maupun pemerintah lain di seluruh dunia—pusing lihat hoax dan berita palsu.
Policy maker harus mengerti perubahan tersebut dan melakukan investasi pada jurnalisme. Bukan sebaliknya. Mengapa? Karena jurnalisme diperlukan dalam demokrasi. Bila kepercayaan masyarakat terhadap jurnalisme runtuh maka demokrasi juga runtuh. Sebaliknya, makin bermutu jurnalisme dalam masyarakat, makin bermutu pula masyarakat tersebut.
Policy maker perlu tahu bahwa pada era internet ada delapan peran wartawan. Kovach dan Rosenstiel meyebutnya sebagai authenticator; sense maker; investigator; saksi mata; empowerer; smart aggregator; forum organizer dan menjadi role model.
Authenticator misalnya memerlukan peranan media buat meneliti apakah suatu dokumen memang autentik. Misalnya, rekaman Rizieq Shihab dan Firza Husein, media perlu lakukan proses verifikasi untuk menerangkan kepada warga apakah autentik atau bukan.
Sense maker misalnya mensyaratkan wartawan menerangkan sesuatu masuk akal atau tidak. Misalnya, soal tuduhan Gubernur Basuki Purnama lakukan penodaan agama Islam. Masuk akal atau tidak ucapan tersebut? Mengapa lebih 60 persen negara-negara di muka bumi tak memakai lagi hukum penodaan agama? Atau mengingatkan pembaca pada gugatan 2009-2010 dari Abdurrahman Wahid di Mahkamah Konstitusi bahwa pasal penodaan tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Ia harus dicabut.
Sayangnya, saya justru melihat para pemimpin media berpikiran cadok. Pandangannya sempit. Mereka banyak tak melihat perubahan peran media dalam era internet. Mereka masih pakai jurnalisme cetak dalam medium internet.
Misalnya?
Pada 2003, saya ke Surabaya menemani Bill Kovach dan bertemu dengan Dahlan Iskan dari Jawa Pos. Dahlan Iskan memperlihatkan gedung Graha Pena dan ruang redaksi mereka yang luas. Kami terkesan sekali. Semua disebutnya konvergensi. Berbagai suratkabar maupun televisi dicampur jadi satu ruang redaksi. Lalu dibikin Jawa Pos News Network. Tak perlu lagi wartawan dari Surabaya pergi ke Papua karena sudah ada Cenderawasih Pos di Jayapura. Kelihatannya masuk akal, hemat biaya, tapi Dahlan Iskan tak sadar bahwa dua kepala wartawan lebih bagus daripada satu kepala.
Audiens Cenderawasih Pos, anak Jawa Pos di Jayapura, dikhayalkan secara berbeda dari audiens mereka di Surabaya. Setiap orang yang menulis punya khayalan terhadap warga yang mereka layani. Ini dua khayalan berbeda. Ketiga, tentu kedekatan wartawan di Jayapura terhadap sumber-sumber mereka atau isu-isu yang mereka liput, berbeda dengan wartawan di Surabaya. Ini belum lagi praktik suap dan mata-mata di kalangan wartawan Jayapura. Itu semua tak diperhatikan dalam konvergensi. Saya kritik praktik tersebut tapi tak didengar Dahlan Iskan. Ia malah dilakukan Tempo, induk perusahaan Jawa Pos di Jakarta.
Saya kritik Kompas Gramedia ketika bikin Kompas.com yang berbeda dengan Harian Kompas. Belakangan juga dibikin Kompasiana buat blogger—siapa pun bisa menulis tanpa proses penyuntingan oleh dan tanpa Kompas Gramedia mau bertanggung jawab. Mereka merusak brand Kompas. Ini adalah pemikiran yang cadok. Mereka menekankan proses pengambilan keputusan mereka semata pada sisi ekonomi tanpa berhitung, secara serius, sisi jurnalisme dan demokrasi. Tapi sebagian dari mereka mulai kritis. Mereka mulai sadar perlu perubahan mindset di tingkat wartawan dan policy maker.
Sebaiknya media yang punya lebih dari satu medium ini menata cara kerja wartawannya dengan cara bagaimana?
Satu newsroom saja dengan satu standar liputan dan penulisan. Kode etika harus satu, berlaku buat semua wartawan penuh waktu, paruh waktu maupun penulis opini. Menurut Bill Kovach, ruang redaksi tetap satu tapi divisinya beda-beda termasuk divisi digital.
