Test Footer 2

Jumat, 13 November 2015

Resensi Buku: Analisa Materialisme Sejarah Tentang G30S 1965

Jumat, 13 November 2015 | 8:53 WIB


Dalam acara bedah buku Ketika Sejarah Berseragam di kampus Universitas Lampung, Rabu 30 September 2015 lalu, saya termenung mendengar pernyataan seorang pembicaranya, Soeyanto,Ph.D. Kurang lebih begini: “Sebenarnya saya sudah lelah menjelaskan peristiwa G30S, saking terlalu kentalnya pembodohan Orde Baru, capek menjelaskan pada banyak orang dableg yang cuma mau mendengar kisah versi negara dan kakek-neneknya yang kepalang anti PKI karena cari selamat. Makanya sekarang ini memang tak tepat kalau pemerintah RI terburu-buru minta maaf pada korban penumpasan PKI oleh Soeharto Cs yang brutal itu, karena sebaiknya yang diutamakan itu memperbanyak dulu kebenaran di dalam buku-buku sejarah kita yang penuh kebohongan.”

DATA BUKU Judul : MATERIALISME SEJARAH PERISTIWA GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965 Penulis : Harsa Permata Penerbit : Yogyakarta, Elpueblo Tritama Mandiri, 2015 Halaman : v + 95; 15 x 20 cm ISBN : 978-602-14327-5-4 
DATA BUKU
Judul : MATERIALISME SEJARAH PERISTIWA GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965
Penulis : Harsa Permata
Penerbit : Yogyakarta, Elpueblo Tritama Mandiri, 2015
Halaman : v + 95; 15 x 20 cm
ISBN : 978-602-14327-5-4

Sedikit banyak saya bersepakat dengan pendapat itu, dan beruntungnya gayung pun bersambut. Sepulang acara, saya mendapat informasi terbitnya sebuah buku baru yang temanya masih sama, ya seputar peristiwa sejarah Gerakan 30 September 1965 itu lagi. Mungkin bagi sebagian orang yang mengikuti tema ini dengan antusias pada awalnya, kini juga mulai merasa lelah dan putus asa, saking melulu dimentahkannya semua upaya pelurusan sejarah oleh negara dan aparaturnya, juga oleh sebagian besar masyarakatnya yang ngotot mempertahankan pembodohan.

Ironi memang, bagaimana bangsa ini bisa bangkit dan berjaya jika kejujuran pada sejarah pun sama sekali tidak mau diupayakan. Kembali ke perkara buku yang baru terbit tadi, penulisnya adalah Harsa Permata, seorang dosen filsafat yang juga pernah ikut berenang dalam lautan pergerakan mahasiswa era  awal Reformasi. Bukunya ini tidak lain daripada hasil penelitian tesis pascasarjananya di jurusan filsafat Universitas Gadjah Mada tahun 2013 yang lalu.


Sebuah Analisa Filsafat Sejarah

Buku setebal 95 halaman ini mungkin terbilang tipis penampakannya, tapi setelah dibaca, ketebalan kualitasnya sangat terasa. Sebagaimana dijelaskan oleh penulisnya dalam pengantar, buku ini tidak berusaha menemukan fakta-fakta baru terkait  peristiwa berdarah itu, ia berfokus pada penggunaan filsafat materialisme dialektika historis (MDH) ala Marxisme sebagai pisau analisa untuk membedah dan menemukan simpulan-simpulan baru. Ini juga merupakan jawaban atas tantangan Max R. Lane, seorang Indonesianis yang dalam orasi ilmiahnya di tahun 2012 menyebut belum ada satu pun evaluasi sejarah G30S dari perspektif Marxisme (Hal. iii).

Logika kunci buku ini adalah pernyataan eksplisit Marx dan Engels dalam naskah legendarisnya yang berjudul Manifesto Komunis di abad ke-19, bahwa sejarah adalah perjuangan kelas. Sejarah tak hanya berkisah tentang para tokohnya, melainkan berisikan proses konflik yang terus menerus dari kelas sosial tertindas melawan kelas sosial penindasnya. Sementara penindasan dan ketertindasan itu sendiri bersifat material bagi filsafat Marxisme. Pergerakan materi itu sendiri bersifat dialektis, yang tak lain dilandasi oleh kontradiksi atau pertentangan unsur-unsur yang ada di dalamnya. (Hal. 7-8).

