[ Barra ]
"Sekolah jangan
dijadikan sebagai institusi pemeringkat tinggi-rendahnya kapasitas
pengetahuan. Sistem seleksi dalam dunia pendidikan adalah keliru,
bagaimana mungkin berkeinginan semua rakyat berpengetahuan tapi
mempraktikkan proses seleksi yang, sekali lagi, semangatnya adalah
persaingan ala kapitalistik, bukan semangat kerjasama."
Praktik kapitalisme dalam dunia
pendidikan terus menggerus daya beli masyarakat dalam mengakses
pendidikan tinggi negeri. Secara fakta, kampus negeri kini menjadi
swasta. Korban terbaru dari Kapitalisme pendidikan adalah UNPAD
(Bandung), UNDIP (Semarang), UNHAS (Makassar), ITS (Surabaya). Kampus
negeri yang dikenal ‘murah’ menjadi mahal sejak ditetapkan statusnya
menjadi PTN BH dimana pembiayaan dibebankan pada masyarakat alias
peserta didik juga orang tua mahasiswa. Termasuk membolehkan adanya
investasi swasta (asing maupun lokal), dengan payung hukum UU PT dan UU
Sisdiknas. Praktiknya, diatur dalam PP.
Pasukan Pengangguran Indonesia
Secara rata-rata, ada 7,24 juta
pengangguran di Indonesia. Mayoritas didominasi oleh penduduk usia
produktif. Dan sangat mengherankan, usia produktif di Indonesia adalah
18-64 tahun. Hingga tua renta masih belum terbebas dari beban pekerjaan
yang harusnya bisa menikmati hari tua.
Mengenai klasifikasi pengangguran juga
ada masalah. Biasanya, pemerintah (melalui BPS) dalam menentukan
klasifikasi mengambil kriteria yang paling minimum. Misal, bagi penduduk
yang bekerja musiman, ketika tidak mendapat pekerjaan dalam beberapa
kurun waktu dianggap sebagai bukan pengangguran. Itu yang jadi
persoalan, belum lagi mengenai berapa pendapatan penduduk? Karena jika
hanya bekerja, sales juga bekerja meski tak tentu pendapatan, atau coba
kita tanya berapa upah kuli bangunan per hari?
Sekolah telah menyingkirkan orang-orang yang tidak setuju dengan pandangannya. Masyarakat telah “dipaksa” untuk selalu tunduk pada diskriminasi yang didasarkan atas sertifikat atau ijazah mengenai ketrampilan yang dimiliki seseorang.
Ada dua dasar utama dalam
mendefisinikankan pengangguran, yaitu pendekatan angkatan kerja dan
pendekatan pemanfaatan tenaga kerja. Pertama: pendekatan Angkatan Kerja (Labour Force Approach), yaitu penganggur adalah angkatan kerja yang tidak bekerja. Kedua: pendekatan Pemanfaatan Tenaga Kerja (Labour Utilization Approach),
yaitu Angkatan kerja dibedakan menjadi tiga kelompok: 1. Menganggur,
yaitu mereka yang sama sekali tidak bekerja atau sedang mencari
pekerjaan. 2. Setengah Menganggur, yaitu mereka yang bekerja, tetapi
belum dimanfaatkan secara penuh. Artinya jam kerja mereka dalam seminggu
kurang dari 35 jam. 3. Bekerja Penuh, yaitu mereka yang bekerja penuh
atau jam kerjanya dalam seminggu mencapai 35 jam (wikipedia).
Nah, dari definisi di atas itulah, seringkali pemerintah, melalui BPS, memasukkan juga poin 2 dalam kriteria bukan pengangguran.
Ataupun, kejanggalan lain dalam pendataan bisa diamati secara logis
semisal pada akhir 2014 perekonomian Indonesia menurun, namun angka
pengangguran justru menurun, padahal penyediaan lapangan kerja sedang
stagnan.
Sistem Yang Mengikuti Kebutuhan Investasi
…minat siswa lulusan SMA atau sederajat secara logis ditentukan oleh prospek program studi (prodi). Prospek prodi ditentukan oleh serapan industri. Industri ditentukan oleh investasi-modal.