Minggu lalu, Michael Luo diangkat sebagai redaktur digital dari majalah The New Yorker: NewYorker.com. Luo mantan redaktur metropolitan harian New York Times—ini salah satu desk yang paling cepat pergantian beritanya di website NYTimes.com. Luo bertanggungjawab kepada David Remnick, redaktur The New Yorker. Standar sama, kode etik sama, sistem penggajian sama, tapi divisi beda. Tetap satu badan hukum, satu perusahaan.
Singkatnya, Kompas Gramedia memakai sistem penggajian beda serta proses penyuntingan beda antara Harian Kompas dan Kompas.com. Perusahaan beda, badan hukum beda. Konvergensi pertimbangannya terutama uang. Sementara jurnalisme itu pertimbangannya melayani masyarakat. Tentu lebih mahal jika dibandingkan dengan tidak konvergensi. Tapi, jangka panjang terbukti berhasil, New York Times membuktikannya.
New York Times menolak mengurangi jumlah wartawan. Ketika internet menyerbu, mereka kesulitan keuangan, tapi mereka tak percaya dengan menurunkan mutu jurnalisme mereka. Lainnya, menutup biro luar negeri, memotong gaji, pengurangan wartawan bahkan menutup sebagian perusahaan mereka.
Hasilnya apa? Sepuluh tahun kemudian, NYTimes berjaya. Sekarang pelanggan NYTImes.com 3,3 juta. Tak ada media lain di dunia yang pelanggan digitalnya sebesar itu.
Tempo pernah melakukan itu, satu newsroom, tapi tetap ada divisinya. Persoalan yang kemudian muncul adalah tumpang-tindih. Bagaimana menurut Anda?
Itu hanya persoalan koordinasi saja. Kalau struktur organisasi baik dan prioritas jernih, saya kira, bisa diatasi. Persoalannya, pada 2001 Tempo go public dan menerbitkan Koran Tempo. Saya ikut dengar perdebatan internal mereka. Saya heran ketika penetrasi internet sudah mulai masuk, mereka bikin harian. Kalau Tempo memakai dana tersebut buat memperkuat Tempo Interaktif, saya kira, hari ini mereka tak perlu memotong gaji redaktur mereka.
Sekarang yang terjadi adalah konvergensi setengah jadi. Harian Kompas berbeda dengan Kompas.com. Tempo.co berbeda dengan Majalah Tempo. Beberapa wartawan Harian Kompas, termasuk Maria Hartiningsih, sering bilang, “Ah itu Kompas.com bukan kami.” Seharusnya Kompas membuat pembicaraan besar di semua ruang redaksi mereka, termasuk Kompas TV, agar standar mereka sama.
Untuk media-media yang awalnya berbasis cetak, lalu ingin bermigrasi ke digital, bagaimana mereka bisa bertahan secara bisnis?
Media yang tak punya subsidi dari kelompok non-media, misalnya Tempo dan Jawa Pos, akan lebih sulit. Mereka beda dengan Kompas Gramedia yang punya bisnis non-media. Kelompok lain seperti MNC dengan berbagai bisnis Hary Tanoesoedibjo; TVOne dengan Bakrie; Berita Satu dengan Lippo; Trans TV, Detik, dan CNN Indonesia dengan Chairul Tanjung; lebih punya ruang dan uang buat menghadapi perubahan masyarakat sampai mau bayar. Tempo tak punya ruang dan uang, mungkin sepuluh tahun lagi, sampai orang mau bayar.
Bagaimana model bisnis media dengan mengandalkan iklan ini sebaiknya diatasi?
Mau tidak mau, harus pasang pagar agar orang membayar buat baca. Model bisnis ini sudah berjalan selama 200 tahun tapi model ini digerus oleh internet. Kalau media tak sekuat dan sekokoh NYTimes atau Washington Post, saya khawatir, bakal takkan sabar mendidik pembaca buat bayar.
Namun, ada dua model lain buat menjaga jurnalisme. Charles Lewis bikin riset buat Reuters Institute for the Study of Journalism. Dia mengatakan model bisnis yang harus dikembangkan adalah jurnalisme nirlaba. Mereka tak mengandalkan iklan tapi sumbangan. Dia memberi contoh ProPublica maupun International Consortium of Investigative Journalists yang bikin geger dengan investigasi Panama Papers.