Marxisme memandang bahwa segala perubahan sosial terwujud karena kontradiksi internal suatu masyarakat itu sendiri, yakni antara tenaga produktif dengan hubungan produktif dalam corak produksi yang dianutnya. Atau antara kelas sosial satu dengan yang lainnya, antara kontradiksi yang baru dengan yang lama, dan sebagainya. Hukum dialektikanya adalah: 1) Perubahan kuantitas menuju kualitas; 2) Interpenetrasi/ kesalingpengaruhan antar pihak yang berlawanan/ A=Non-A; 3) Negasi dari negasi (Hal. 14-15).

Mengutip Mao Tse Tung, penulis menyebut dalam proses perkembangan kenyataan, terdapat banyak sekali kontradiksi. Namun, hanya terdapat satu kontradiksi yang paling pokok, ialah yang paling mendesak karena menentukan atau mempengaruhi keberadaan kontradiksi yang lainnya. Semisal dalam masyarakat kapitalisme, kontradiksi pokoknya adalah antara borjuasi dan proletariat, sementara yang lainnya bersifat determinan (Hal. 17).

Filsafat Marxisme mengikuti pemikiran Hegel dalam memandang proses dialektika sejarah, layaknya spiral yang terus bergerak ke taraf yang lebih tinggi dari sebelumnya. Proses itu mengalami tiga tahapan utama, yakni tesis, yang segera menemui anti-tesis sebagai lawannya, dan kontradiksi dari keduanya memunculkan suatu perdamaian dalam rupa sintesis (Hal.63).


Catatan Sejarah G30S 1965

Keunggulan buku ini juga terletak pada Bab III nya yang meringkas berbagai versi catatan dan analisa sejarah peristiwa kontroversial G30S 1965 yang selama ini telah banyak dikaji, hingga bagi pelajar pemula akan lebih mudah mendapatkan gambarannya ketimbang membaca sendiri dari literatur-literatur aslinya yang tebal dan mulai langka di pasaran. Setidaknya tercatat ada enam versi yang memiliki dasar logikanya masing-masing.

Pertama, adalah versi Orde Baru (Hal.21-25), dalam versi ini pun ternyata ada dua otoritas sejarah di dalamnya, yakni menurut pandangan Soeharto dan menurut TNI/ABRI, namun keduanya memiliki kesamaan pandangan bahwa PKI secara organisasional adalah pihak yang paling mutlak bersalah sebagai pelaku tunggal yang bertanggung jawab atas tewasnya enam jenderal Angkatan Darat, sehingga rezim ini resmi menamai persitiwa sejarah itu dengan akronim stigmatif, G30S/PKI 1965.

Soeharto dalam biografi Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989) mengatakan bahwa keterlibatan PKI sebagai dalang peristiwa G30S 1965 berdasar pada peranan sentral Letkol Untung, yang dalam ingatannya sejak awal kemerdekaan Untung adalah anak didik Alimin, salah satu tokoh PKI. Sedangkan TNI/ABRI sebagaimana tertulis dalam buku Bahaya Laten Komunisme di Indonesia (1995) memandang D.N. Aidit sebagai ketua CC PKI lah figur sentral atau pimpinan tertinggi gerakan ini. Dalam tugasnya ia dibantu oleh Iskandar Subekti, Pono, Kusno, Mayor Udara Sujono, dan bermarkas di lapangan udara Halim Perdana Kusumah dari tanggal 30 September malam sampai 1 Oktober dini hari.

Rezim Orde Baru meyakini G30S 1965 adalah sebuah gerakan ideologis yang sistematis, bahwa PKI bertujuan mengubah negara Indonesia yang berhaluan Pancasila menjadi negara komunis dan mengikuti tujuan internasionalnya Uni Soviet. Pembunuhan para jenderal yang disebut Dewan Jenderal bertujuan memudahkan pembentukan Dewan Revolusi yang akan dimanfaatkan untuk menciptakan berbagai perubahan, dan berujung pada naiknya PKI ke puncak kekuasaan di Indonesia.

