Seperti halnya novel ”Fi Baitin Rajul” karya Ihsan Abdul-Quddus merupakan novel dilatarbelakangi oleh kondisi Mesir sebelum revolusi 23 juli 1952. Adapun sang penulis, mengalami langsung peristiwa itu.
Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga Sidqon Maesur Lc MA mengatakan, sang pengarang melalui tokoh utama Ibrahim Hamdy dalam novelnya, berpandangan bahwa penjajah tidak akan bisa leluasa melancarkan aksinya kecuali lewat dukungan dari penguasa.
”Di novel itu dijelaskan, penguasa telah berkhianat karena menjadi antek penjajah, agar penjajah pergi maka sang penguasa harus dilenyapkan,” ujarnya saat menempuh ujian doktor untuk bidang Minat Kajian Timur Tengah dari program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pasacasarjana UGM.
Di novel itu, katanya, Ihsan Abdul Quddus menekankan perlunya kerja sama yang solid antarnasionalis aktif yang bersikap ekstrim dengan nasionalis pasif yang bersikap moderat di setiap perjuangan nasioanl.
Sebab, masing-masing memiliki peran yang sangat penting. ”Nasionalis aktif tidak akan mampu melaksanakan misinya jika tanpa ditopang nasionalis pasif,” katanya dalam ujian yang berlangsung di ruang auditorium Sekolah Pascasarjana UGM.
Dia mengatakan, novel yang berkisah tentang politik itu menegaskan bahwa aksi perjuangan perlu didasari ketulusan hati dan tanpa pamrih atau bersih dari niat meraih kepentingan pribadi, kepentingan politik maupun unsur ideologi tertentu. ”Patriotisme perjuangan hanya terjadi karena terdorong oleh perasaan senasib bersama,” terangnya.
Novel itu juga, lanjutnya, menggugah kesadaran pembacanya tentang pentingnya komitmen terhadap pendidikan, nilai-nilai norma, adat istiadat dan agama.
(Bambang Unjianto/CN19/SMNetwork)
0 komentar:
Posting Komentar