Lewis juga mengingatkan bahwa banyak lembaga swadaya masyarakat, termasuk Human Rights Watch tempat saya bekerja, juga menyediakan jurnalisme. Di Indonesia, salah satu media nirlaba yang menonjol adalah IndoProgress dan Mongabay. Saya berharap organisasi macam KontraS, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Indonesia Corruption Watch dan lainnya juga perlahan mengubah website mereka jadi media jurnalisme.
Banyak media Indonesia membuat platform online yang beritanya mengandalkan kecepatan?
Saya ingat pernah bicara dengan Toriq Hadad, salah satu direktur PT. Tempo Inti Media Tbk. pada tahun 2000. Saya bilang, “Jangan Mas Toriq. Jangan dibikin beda.”
Mengapa Anda bilang begitu?
Karena sebaiknya tak ada perbedaan dalam standar jurnalisme, apapun mediumnya. Kecepatan tak boleh mengorbankan verifikasi. Esensi jurnalisme adalah verifikasi. Kalau demi kecepatan ada gap kualitas, yang kena brand Tempo. Warga tak bisa membeda-bedakan. Ini majalah, ini internet. Saya khawatir sekarang kekhawatiran saya terjadi. Banyak orang bilang mutu Tempo tak sekuat Tempo sebelum pembredelan. Bukan mutu wartawan berbeda tapi metode kerja berbeda. Saya tentu harus mengatakan pembredelan antara 1994 sampai 1998 ikut memengaruhi kekuatan sumber daya mereka.
Lalu, apa yang harus dilakukan?
Harus kembali pada jurnalisme. Jangan terlalu memikirkan sudah terlanjur ada gedung, ada karyawan, ada income. Tentu dari segi manajemen, takkan semudah saya mengatakannya. Saya tahu ini tidak gampang, tetapi tetap cara pandangnya mesti cara pandang jurnalisme, bukan semata-mata laba. Orang yang pertama kali bilang kematian cetak adalah Rupert Murdoch, tapi kalau kita baca, dia juga tidak mengatakan akan langsung mati. Murdoch memutuskan semua isi dari New Corps harus dibayar.
Bagaimana jika kelak generasi baby boomers sudah tiada, generasi milenial sudah menua, dan generasi Z yang sejak lahir sudah akrab dengan layar mendewasa. Apakah koran masih akan dibaca?
Anak saya, Norman, sekarang umur 20 tahun, sudah tak membaca koran. Dia sejak bisa membaca sudah mengenal Google. Pola konsumsi informasinya adalah lean forward—bukan lean back, duduk dan membaca apa yang disajikan koran atau televisi. Generasi lean forward ini mencari informasi, mencari hiburan, semuanya dengan search engine. Mereka tak terikat pada satu media. Mereka bahkan tak terikat satu bahasa. Norman membaca berita dalam bahasa Indonesia, Inggris maupun Perancis. Dia mencari lawakan entah dari negara mana saja. Apakah dia tak suka baca koran? Terkadang kalau dia lihat New York Times di pesawat, dia juga ambil dan baca. Tapi dia lebih rutin baca NYTimes.com. Revolusi sedang terjadi, kita tak tahu kita akan ke mana.
Wan Ulfa Nur Zuhra dari Tirto menemui Andreas Harsono di kediamannya akhir pekan lalu. Andreas belajar jurnalisme di Universitas Harvard bersama guru Bill Kovach. Pada 2001, pulang ke Jakarta, ia mengelola Majalah Pantau, khusus media dan jurnalisme. Namun majalah ini tutup pada 2003 karena kesulitan keuangan. Ia ikut mengubah majalah jadi Yayasan Pantau buat riset media dan pelatihan jurnalisme. Pada 2008, ia pindah bekerja untuk Human Rights Watch, organisasi hak asasi manusia, risetnya terutama soal kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama. Ia masih rutin menulis dan mengajar jurnalisme di kelas Yayasan Pantau.
Ketika radio muncul dan TV muncul, cetak pernah diramal mati, tetapi tidak. Ketika kelak penetrasi internet semakin besar, apakah cetak akan mati?
Itu istilahnya doomsday scenario bahwa kalau yang baru muncul, yang lama mati. Orang yang masih percaya gituan, menurut saya ekstrem. Sebaliknya, mereka yang mengatakan keadaan cetak akan sama seperti sebelumnya, juga tak realistis. Dalam buku Blur: How to Know What's True in the Age of Information Overload, karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, koran berubah ketika ada radio, radio berubah ketika ada TV. “We have been here before,” kata Kovach dan Rosenstiel.