Kedua, adalah versi Ben Anderson dan Ruth T. McVey (Hal. 25-28). Analisis keduanya terangkum dalam buku berjudul A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia (2009) atau kerap disebut sebagai Cornell Paper, yang fokusnya berangkat dari Divisi Diponegoro di Jawa Tengah sebagai wahana bersama tumbuhnya beberapa tokoh kunci dalam peristiwa ini.

Mereka berpandangan bahwa PKI tidak terlibat dalam peristiwa G30S 1965, sebaliknya ini merupakan pemberontakan para perwira muda yang berasal dari divisi ini, tampak dari komposisi tim intinya seperti Latief, Untung, Supardjo, dan Sujono sekalipun saat peristiwa berlangsung mereka sudah tidak bertugas di teritori itu.

Alasan pmberontakan mereka terutama dilandasi oleh idealism, yang tergambarkan dari: 1) Ketidakpuasan terhadap Staf Umum dan pimpinan militer di Jakarta yang bergelimang kemewahan dan korup; 2) Perang dingin antara Soekarno dan para jenderal yang diketahui sering kontak dengan CIA, membuat mereka meragukan patriotism pimpinannya dan mewaspadai kemungkinan kudeta oleh apa yang marak diisukan sebagai Dewan Jenderal; 3) Kemungkinan juga para perwira muda ini ingin mengembalikan semangat revolusioner 1945 dalam sistem politik Indonesia.

Ketiga, adalah versi Harold Crouch (Hal.29-33). Dalam bukunya The Army and Politics in Indonesia (2007) menyebut bahwa ada indikasi yang meskipun masih samar, bahwa PKI terlibat dalam G30S 1965. Kehadiran Aidit di Bandara Halim pada 1 Oktober adalah salah satu indikasinya, kemudian dukungan dari Gerwani dan Pemuda Rakyat terhadap gerakan ini, dan juga dari editorial Harian Rakjat yang terbit berisikan pujian terhadap G30S. Crouch juga menganggap pengakuan Njoto, salah satu pimpinan PKI di Harian Angkatan Bersenjata yang dipublikasikan oleh pers Jepang Februari 1966.

Crouch juga meyakini bahwa PKI bukanlah dalang peristiwa ini. Pasalnya sama sekali tidak ada bukti bahwa para perwira pelakunya itu adalah agen PKI. Mereka semua bertindak bukan atas perintah Sjam (agen PKI) dan lebih karena kehendak sendiri. Baginya, PKI memang punya alasan logis untuk menyatakan dukungan pada G30S 1965, yakni karena ketakutannya atas potensi kudeta Dewan Jenderal terhadap pemerintahan Soekarno, yang diyakini akan membawa bencana bagi mereka. Namun, PKI tidaklah memiliki sumber daya yang memadai untuk melawan kekuatan militer dalam konfrontasi langsung.

PKI lebih memilih solusi kup dalam bentuk konflik internal angkatan bersenjata hingga keterlibatannya tidak kentara. Ini diperkuat oleh pernyataan Njoto yang mendukung para perwira progresif pelaksana G30S dengan merencanakan pelatihan militer bagi anggota ormas hingga terlatih menjadi pasukan cadangan yang siap menopang. Namun, Njoto membantah jika PKI terlibat secara organisasional, pendapat ini juga senada dengan pimpinan PKI lainnya seperti Sudisma dan Paris Pardede.

Namun, kesaksian Sjam Kamaruzaman paling berbeda, ia mengaku dipanggil Aidit pada 12 Agustus ke rumahnya untuk mendiskusikan memburuknya kesehatan Soekarno dan langkah yang kemungkinan akan diambil oleh Dewan Jenderal. Informasi tentang ini diakuinya diperoleh dari Sakirman, seorang Politbiro PKI yang juga kakak dari Mayjend S. Parman. Pertemuan itu mengerucut pada rencana penyusunan kekuatan dan sebuah gerakan. Esoknya Sjam bersama anggota Biro Khusus lain memutuskan mendekati perwira yang bersimpati, yakni  Kolonel Latief dari brigade infanteri, Letkol Untung dari batalyon Cakrabirawa, dan Mayor Sujono komandan pertahanan udara Halim.

