Test Footer 2

Kamis, 05 November 2015

Kemenlu: Pengadilan Rakyat Tragedi 1965, Langkah Mundur

KAMIS, 05 NOVEMBER 2015 | 18:30 WIB

Sejumlah korban/keluarga tragedi kemanusiaan 1965/1966 melakukan aksi damai di gedung Komnas HAM, Jakarta, Selasa (8/5). TEMPO/Aditia Noviansyah

TEMPO.COJakarta - Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha C Nasir mengatakan penyelenggaraan International Peoples Tribunal atau pengadilan rakyat terkait dengan tragedi 1965 adalah langkah mundur. "Bagi pemerintah, upaya rekonsiliasi masalah ini sudah dilakukan dan sudah ditutup. Apabila terus mengangkat isu ini, akan harus dilihat seberapa jauh mundur ke belakang," kata Tata, panggilan Armanatha, Kamis, 5 November 2015

Menurut Tata, penyelenggaraan pengadilan rakyat terkait dengan  tragedi 1965 yang akan digelar di Den Haag, Belanda, pada 11-13 November 2015 itu merupakan kegiatan aksi sekelompok masyarakat menanggapi tragedi usai peristiwa gerakan 30 September 1965. Pemerintah tidak mengambil sikap khusus terhadap pengadilan itu. "Kami tidak mengambil sikap khusus," katanya. 

Tata menyatakan, saat ini, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah merehabilitasi pihak yang terlibat tragedi 1965. "Saat ini, pemerintah dan kementerian terus melakukan upaya itu," katanya.

Sejumlah aktivis hak asasi manusia, akademikus, dan jurnalis menggagas pembentukan pengadilan rakyat peristiwa 1965. Rencananya, pengadilan itu akan diadakan di Den Haag, Belanda, pada 11-13 November 2015. Menurut Nursyahbani Ktjasungkana yang mengkoordinasi tim pembentukan pengadilan rakyat 1965 (International People’s Tribunal on 1965 crimes against humanity in Indonesia–IPT 1965), IPT 1965 diadakan untuk membuktikan terjadinya genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang selama ini tidak pernah diakui oleh negara.

Proses persiapan pembentukan IPT 1965, ujar Nursyahbani, sedang berlangsung mulai pengumpulan bukti di 13 daerah, mewawancarai saksi-saksi, pengumpulan dokumen hasil  penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tentang 1965 termasuk hasil liputanTempo, dan hasil riset sejumlah peneliti dari beberapa universitas di luar dan di dalam negeri. “Kami juga sudah mempersiapkan prosecutors(jaksa) dan hakim berpengalaman dalam menangani kasus genosida dan kejahatan kemanusiaan di sejumlah negara,” kata Nursyahbani.

Saskia E. Wieringa, peneliti kasus 1965, mengatakan banyak bukti yang menunjukkan dalam peristiwa 1965 telah terjadi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. “Ada tiga syaratnya, yaitu dilakukan secara terencana, ada niat, dan dilakukan secara meluas,” ujarnya. Ironisnya, ujar Saskia, saat ini masih kuat propaganda kebencian terhadap korban, keluarga korban, dan masyarakat yang berusaha mengungkap peristiwa 1965.

Meski kegiatan ini berupa pengadilan, tapi tidak ada upaya menyeret orang-orang ke pengadilan kriminal. Sebab, pengadilan ini tidak bersifat mengikat secara hukum, tapi sebuah putusan moral agar pemerintah Indonesia dapat membuat kebijakan terhadap peristiwa 1965. Den Haag dipilih sebagai tempat penyelenggaraan IPT 1965 karena kota ini merupakan simbol penegakan HAM.

Putusan IPT 1965 akan dikeluarkan pada 2016. Hasil putusan itu kemudian akan diberikan kepada Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, dengan harapan akan menghasilkan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dengan begitu, terbuka peluang komunitas internasional mengeluarkan desakan agar Indonesia memenuhi tuntutan dalam putusan IPT 1965.

ARKHELAUS WISNU/DIAH HARNI SAPUTRI/MARIA RITA

http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/05/063716251/kemenlu-pengadilan-rakyat-tragedi-1965-langkah-mundur

0 komentar:

Posting Komentar