Suratkabar pertama terbit pada 1604 di Jerman, Perancis, dan Inggris. Ia menciptakan opini publik sehingga orang-orang punya pendapat dan tak ingin masyarakat mereka diatur oleh para bangsawan dan agamawan. Ia melahirkan demokrasi. Ada pemilihan umum secara rutin guna pergantian pemimpin.
Ketika radio hadir pada 1840-an, teknologi audio membuat orang bisa mendengarkan berita langsung, termasuk saat Perang Dunia II. Koran menyesuaikan diri. Ketika TV hadir pada 1950-an, juga ada penyesuaian dari koran dan radio. Siaran langsung televisi berlangsung saat CNN meliput Perang Teluk secara live pada 1991. Pemirsa bisa langsung lihat roket diluncurkan dan meledak di Baghdad.
Internet juga begitu. Barack Obama adalah presiden Amerika Serikat pertama dalam era internet. Dia punya account Facebook, YouTube, Twitter. Media cetak menyesuaikan. Di Amerika Serikat, laporan-laporan di koran tak sekadar breaking news.
Secara bisnis dan kue iklan pun terjadi perubahan. Google dan Facebook mengambil banyak porsi iklan. Namun, media cetak bertahan. Industri buku, misalnya, tergerus banyak oleh e-book dengan perangkat macam Kindle dan iPad. Namun, kenikmatan membaca buku, membolak-balik halaman, sambil tiduran, dan memahami naskah panjang, belum bisa diubah penuh. Jadi kita masih mengalami pergeseran tersebut.
Itu kan buku, bagaimana dengan koran?
Saya tak mau gegabah mengatakan media cetak akan seratus persen mati. Saya sadar ada perubahan besar pada bisnis cetak tapi kelak jadinya seperti apa dan bagaimana, saya belum tahu. Kita masih menyaksikan revolusi komunikasi ini berjalan. Kita tak tahu apa yang terjadi besok.
Menghadapi gempuran internet, apakah media cetak harus mempertimbangkan untuk menghentikan cetaknya?
Tidak akan drastis, harus pelan-pelan.
Kenapa?
Karena pemasang iklan cetak masih ada sementara untuk online belum jelas pendapatan dari mana. Ini belum lagi penetrasi internet. Kalau Anda pergi ke Manokwari, Anda masih setengah mati sambungan internet. Artinya, iklan cetak juga masih ada.
Kalau kita lihat di Amerika, pembaca sekarang mulai bayar. Berita mereka baru bisa dibaca kalau berlangganan. Ini dilakukan oleh media seperti New York Times, Wall Street Journal, Washington Post, banyak sekali. Saya langganan The Economist, New York Times, Washington Post, The New Yorker, satu bulan sekitar Rp1,2 juta. Lumayan mahal.
Di Indonesia, kita perlu keteguhan, waktu dan dana untuk mendidik pembaca agar mau dukung berita online. Sekarang mereka belum mau, kita tak bisa memaksa, tapi dengan begitu banyak hoax dan berita palsu, seharusnya ia jadi kesempatan bagi media untuk mengatakan kepada masyarakat bahwa kalian perlu jurnalisme yang bermutu. Kalian perlu mendukung jurnalisme bermutu dengan memberikan sumbangan uang. Dewan Pers seharusnya mendorong media buat mendapat dukungan dana dari masyarakat.
Di Amerika itu medianya bermigrasi dari cetak ke online, sementara di Indonesia, media yang awalnya berbasis cetak kemudian membuat produk online dan ditujukan untuk liputan yang cepat.
Ini mengganggu saya sejak saya selesai belajar di Universitas Harvard lantas diminta jadi redaktur Majalah Pantau pada 2001. Ini keputusan yang aneh. Di Amerika, banyak sekali media online dengan naskah panjang dan dibuat dalam waktu lama. Di Indonesia, praktik ini membuat brand media digerogoti karena toleransi buat eror lebih tinggi dalam media online mereka sendiri.
Bagaimana caranya agar media yang basisnya cetak bisa mentransfer kualitas jurnalisme yang baik ke mediumnya yang digital?