Dengan demikian Crouch menyimpulkan bahwa G30S 1965 merupakan persekutuan rahasia yang setara antara para perwira progresif dengan biri khusus PKI. Keterlibatan PKI hanya tersinyalir sebagai konspirator, bukan eksekutor dan bahkan tak punya kuasa instruktif karena jelasa bahwa para perwira progresif itu memiliki tujuannya sendiri.

Keempat, adalah versi W.F. Wertheim (Hal. 33-35). Dengan gamblang menyebut para perwira pimpinan G 30 S 1965 adalah kenalan dekat Jenderal Soeharto sendiri. Untung adalah bawahannya saat menjadi komandan Divisi Diponegoro Jawa Tengah, pun Latief yang bahkan juga pernah semarkas di perang perebutan Irian Barat. Sedangkan Supardjo adalah bawahannya saat menjabat komandan Divisi Mandala Siaga di Kalimantan.

Selain itu, aneh rasanya bahwa Soeharto tidaklah masuk dalam daftar Jenderal yang menjadi target penculikan. Ia bahkan bisa leluasa bergerak di Jakarta saat malam berlangsungnya operasi militer itu. Ia juga bisa dengan sangat mudah, cepat, dan detail meringkus gerakan ini, padahal para perwira lainnya yang berada di Jakarta tidak paham harus mengambil tindakan apa saat itu.

Wertheim bahkan meyakini bahwa Sjam sesungguhnya adalah intel tentara yang ditugaskan menyusup ke dalam PKI, dengan tujuan provokasi agar PKI terlibat dalam sebuah aksi yang memang direncanakan untuk gagal tersebut. Asumsi ini dikarenakan sikap kooperatif Sjam terhadap militer selama masa interogasi, ia tidak disiksa dan malah mendapat perlakuan istimewa dari para interrogator. Dengan demikian menurut Wertheim, G30S 1965 adalah konspirasi besar yang diotaki langsung oleh Soeharto.

Kelima, adalah versi John Roosa (Hal. 35-41). Analisanya di buku Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (2008) meniadakan konsep “dalang” dalam peristiwa G30S 1965 karena ia bukanlah sebuah aksi yang direncanakan oleh seseorang maupun sekelompok. Sebelum meletusnya peristiwa itu perpolitikan Indonesia dilatari oleh tiga kekuatan utama: 1) PKI yang punya basis politik sipil yang dominan; 2) TNI AD yang punya ratusan ribu prajurit bersenjata; 3) Soekarno yang berada di tengah kedua kubu yang saling bertentangan itu. Sokearno memainkan politik keseimbangan untuk melanggengkan kekuasannya.

Namun, memang dalam beberapa waktu terakhir keseimbangan Soekarno mulai berantakan karena kcondongannya pada PKI. Sebenarnya saat itu ia sedang sangat membutuhkan PKI dan kekuatan massanya untuk menaikkan posisi tawar terhadap Angkatan Darat. Sementara PKI sendiri sesungguhnya merasa tidak puas dengan kondisi politik pemerintahan Soekarno. Terutama fakta bahwa PKI tidak mendapatkan jatah kursi menteri yang penting dan memiliki anggaran besar. Sebaliknya kekuatan politik yang anti PKI justru tetap leluasa menjabat dan mulai mengkonsolidasikan kekuatan.

Lalu beredarlah desas-desus yang bersumber dari dugaan bocornya sebuah telegram Duta Besar Inggris yang menyebut keberadaan sekelompok jenderal sayap kanan di bawah pimpinan Ahmad Yani sedang mempersiapkan satu aksi konspiratif terhadap pemerintah Indonesia. Ini membuat Aidit harus menimbang dua pilihan sikap, yaitu didahului atau mendahului. Maka Aidit meminta Sjam dan jaringan Biro Khususnya untuk mengajak para perwira progresif untuk bertindak melawan Dewan Jenderal. Tapi karena tak ada kepastian rencana, Sjam memimpin sendiri aksi itu, dan inilah yang melatari mengapa hanya ada segelintir perwira saja yang bersepakat terlibat.

