Test Footer 2

Selasa, 17 November 2015

Soal Peristiwa '65

Oleh: Adif Sahab

Saya ingin sekadar berbagi bahan pemikiran untuk mereka yang merasa gerah dengan sidang IPT (International People's Tribunal) Kasus '65 di Den Haag. Saya pun dulu sempat menganggap Peristiwa '65 hanya sepenggal episode sejarah yang dibesar-besarkan orang-orang kiri untuk mendiskreditkan pihak-pihak yang anti-komunis. Tapi setelah saya pelajari lebih dalam saya berkesimpulan bahwa Peristiwa '65 bukanlah peristiwa yang dibesar-besarkan melainkan memang ia sebuah peristiwa besar yang sangat memengaruhi perjalanan sejarah Indonesia modern, hanya saja sekian lama ia ditutup-tutupi meskipun jejaknya masih ada sampai sekarang. Sebagai peristiwa besar wajar jika kemudian orang berusaha mengungkapnya agar terang-benderang. Bahwa kemudian ia dipolitisir, yah apa sih di dunia ini yang tidak bisa dipolitisir?


Terkait dengan itu setidaknya ada dua persepsi yang menurut saya patut dikritisi -bahkan diubah- ketika kita berbicara tentang Peristiwa '65. Pertama, persepsi bahwa segala upaya pengungkapan Peristiwa '65 selalu bertendensi menjadikan kelompok sipil tertentu -katakanlah misalnya 'umat Islam'- sebagai sasaran tembak.
Dalam IPT di Den Haag jelas bahwa yang dimintai pertanggungjawaban adalah pemerintah dan militer RI (baca: TNI AD). Ya, pemerintah yang kini dikepalai presiden yang diisukan sebagai anak PKI dan didukung para aktivis yang sama dengan yang mendorong digelarnya IPT itu sendiri. Bukan NU, bukan Muhammadiyah, bukan Pemuda Pancasila atau yang lainnya.

Dalam batas-batas tertentu memang sesungguhnya kelompok-kelompok sipil hanya dimanfaatkan oleh militer untuk mengganyang PKI, nabok nyilih tangan istilah Jawanya. Tanpa menafikan jasa-jasanya TNI AD kebanggaan kita ini memang berlumuran darah rakyat sipil bangsanya sendiri, terutama ketika rezim Orba berkuasa.

Sebuah rezim yang kelahirannya diawali banjir darah dan dibangun di atas tumpukan mayat manusia sehingga jangan heran jika rezim ini tidak segan-segan memberangus bukan hanya orang-orang komunis -dan tertuduh komunis- tetapi juga siapapun yang dianggapnya sebagai ancaman.
Jika para tentara ini tega menghabisi ratusan -mungkin ribuan- nyawa manusia di Tanjung Priok, Lampung, dan Aceh tentu bukan hal yang aneh karena mereka sudah pernah melakukan yang lebih dahsyat di tahun 1965 -yang korbannya menurut klaim salah seorang petinggi tentara sendiri mencapai 3 juta jiwa.
Toh setelah PKI sukses ditumpas sampai ke akar-akarnya sebagian kelompok sipil yang membantu penumpasannya pun dicampakkan begitu saja, bahkan berbalik menjadi sasaran penindasan oleh rezim.

Kedua, persepsi yang selalu membanding-bandingkan Peristiwa '65 dengan kekerasan-kekerasan yang dilakukan PKI pra-1965 khususnya Peristiwa Madiun 1948. Tanpa mengecilkan arti hilangnya nyawa para kiai dan santri dalam Peristiwa Madiun (semoga Allah melapangkan kubur mereka dan menerima mereka sebagai syuhada, amiin...) tidaklah sepadan membandingkan Peristiwa '65 dengan Peristiwa Madiun. Tidak sewenang-wenang jika dikatakan bahwa Peristiwa Madiun adalah sebuah gejolak politik yang dampaknya hanya dirasakan secara lokal di Jawa.

Perlu diingat bahwa kekerasan dalam Peristiwa Madiun hanya terjadi di Keresidenan Madiun dan sekitarnya dan dampaknya pun tidak meluas ke seluruh Indonesia. Apakah para santri di Kalimantan Selatan atau para tuan guru di Lombok ketika itu ikut mendapat teror PKI? Silakan sajikan datanya jika ada. Apakah umat Islam di Ternate, Gorontalo, Banggai, atau Alor berbagi memori kolektif tentang pembantaian para kiai dan santri di Madiun? Saya tidak yakin, jangan-jangan mereka pun baru tahu peristiwa itu di zaman Orde Baru!

