Test Footer 2

Minggu, 15 November 2015

Amnesty International Monitor Keselamatan Saksi IPT 1965

Minggu, 15 November 2015

Foto: Mariana Aminuddin dari Komnas Perempuan Indonesia dalamPengadilan Masyarakat Internasional (IPT-International People's Tribunal) di Den Haag, Belanda, November 2015 (Ist)‏ 


 
JAKARTA- Akitivis Amnesty International, Yvette  Lawson bergembira tribunal ini bisa berlangsung. Ia menghargai para hakim, terutama para jaksa yang datang dari Indonesia. Tapi yang paling ia apresiasi adalah para saksi mata yang terdiri dari para korban penyiksaan, karena berani datang menjadi saksi. Menurutnya ini bisa terancam keselamatannya setiba di Indonesia. Hal ini seperti di lansir pada 13 November 2015 oleh website http://1965tribunal.org/
 
“Amnesty International akan memonitor keselamatan mereka. Semua pihak seperti juga wartawan yang dalam kasus pembongkaran pelanggaran HAM  sering diintimidasi, akan dimonitor keamanannya,” demikian Yvette Lawson.

Yvette Lawson menambahkan, ancaman bukanlah hal baru bagi Amnesty International. Tribunal seperti ini sudah sering terjadi sehubungan dengan kekerasan-kekerasan sebelumnya. Misalnya bertahun-tahun kekerasan sempat terjadi di negara-negara seperti Chile, Guatemala, Argentina, Spanyol dan lain-lain.

“Mereka yang memperjuangkan HAM dan melawan impunitas terancam hidupnya.  Mereka yang terancam itu terdiri dari para jaksa, wartawan  dan tentu saja para saksi,” ujarnya

Lalu ditanyakan ia mengira tribunal ini akan mencapai penyelesaian yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh para korban yang sudah lanjut usia. Yvette Lawson mengatakan, bahwa itu bukan dia yang menentukan. Tapi ia berharap agar itu terjadi, supaya para korban mencicipi keadilan.

Menurutnya, kalau melihat sikap dari pemerintah Indonesia sekarang, kecil harapan tribunal ini akan membuahkan hasil seperti yang diinginkan para korban. Tapi di balik perasaan pesimis itu, tersimpan juga harapan di hati aktivis HAM ini.

“Saya berharap Presiden Joko Widodo akan mengambil sikap tentang hak asasi manusia sebagai pemimpin dunia yang dihormati yang bisa membawa kebenaran dan keadilan bagi Indonesia, dan bagi kemanusiaan secara umum.” Katanya.

Komnas HAM dan Komnas Perempuan tampil memberikan kesaksian di depan sidang Tribunal Rakyat Internasional 1965 yang pekan ini digelar di Den Haag. Penampilan keduanya yang berlangsung pada Kamis sore 12 November 2015 tidaklah dijadwalkan terlebih dahulu.

Mariana Aminuddin anggota Komnas Perempuan juga bersaksi mengenai laporan lembaganya tentang kekerasan seksual terhadap perempuan pada tahun 1965-1966. Ia membenarkan kesaksian saksi-ahli Dr. Saskia Wieringa dan sejumlah kesaksian lain mengenai tindak kekerasan terhadap perempuan. Ketika ditanya ketua majelis hakim Zak Yacoob mengenai IPT65, Mariana menegaskan tribunal ini penting sekali.

“Dia (IPT 1965-red)tidak seperti seminar. Dia seperti benang kusut yang bisa diurai satu per satu. Yang membuat kami mudah melakukan verifikasi dan juga mendengarkan suara korban langsung di depan sidang hari ini,” demikian Mariana.


Surat Tugas Presiden

Mariana yang mengantongi surat tugas Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa dia datang ke Den Haag untuk mengamati bagaimana masyarakat internasional merespons sidang-sidang Tribunal Rakyat. Hasilnya, demikian Mariana akan menjadi kekuatan buat kami sebagai salah satu dokumen yang juga akan diberikan lembaganya kepada negara.

Dianto Bachriadi komisioner Komnas HAM merasa perlu untuk mengklarifikasi dokumen lembaganya yang berulang-ulang kali disebut dalam sidang. Dokumen Komnas yang dimaksud adalah “Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Peristiwa 1965-1966”.

Dianto Bachriadi, sementara itu, menolak anggapan bahwa IPT65 yang tengah berlangsung di Den Haag memburuk-burukkan citra Indonesia.

“Di sini kita bicara soal penyelesaian pelanggaran HAM berat. Kita bicara tentang penyelesaian kejahatan kemanusiaan. Kita bicara tentang pengungkapan kebenaran, kita bicara tentang kemanusiaan. Kita bicara tentang hal-hal yang sangat penting di dalam kemajuan dan penegakan HAM di Indonesia,” tegasnya.
Dianto Bachriadi menegaskan tidak datang ke Den Haag dengan kepentingan politik tertentu.

“Saya tidak berurusan dengan itu. Saya adalah komisioner HAM. Saya bicara hak asasi manusia,” Demikian komisioner Komnas HAM Dianto Bachriadi kepada tim media IPT65.

Setiap kali sidang Tribunal Rakyat Internasioal 1965 dibuka, ketua majelis hakim Zak Yacoob selalu bertanya apakah wakil pemerintah Indonesia hadir. Pertanyaan serupa selalu diulangnya setelah sidang selesai reses. Selalu tak ada jawaban, seperti terlihat pada kursi pemerintah Indonesia yang selalu kosong. Ternyata dua komisioner Komnas HAM dan Komnas Perempuan selalu hadir mengikuti sidang sejak awal, walaupun mereka tidak secara resmi mewakili pemerintah Jakarta. (Web Warouw)

http://www.bergelora.com/nasional/kesra/2587-amnesty-international-monitor-keselamatan-saksi-ipt-1965.html

0 komentar:

Posting Komentar