Celakanya, terjadi banyak keraguan atas kelemahan rencana yang telah disusun itu. Sjam yang tak ingin mengecewakan Aidit bersikeras untuk tetap melaksanakannya karena yakin terhadap kekuatan pendukung Soekarno dan massa PKI yang dominan saat itu. Tetapi ketidakrapihan rencana dan ketidakjelasan rantai komando dalam aksi itu menimbulkan banyak kegagalan saat dilancarkan, yakni ternyata mereka tak bisa menculik para jenderal tersebut dalam keadaan hidup. Awalnya mereka hanya ingin menghadapkan mereka secara paksa kepada Soekarno.

Ditambah, ternyata Soekarno pun tidak mau mendukung aksi sepihak ini, terutama setelah ia mengetahui bahwa para jenderal yang diculik sudah tewas. Kepada Supardjo yang sempat menghadap, Soekarno memerintahkan untuk segera menghentikan aksi ini dan para perwira itu pun segera menyetujuinya. Namun Sjam dan Aidit justru memutuskan untuk melanjutkannya tanpa persetujuan Soekarno, dengan menyerukan dibentuknya Dewan-Dewan Revolusi melalui siaran radio.

Gagal meyakinkan para perwira progresif yang peragu, Sjam dan Aidit dengan prinsip kepeloporannya akhirnya merubah rencana semula yang ingin melindungi pemerintahan Soekarno yang sedang di ujung tanduk, menjadi berbalik untuk menggantikannya. Landasan ilmiah Aidit adalah pengalaman kudeta militer di Aljazair bersifat progresif yang dipimpin oleh Kolonel Boumedienne terhadap pemerintahan Ben Bella, dan mendapat dukungan rakyat. Karenanya Aidit memandang jika kudeta militer didukung oleh 30% rakyat, maka bisa diubah sekaligus dimajukan menjadi revolusi rakyat.

Keenam, adalah versi Rex Mortimer (Hal. 42-46). Lebih jauh lagi, analisanya dalam buku Indonesian Communism Under Sukarno, Ideology and Politics 1959-1965 (2006) menyebut bahwa G30S 1965 adalah sebuah hasil manipulasi terhadap pimpinan PKI oleh lawan politiknya. Alasanya: Satu, transkrip rekaman interograsi dan pengumpulan bukti terkait plot peristiwa yang disusun oleh Nugroho Notosusanto dari pihak TNI/ABRI, tertulis tujuan PKI bukan untuk merebut kekuasaan politik, melainkan mencegah pelenyapan PKI oleh TNI AD pasca wafatnya Soekarno yang sedang sakit keras. Namun transkrip ii tak pernah dipublikasikan karena perbedaannya yang signifikan dengan versi resmi AD; dua, persidangan para pelaku yang tidak adil, eksekusi mati tanpa proses pengadilan terhadap pimpinan PKI, serta tudingan-tudingan ambigu tanpa bukti bahwa PKI lah yang merekayasa isu Dewan Jenderal; tiga, pendapat AD bahwa pelatihan sukarelawan PKI di Halim terkait dengan G30S. Padahal komposisi sukarelawan yang mendapat pelatihan semi-militer di sana tak hanya dari PKI, melainkan juga Pemuda Marhaenis, Perti, Pertindo, GP Anshor juga telah dijadwalkan; empat, isi pengumuman G30S pada 1 Oktober pagi hari berbeda dengan sikap politik PKI dan pemerintahan Soekarno, yakni seruan untuk mempertahankan kebijakan luar negeri yang bebas aktif, padahal saat itu PKI dan Soekarno sedang gencar mendukung NEFOS, RRC, dan Konfrontasi atas Malaysia; lima, komposisi Dewan Revolusi justru diisi oleh tokoh yang berseberangan dengan PKI, ada 19 dari 45 tokoh; enam, tuduhan yang mengaitkan empat perwira pimpinan G30S dengan organisasi PKI adalah keliru. Semisal yang menyebut bahwa Untung pernah terlibat dalam pemberontakan Madiun 1948, padahal saat itu ia masih buta politik dan jadi pengikut setia komandannya yang anti komunis. Supardjo yang cemerlang karir militernya itu adalah loyalis Soekarno yang tegas anti PKI. Pun dengan Latief yang jabatan strukturalnya cukup vital sebagai salah satu komandan di Jakarta, tentu telah melalui seleksi ketat di tubuh TNI AD yang anti PKI; tujuh, keterkaitan Sjam dengan TNI diketahui bahwa ia telah bekerja sebagai informan Seksi I (Intelejen) Resimen Jakarta Raya sejak tahun 1955.