Senada dengan Freire yang berpendapat
bahwa pendidikan makin jauh dari realita, Ivan Illich berbicara dalam
wilayah praktikal dimana sekolah telah memonopoli ketrampilan/peran
sosial yang seharusnya tidak dilakukannya. Sekolah telah menyingkirkan
orang-orang yang tidak setuju dengan pandangannya. Masyarakat telah
“dipaksa” untuk selalu tunduk pada diskriminasi yang didasarkan atas
sertifikat atau ijazah mengenai ketrampilan yang dimiliki seseorang.
Fenomena inilah yang kemudian menjadi dasar pijakan bagi Illich untuk
menyatakan bahwa sekolah telah melakukan praktek-prektek pendidikan yang
diskriminatif, lepas dari kepentingan sosial.
Di kampus-kampus Indonesia, secara umum,
prodi dan jurusan yang paling laku ada 3 macam yaitu: manajemen,
akuntansi dan teknik informatika. Data tersebut diambil secara jeneral
artinya, bagi beberapa kampus yang memiliki spesifikasi.
"…memaksa murid-muridnya untuk mengasimilasi sejumlah besar pengetahuan yang tidak berguna, usang dan tidak bisa dikembangkan…"
Toh, di IPB yang paling laku salah
satunya adalah teknik industri pertanian. Tentu, perkembangan minat
siswa lulusan SMA atau sederajat secara logis ditentukan oleh prospek
program studi (sejauh mana prodi memberi keuntungan bagi pekerjaan).
Prospek ditentukan oleh serapan industri. Di situlah (dalam industri)
investasi modal yang menentukan. Penjelasannya sederhana, jika tidak ada
investasi besar di sektor tertentu maka di situ tak akan ada aktifitas
produksi barang untuk keuntungan yang membutuhkan tenaga kerja.
Benar, kebutuhan tenaga kerja dan
pekerjaannya selalu didasari pada keadaan dimanakah investasi
dioperasikan. Lenin menyebutnya ‘sekolah-sekolah kuno’. Sebagai
identifikasi bagi sistem pembelajaran yang lepas dari kebutuhan keadilan
sosial; sebagai identifikasi bagi mereka yang ‘… memaksa murid-muridnya untuk mengasimilasi sejumlah besar pengetahuan yang tidak berguna, usang dan tidak bisa dikembangkan…‘
Dalam Kapitalisme, Pendidikan Yang Membebaskan Adalah Mitos
Pendidikan semacam itu (pendidikan
membebaskan) tidak akan pernah didapatkan dalam dunia pendidikan formal
sekarang ini. Seperti yang diungkapkan Freire bahwa, tidak ada
dialektika antara pengajar, peserta didik dan realitas dunia.
Lalu, dimanakah mahasiswa bisa menyentuh
realitas dunia? Nah, di sinilah realitas dunia seharusnya dapat
dipelajari, dalam organisasi kerakyatan. Pelajaran yang tidak akan
pernah didapatkan dalam pendidikan formal (borjuis) harus bisa
didapatkan dari organisasi mahasiswa yang memiliki komitmen kerakyatan,
termasuk PEMBEBASAN.
Itupun menyisakan pekerjaan rumah yang
menumpuk terkait fakta tingkat kesuksesan organisasi melibatkan
mahasiswa dalam perjuangan kelas. Bayangkan, jika saja tiap tahun, satu
universitas me-wisuda 1000 peserta didiknya, dari 1000 peserta didik
tersebut, ada berapa orang yang masuk dalam organisasi revolusioner
(aktif mengorganisir revolusi)? Sangat sedikit.
Artinya, borjuasi telah
sukses meloloskan cikal-bakal borjuisnya, sedangkan, sudah berapa
gelintir mahasiswa revolusioner yang sukses kita jaring dari 1000
lulusan borjuasi tersebut? Suatu saat, perhitungan statistika tersebut
menarik untuk dibuat oleh kita. Makna dari perbandingan statistika
tersebut berarti bahwa, masih sangat sedikit mahasiswa yang belajar di
organisasi (revolusioner), yang mengenal realitas dunia, yang mampu
keluar dari hegemoni (dominasi ide) kapitalisme.***
http://pembebasan.org/936.html
0 komentar:
Posting Komentar