Ada dua pendekatan. Pertama, wartawan harus dididik buat berpikir media digital. Dalam buku Blur disebutkan 16 pendekatan digital. Misalnya, wartawan perlu sediakan link pada kata-kata kunci, perlu link organisasi atau orang yang ditulis dalam laporan mereka, sediakan transkrip wawancara, ada rekaman video atau audio, ada biografi si wartawan, sediakan Frequently Asked Questions, pendekatan “crowd source” –minta informasi tambahan dari publik. Jangan lupa perlu ada koreksi dan update. Ini banyak beda dengan pendekatan cetak di mana pendekatan wartawan lebih soal side bar, tanya-jawab, pull quotes dan sebagainya.
Perubahan kedua pada policy maker. Mereka perlu memahami ada revolusi besar komunikasi. Peranan media sebagai penjaga pagar masyarakat sudah runtuh. Kasarnya, sekarang setiap orang bisa jadi produsen informasi lewat Twitter, Facebook, WhatsApp, blog, video dan sebagainya. Pemerintah Indonesia –maupun pemerintah lain di seluruh dunia—pusing lihat hoax dan berita palsu.
Policy maker harus mengerti perubahan tersebut dan melakukan investasi pada jurnalisme. Bukan sebaliknya. Mengapa? Karena jurnalisme diperlukan dalam demokrasi. Bila kepercayaan masyarakat terhadap jurnalisme runtuh maka demokrasi juga runtuh. Sebaliknya, makin bermutu jurnalisme dalam masyarakat, makin bermutu pula masyarakat tersebut.
Policy maker perlu tahu bahwa pada era internet ada delapan peran wartawan. Kovach dan Rosenstiel meyebutnya sebagai authenticator; sense maker; investigator; saksi mata; empowerer; smart aggregator; forum organizer dan menjadi role model.
Authenticator misalnya memerlukan peranan media buat meneliti apakah suatu dokumen memang autentik. Misalnya, rekaman Rizieq Shihab dan Firza Husein, media perlu lakukan proses verifikasi untuk menerangkan kepada warga apakah autentik atau bukan.
Sense maker misalnya mensyaratkan wartawan menerangkan sesuatu masuk akal atau tidak. Misalnya, soal tuduhan Gubernur Basuki Purnama lakukan penodaan agama Islam. Masuk akal atau tidak ucapan tersebut? Mengapa lebih 60 persen negara-negara di muka bumi tak memakai lagi hukum penodaan agama? Atau mengingatkan pembaca pada gugatan 2009-2010 dari Abdurrahman Wahid di Mahkamah Konstitusi bahwa pasal penodaan tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Ia harus dicabut.
Sayangnya, saya justru melihat para pemimpin media berpikiran cadok. Pandangannya sempit. Mereka banyak tak melihat perubahan peran media dalam era internet. Mereka masih pakai jurnalisme cetak dalam medium internet.
Misalnya?
Pada 2003, saya ke Surabaya menemani Bill Kovach dan bertemu dengan Dahlan Iskan dari Jawa Pos. Dahlan Iskan memperlihatkan gedung Graha Pena dan ruang redaksi mereka yang luas. Kami terkesan sekali. Semua disebutnya konvergensi. Berbagai suratkabar maupun televisi dicampur jadi satu ruang redaksi. Lalu dibikin Jawa Pos News Network. Tak perlu lagi wartawan dari Surabaya pergi ke Papua karena sudah ada Cenderawasih Pos di Jayapura. Kelihatannya masuk akal, hemat biaya, tapi Dahlan Iskan tak sadar bahwa dua kepala wartawan lebih bagus daripada satu kepala.
Audiens Cenderawasih Pos, anak Jawa Pos di Jayapura, dikhayalkan secara berbeda dari audiens mereka di Surabaya. Setiap orang yang menulis punya khayalan terhadap warga yang mereka layani. Ini dua khayalan berbeda. Ketiga, tentu kedekatan wartawan di Jayapura terhadap sumber-sumber mereka atau isu-isu yang mereka liput, berbeda dengan wartawan di Surabaya. Ini belum lagi praktik suap dan mata-mata di kalangan wartawan Jayapura. Itu semua tak diperhatikan dalam konvergensi. Saya kritik praktik tersebut tapi tak didengar Dahlan Iskan. Ia malah dilakukan Tempo, induk perusahaan Jawa Pos di Jakarta.