Penulis buku ini menambahkan bahwa sejak sebelum peristiwa G30S 1965, Militer khususnya TNI AD sebenarnya sudah sangat kesal dan ingin menggulingkan Soekarno dan mendelegitimasi PKI, namun popularitas Soekarno dan besarnya massa PKI telah memaksa TNI bersikap menunggu pihak mana yang bertindak agresif lebih dulu. Peristiwa G30S itu sendiri hanyalah dalih bagi TNI yang dipimpin Soeharto untuk bisa mengambil langkah pembasmian terbuka PKI dan pembungkaman Soekarno.

Pasalnya, sikap tanggap TNI untuk membasmi G30S justru dipelintir menjadi pembasmian sistematis terhadap massa dan organisasi PKI, bahkan gerakan kiri pada umumnya. Akademisi Barat mencatat ada sekitar 500 ribu sampai 1 juta orang rakyat Indonesia yang dibunuh dalam operasi penumpasan itu. Bahkan dalam pengakuan Sarwo Edhie Wibowo sebagai komandan RPKAD yang memimpin eksekusi massal itu mencapai 3 juta nyawa melayang dicabut paksa.

Tanggal 11 Maret 1966, melalui dokumen yang di sebut Supersemar, TNI dan Soehartonya berhasil mendapatkan legitimasi penuh untuk mengambil alih kekuasaan. Lalu dimulailah babak baru sejarah bangsa Indonesia sebagai negara yang terbuka pada investasi modal asing, yang ditandai oleh terbitnya Undang-Undang Penanaman Modal serta dicaploknya wilayah pegunungan Papua yang kaya akan mineral tambang oleh PT Freeport dari Amerika Serikat.


Latar Historis Peristiwa

Dalam perspektif Marxisme, peristiwa G30S 1965 tidaklah terjadi begitu saja tanpa dilatari kondisi ekonomi politik tertentu. Ditinjau sejak Revolusi Agustus  1945 adalah perjuangan awal untuk memperoleh kemerdekaan bangsa. Baru di tahun 1949 pasca Konferensi Meja Bundar lah kemerdekaan politik kita tercapai. Sementara kemerdekaan ekonomi baru diperoleh tahun 1957, yang ditandai oleh terbitnya program nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik colonial Belanda, dan sekitar 46.000 orang dideportasi ke negeri asalnya.

Sayangnya, pengelolaan semua perusahaan yang telah dinasionalisasi itu diserahkan ke tangan para perwira militer (TNI AD), inilah yang kemudian hari menguatkan posisi militer dalam perpolitikan Indonesia. Dominasi kelompok militer dalam perekonomian inilah yang memicu lahirnya kelas sosial baru dalam masyarakat kita, yakni borjuis militer (Hal. 53).

Bahkan penerbitan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah solusi yang dikehendaki kelompok militer yang ingin mendapat jaminan atas kenyamanan posisinya. Dekrit ini berisikan pembubaran Dewan Konstituante (pelemahan terhadap parlemen sipil/ wakil parpol) dan menetapkan kembalinya ke UUD 1945 yang sangat memperkuat posisi presiden dalam pemerintahan (Hal.54).

Menguatnya pengaruh dan posisi militer dalam pemerintahan sipil itu ditandingi oleh besarnya dukungan rakyat bawah kepada PKI. Tampak dari perolehan suara pada Pemilu 1955 sebesar 6.176.914 dan berhak atas 39 kursi di parlemen. Terjalin juga simbiosis mutualisme, PKI merupakan pendukung setia ide-ide nasionalisme radikal Soekarno, yang digunakannya untuk meningkatkan daya tawar terhadap militer.