Adalah aneh jika kita menolak Jawa-sentrisme dalam segala hal (mulai dari pembangunan ekonomi, narasi sejarah, sampai penonjolan budaya Islam tertentu yang diklaim sebagai "Islam Nusantara") tetapi pada saat yang sama menggaung-gaungkan memori kolektif yang Jawa-sentris! Adapun Peristiwa '65 bukanlah peristiwa lokal.

Harus dicatat di sini bahwa yang dimaksud Peristiwa '65 bukan hanya pengganyangan PKI di daerah-daerah yang memang sudah mengalami konflik PKI vs anti-PKI sejak sebelum 1965 tetapi juga kekerasan sistematis yang dilakukan aparatur negara terhadap orang-orang PKI -dan yang dituduh PKI- dalam pelbagai bentuknya seperti penahanan tanpa proses peradilan, penyiksaan, pembuangan, kerja paksa, dan lain-lain. Ini belum termasuk pencabutan hak-hak kewarganegaraan dan stigmatisasi yang dilekatkan kepada para eks tapol bahkan sampai ke saudara, kerabat, dan anak-anaknya. Kekerasan ini berlangsung secara massif di seluruh NKRI, dari Aceh sampai Maluku, dari Sulawesi Utara sampai NTT.

Dampaknya pun sangat luas dan beragam dari mulai kisah pilu (anak-anak yang menjadi yatim piatu, istri yang kehilangan suaminya -lalu dikawini paksa oleh komandan tentara, dsb) sampai hal-hal absurd lagi menggelikan (stigmatisasi terhadap benda-benda tertentu seperti tanaman genjer dan alat pemukul punggung berbentuk arit). Peristiwa '65 membuka jalan bagi masuknya pemodal asing untuk mengeruk SDA Indonesia -yang dampaknya masih bisa kita rasakan sampai sekarang, bertambahnya kekayaan militer lewat pengambilalihan aset-aset PKI -yang mereka kuasai sampai sekarang, nyaris matinya kesenian tradisional di sejumlah daerah, konversi keagamaan secara massal -yang lalu menimbulkan kepanikan soal 'Kristenisasi', dan masih banyak lagi dampak lainnya.

Melihat ini semua, lagi-lagi tanpa meremehkan para syuhada korban kekejaman PKI Madiun, tidak sebanding antara Peristiwa Madiun dengan Peristiwa '65. Bila ada yang merasa kekejaman PKI pra-1965 belum diselesaikan secara adil silakan saja buat pengadilan rakyat sendiri seperti yang berlangsung di Den Haag.
Tapi asal tahu saja, para tokoh yang paling bertanggungjawab atas kekejaman PKI di Madiun (sebut misalnya Muso dan Amir Syarifudin) sudah ditembak mati tak lama setelah peristiwa tersebut. Begitu pula para pentolan PKI yang bertanggungjawab atas kekerasan PKI pra-1965 sudah banyak yang tewas dalam Peristiwa '65.
 Mereka sudah mendapat balasan setimpal -kalau bukan malah berlebih- atas kejahatan yang mereka lakukan. Lantas salahkah jika ada orang yang merasa dizalimi dalam Peristiwa '65 menuntut sedikit saja keadilan?

Pada akhirnya, pengungkapan dan penuntasan Peristiwa '65 (seharusnya) bukan hanya kepentingan orang-orang kiri tapi semua warga bangsa ini yang masih punya hati nurani. Peristiwa '65 patut mendapat perhatian bukan karena korbannya orang PKI -dan yang di-PKI-kan- tetapi karena ia menjadi titik balik perjalanan sejarah bangsa ini yang dampaknya masih berlanjut sampai sekarang. Memiliki kepedulian terhadap episode kelam ini tidak harus diartikan sebagai pro-PKI apalagi setuju terhadap komunisme.

*hanya opini dari peneliti sejarah amatiran. Kalau merasa tulisan ini tidak penting silakan abaikan saja.

0 komentar:

Posting Komentar