Saya kritik Kompas Gramedia ketika bikin Kompas.com yang berbeda dengan Harian Kompas. Belakangan juga dibikin Kompasiana buat blogger—siapa pun bisa menulis tanpa proses penyuntingan oleh dan tanpa Kompas Gramedia mau bertanggung jawab. Mereka merusak brand Kompas. Ini adalah pemikiran yang cadok. Mereka menekankan proses pengambilan keputusan mereka semata pada sisi ekonomi tanpa berhitung, secara serius, sisi jurnalisme dan demokrasi. Tapi sebagian dari mereka mulai kritis. Mereka mulai sadar perlu perubahan mindset di tingkat wartawan dan policy maker.
Sebaiknya media yang punya lebih dari satu medium ini menata cara kerja wartawannya dengan cara bagaimana?
Satu newsroom saja dengan satu standar liputan dan penulisan. Kode etika harus satu, berlaku buat semua wartawan penuh waktu, paruh waktu maupun penulis opini. Menurut Bill Kovach, ruang redaksi tetap satu tapi divisinya beda-beda termasuk divisi digital.
Minggu lalu, Michael Luo diangkat sebagai redaktur digital dari majalah The New Yorker: NewYorker.com. Luo mantan redaktur metropolitan harian New York Times—ini salah satu desk yang paling cepat pergantian beritanya di website NYTimes.com. Luo bertanggungjawab kepada David Remnick, redaktur The New Yorker. Standar sama, kode etik sama, sistem penggajian sama, tapi divisi beda. Tetap satu badan hukum, satu perusahaan.
Singkatnya, Kompas Gramedia memakai sistem penggajian beda serta proses penyuntingan beda antara Harian Kompas dan Kompas.com. Perusahaan beda, badan hukum beda. Konvergensi pertimbangannya terutama uang. Sementara jurnalisme itu pertimbangannya melayani masyarakat. Tentu lebih mahal jika dibandingkan dengan tidak konvergensi. Tapi, jangka panjang terbukti berhasil, New York Times membuktikannya.
New York Times menolak mengurangi jumlah wartawan. Ketika internet menyerbu, mereka kesulitan keuangan, tapi mereka tak percaya dengan menurunkan mutu jurnalisme mereka. Lainnya, menutup biro luar negeri, memotong gaji, pengurangan wartawan bahkan menutup sebagian perusahaan mereka.
Hasilnya apa? Sepuluh tahun kemudian, NYTimes berjaya. Sekarang pelanggan NYTImes.com 3,3 juta. Tak ada media lain di dunia yang pelanggan digitalnya sebesar itu.
Tempo pernah melakukan itu, satu newsroom, tapi tetap ada divisinya. Persoalan yang kemudian muncul adalah tumpang-tindih. Bagaimana menurut Anda?
Itu hanya persoalan koordinasi saja. Kalau struktur organisasi baik dan prioritas jernih, saya kira, bisa diatasi. Persoalannya, pada 2001 Tempo go public dan menerbitkan Koran Tempo. Saya ikut dengar perdebatan internal mereka. Saya heran ketika penetrasi internet sudah mulai masuk, mereka bikin harian. Kalau Tempo memakai dana tersebut buat memperkuat Tempo Interaktif, saya kira, hari ini mereka tak perlu memotong gaji redaktur mereka.
Sekarang yang terjadi adalah konvergensi setengah jadi. Harian Kompas berbeda dengan Kompas.com. Tempo.co berbeda dengan Majalah Tempo. Beberapa wartawan Harian Kompas, termasuk Maria Hartiningsih, sering bilang, “Ah itu Kompas.com bukan kami.” Seharusnya Kompas membuat pembicaraan besar di semua ruang redaksi mereka, termasuk Kompas TV, agar standar mereka sama.
Untuk media-media yang awalnya berbasis cetak, lalu ingin bermigrasi ke digital, bagaimana mereka bisa bertahan secara bisnis?
Media yang tak punya subsidi dari kelompok non-media, misalnya Tempo dan Jawa Pos, akan lebih sulit. Mereka beda dengan Kompas Gramedia yang punya bisnis non-media. Kelompok lain seperti MNC dengan berbagai bisnis Hary Tanoesoedibjo; TVOne dengan Bakrie; Berita Satu dengan Lippo; Trans TV, Detik, dan CNN Indonesia dengan Chairul Tanjung; lebih punya ruang dan uang buat menghadapi perubahan masyarakat sampai mau bayar. Tempo tak punya ruang dan uang, mungkin sepuluh tahun lagi, sampai orang mau bayar.