Sebenarnya, kelompok militer sudah pernah melakukan upaya nyata mengguncang pemerintahan (Hal. 56-58). Tanggal 17 Oktober 1952, TNI AD di bawah kepemimpinan Nasution memobilisasi massa dengan dikawal tank dan berbagai artileri untuk memaksa Soekarno membubarkan parlemen. Namun meski Soekarno sendiri kurang menyenangi gaya berpolitik para politikus di parlemen, ia menolak tuntutan itu karena keteguhannya untuk tidak tampak mudah ditekan. Tanggal 15 Februari 1958, faksi militer sayap kanan yang di dukung AS  melancarkan pemberontakan PRRI di Sumatera Barat, yang segera dilibas karena ternyata ada banyak perwira militer yang juga loyalis Soekarno. Kegagalan itulah yang membuat mereka sadar bahwa konfrontasi langsung terhadap Soekarno tidaklah akan menuai dukungan rakyat.

Tahun 1961 hingga 1964, perekonomian nasional mengalami hiper-inflasi yang memicu peningkatan radikalisme rakyat. PKI secara jeli berhasil mengelola momentum ini hingga pertambahan anggotanya begitu pesat, Ricklefs mencatat di bulan Agustus 1965 setidaknya ada 27 juta orang. PKI melancarkan aksi kampanye anti-regulasi IMF yang menjerat itu, hingga akhirnya Soekarno pun berani lantang memilih jalan berat ekonomi berdikari tanpa belas kasihan asing. 

PKI juga menggencarkan aksi di pedesaan untuk mendorong ditegakkannya program land reform yang sesuai dengan amanat UU Pokok Agararia tahun 1960. 
Unjuk kekuatan PKI berlanjut hingga ia mengusulkan pada Presiden untuk membentuk Angkatan Kelima sebagai persiapan menghadapi potensi serangan militer Inggris, sebagai konsekuensi kebijakan konfrontasi terhadap Malaysia. Bahkan juga mendorong program NASAKOM-isasi di tubuh Angkatan Bersenjata (Hal. 59-62).


Tinjauan Marxisme Atas G30S 1965

Buku ini juga menyebut masyarakat Indonesia di masa pemerintahan Soekarno tak lain daripada masyarakat kapitalis, meskipun masih jauh dari sempurna sebagaimana perspektif Barat. Kontradiksi pokok saat itu dalam perspektif Marxisnya adalah juga  pertentangan kaum borjuis yang diwakili oleh Militer, yang telah begitu jauh menguasai perekonomian nasional. Sementara kaum proletar yang menjadi lawannya diwakili oleh PKI dengan massa buruh dan taninya yang telah banyak dirugikan.

Dalam proses dialektika sejarah masyarakat Indonesia di masa pemerintahan Soekarno, yang menjadi tesis, adalah kelas proletariat yang mewujud dalam kelompok politik PKI. Kemudian yang menjadi antitesisnya, adalah kelas borjuis yang mewujud dalam kelompok militer. Kemudian yang pada akhirnya menjadi sintesis, adalah naiknya Jenderal Soeharto ke puncak kekuasaan, sekaligus menjadi tonggak awal berdirinya rezim Orde Baru yang tunduk pada interupsi kapitalisme global (Hal.63-64).

Tentu ini berbeda dengan postulat Marxisme bahwa kontradiksi kelas antara borjuis dan proletariat akan menghasilkan masyarakat tanpa kelas atau komunisme. Pasalnya, kapitalisme Indonesia di masa itu sama sekali belum matang tahapannya, tampak dari suprastruktur atau sistem politiknya yang meniadakan pemilu sebagai perwujudan demokrasi.

Sekuat apapun kehendak Soekarno yang memainkan politik keseimbangan di antara dua kepentingan kelas sosial yang saling berkontradiksi itu, pada akhirnya konflik tetap menajam dan bahkan meledakkan darah yang tak sedikit di dalam bangsa kita sendiri. Naiknya Soeharto dan rezim militeristiknya inilah yang dipandang sebagai proses penyempurnaan sistem kapitalisme dalam masyarakat kita.