Bagaimana model bisnis media dengan mengandalkan iklan ini sebaiknya diatasi?
Mau tidak mau, harus pasang pagar agar orang membayar buat baca. Model bisnis ini sudah berjalan selama 200 tahun tapi model ini digerus oleh internet. Kalau media tak sekuat dan sekokoh NYTimes atau Washington Post, saya khawatir, bakal takkan sabar mendidik pembaca buat bayar.
Namun, ada dua model lain buat menjaga jurnalisme. Charles Lewis bikin riset buat Reuters Institute for the Study of Journalism. Dia mengatakan model bisnis yang harus dikembangkan adalah jurnalisme nirlaba. Mereka tak mengandalkan iklan tapi sumbangan. Dia memberi contoh ProPublica maupun International Consortium of Investigative Journalists yang bikin geger dengan investigasi Panama Papers.
Lewis juga mengingatkan bahwa banyak lembaga swadaya masyarakat, termasuk Human Rights Watch tempat saya bekerja, juga menyediakan jurnalisme. Di Indonesia, salah satu media nirlaba yang menonjol adalah IndoProgress dan Mongabay. Saya berharap organisasi macam KontraS, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Indonesia Corruption Watch dan lainnya juga perlahan mengubah website mereka jadi media jurnalisme.
Banyak media Indonesia membuat platform online yang beritanya mengandalkan kecepatan?
Saya ingat pernah bicara dengan Toriq Hadad, salah satu direktur PT. Tempo Inti Media Tbk. pada tahun 2000. Saya bilang, “Jangan Mas Toriq. Jangan dibikin beda.”
Mengapa Anda bilang begitu?
Karena sebaiknya tak ada perbedaan dalam standar jurnalisme, apapun mediumnya. Kecepatan tak boleh mengorbankan verifikasi. Esensi jurnalisme adalah verifikasi. Kalau demi kecepatan ada gap kualitas, yang kena brand Tempo. Warga tak bisa membeda-bedakan. Ini majalah, ini internet. Saya khawatir sekarang kekhawatiran saya terjadi. Banyak orang bilang mutu Tempo tak sekuat Tempo sebelum pembredelan. Bukan mutu wartawan berbeda tapi metode kerja berbeda. Saya tentu harus mengatakan pembredelan antara 1994 sampai 1998 ikut memengaruhi kekuatan sumber daya mereka.
Lalu, apa yang harus dilakukan?
Harus kembali pada jurnalisme. Jangan terlalu memikirkan sudah terlanjur ada gedung, ada karyawan, ada income. Tentu dari segi manajemen, takkan semudah saya mengatakannya. Saya tahu ini tidak gampang, tetapi tetap cara pandangnya mesti cara pandang jurnalisme, bukan semata-mata laba. Orang yang pertama kali bilang kematian cetak adalah Rupert Murdoch, tapi kalau kita baca, dia juga tidak mengatakan akan langsung mati. Murdoch memutuskan semua isi dari New Corps harus dibayar.
Bagaimana jika kelak generasi baby boomers sudah tiada, generasi milenial sudah menua, dan generasi Z yang sejak lahir sudah akrab dengan layar mendewasa. Apakah koran masih akan dibaca?
Anak saya, Norman, sekarang umur 20 tahun, sudah tak membaca koran. Dia sejak bisa membaca sudah mengenal Google. Pola konsumsi informasinya adalah lean forward—bukan lean back, duduk dan membaca apa yang disajikan koran atau televisi. Generasi lean forward ini mencari informasi, mencari hiburan, semuanya dengan search engine. Mereka tak terikat pada satu media. Mereka bahkan tak terikat satu bahasa. Norman membaca berita dalam bahasa Indonesia, Inggris maupun Perancis. Dia mencari lawakan entah dari negara mana saja. Apakah dia tak suka baca koran? Terkadang kalau dia lihat New York Times di pesawat, dia juga ambil dan baca. Tapi dia lebih rutin baca NYTimes.com. Revolusi sedang terjadi, kita tak tahu kita akan ke mana.
(tirto.id - wan/fhr)
https://tirto.id/jangan-ada-perbedaan-kualitas-jurnalisme-apapun-mediumnya-ciy9
0 komentar:
Posting Komentar