Secara jernih pula seharusnya kita bisa mengevaluasi bahwa membicarakan peristiwa sejarah G30S 1965 tidak melulu harus mengangkat kisah tragis, pedih, dan pilu yang dialami para korban, dari pihak manapun. Kepada gerakan kiri di Indonesia pada umumnya, plot sejarah ini sesungguhnya menyerukan agar kita tetap gigih memperjuangkan terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang adil dan makmur dalam sistem hidup sosialisme. Agar kita sudi mengoreksi diri demi mengembangkannya, dengan jalan mempelajari kegagalan generasi pendahulu.


Kelelahan Yang Harus Dilawan

Tentu saja buku ini tidak bersih dari penilaian plus-minus yang patut dicatat dan diperhatikan oleh setiap pembacanya, setidaknya dari aspek teknis redaksional: 

Pertama, penerbitan naskah ini menjadi buku terkesan agak buru-buru. Tampak dari kurang telitinya editor dalam memperhatikan susunan kata yang masih cukup banyak kesalahan pengetikannya. Seperti penggunaan tanda strip (-) sebagai penghubung kata yang ditempatkan tidak semestinya, dan lain sebagainya. Kecerobohan editing paling fatal adalah penulisan nama Njoto (salah satu pimpinan PKI) yang kerap dimunculkan malah tertulis sebagai “Njono”.

Kedua, sebagai sebuah naskah yang awalnya ditulis untuk kepentingan akademis, tentu saja perlu dilakukan dulu penyesuaian ketika diputuskan untuk terbit sebagai buku yang dilempar ke publik. Mengingat dalam konteks akademis, tentu kaidah-kaidah formal penulisan dan metodologi berlaku sangat ketat. Sementara dalam konteks buku yang dikonsumsi oleh publik dengan segmetasi variatif, sajiannya harus lebih lugas dan eye catching. Susunan buku ini mungkin terlampau sistematis khas naskah akademik, jadi bagi pembaca awam akan terasa nuansa tautologisnya, ada banyak pengulangan yang terkesan mengeja dan bertele-tele.

Tapi bagaimanapun juga, penerbitan buku ini sangatlah luar biasa bagi saya pribadi. Ia hadir tepat di tengah jenuh-jenuhnya orang pada kebuntuan isu keadilan bagi peristiwa G30S 1965. Padahal sesungguhnya tahun 2015 ini adalah momentum besar, persis 50 tahun sudah kebohongan negara dipelihara sebagai kebenaran mutlak. Tapi faktanya keadilan dan kebenaran yang telah banyak dibongkar serta dituntut ini masih belum juga berhasil merobohkan kokohnya tembok kekuasaan yang biadab.

Perkara kurang populernya buku ini, mungkin lantaran menggunakan penerbit lokal, bukan yang bonafit. Tapi justru ini membuatnya lebih menarik, karena: Pertama, semakin menegaskan betapa tema ini masih dianggap kurang “aman” dan “menjanjikan” bagi penerbit besar yang profit oriented dan tunduk pada status quo. Kedua, menunjukkan betapa masih banyak pihak yang mengupayakan perjuangan maksimal dalam isu ini meski dengan segala keterbatasan. Ketiga, ini jelas sebuah bentuk perlawanan atas kesewenangan, dengan menciptakan ruang-ruang alternatif dari skema mainstream yang represif dan  mengekang.

Akhir kata, saya berharap banyak bahwa pembaca sekalian akan berupaya mendapatkan buku ini, dan menjadikannya sebagai referensi andalan untuk mengantarkan pemahaman atas salah satu episode sejarah bangsa Indonesia yang paling krusial untuk direkonstruksi. Jangan biarkan rasa lelah membicarakan kebenaran dan menuntut keadilan itu menguasai akal pikiran dan hati nurani kita, sebab hanya dengan bermodal itulah cita-cita kemerdekaan yang hakiki bisa kita wujudkan suatu saat nanti.  Tabik.
___
Saddam SSD. Cahyo, Penikmat buku dan pernah aktif di Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung.

0 komentar:

Posting Komentar