Test Footer 2

Rabu, 11 November 2015

LINI MASA: Hari kedua sidang International People's Tribunal tragedi 1965

Video IPT 1965

Rika Theo | Published 4:18 PM, November 11, 2015
BEJO UNTUNG. Ia adalah tahanan politik pada 1970. Foto oleh Rika Theo/Rappler
DEN HAAG, Belanda—Pada hari pertama, International People's Tribunal (IPT) atau Pengadilan Rakyat Internasional, untuk korban tragedi pembantaian massal di Indonesia pada 1965 yang digelar di Den Haag, Belanda, 10 November 2015 menghadirkan saksi pelaku sejarah dan ahli.
Antara lain:
Martono, seorang pembawa mayat yang ditugaskan Tentara Nasional Indonesia saat itu di Solo. Ia mengaku membawa sekitar 20-25 mayat tiap akhir pekan untuk dibuang ke Sungai Bengawan Solo.
Ferry Putra, jurnalis independen yang melakukan investigasi di Wonosobo Jawa Tengah. Bersama sejumlah dokter forensik, ia menggali kuburan massal yang berisi tulang-belulang para korban pembantaian massal.
Ibu Ngesti dari Nusa Tenggara Timur. Ia seorang peneliti yang mewawancarai para istri korban dan pelaku eksekusi di enam lokasi di NTT sepanjang 1965-1966.
Lesley Dwyer, saksi ahli dari Bali. Ia mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa ada 100 kuburan massal di Bali. "Terdapat 80.000-120.000 korban atau 5-8 persen penduduk Bali pada waktu itu," ujarnya. Di Bali operasi mengganyang PKI baru dimulai Desember 1965.
Asvi Warman Adam, ahli sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang merupakan anggota tim peneliti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Ia mengungkap dugaan motif di balik pengiriman massal 11.600 tahanan ke Pulau Buru dan praktik perbudakan oleh militer. Asvi juga mengungkap data dan cerita tentang penulis terkenal Pramoedya Ananta Toer yang juga seniman Lekra kala itu.
Hari kedua ini, pengadilan akan membahas tentang penahanan, penyiksaan, dan kekerasan seksual.
Kontributor kami, Rika Theo, melaporkan langsung dari ruang sidang di Den Haag, Belanda.
15.00 WIB Mendengarkan saksi Bejo Untung, korban penahanan
Bejo Untung, seorang tapol, menuturkan kisah penahanannya. "Sampai sekarang, saya pertanyakan tentang tanggung jawab negara. Di mana kesalahan saya?" katanya.
"Saya ditangkap pada 24 Oktober 1970, 5 tahun setelah peristiwa 1965. Saya takut di daerah karena di desa kami lebih chaos," katanya. Bejo berada di Pamulang.
"Rumah dibakar, pelajar pun dipukuli. Saya tidak tahu apa yang terjadi di Jakarta pada 30 September 1965. Yang saya tahu minggu pertama-kedua Oktober sudah banyak orang yang dibunuh dan rumah dibakar," katanya.
"Ayah saya minggu pertama Oktober 1965 sudah ditahan.Saya lari karena seluruh anak dari yang terlibat PKI akan ditangkap. Tak hanya ditangkap tapi juga disiksa," katanya.
"Selama ditahan saya tak pernah minta bantuan hukum. Karena tidak ada seorang pun ahli hukum yg membantu."
"Sama sekali tidak ada yang membantu, baik polisi maupun aparat desa. Semua ketakutan."
"Kapasitas saya di sini selain sebagai korban, saya juga mewakili kawan-kawan YPKP. Kami sudah memiliki daftar semua yang menjadi korban, dibunuh, dan disiksa. Mungkin ini bisa jadi bahan pengadilan," katanya.
Saksi Martono, pembawa mayat
Kapan Saudara ditangkap, apakah ada surat penangkapan, siapa yang menangkap?
"Saya ditangkap di Solo. Pada tanggal 19 Oktober 1965 jam 10 malam, saya ditangkap serombongan RPKAD tanpa surat penangkapan, langsung dibawa dan disiksa dalam perjalanan sampai pos sandera."
"Sampai di sana, tangan saya diikat, dan diseret mobil di jalan raya. Jaraknya 150 meter."
"Setelah itu saya diangkut ke markas RPKAD di Kandang Menjangan."
"Tanpa pertanyaan apapun, tangan kaki dipegang, langsung dilemparkan, langsung dilempar ke plafon."
"Setelah jatuh diulangi lagi."
"Setelah tiga kali baru ditanya. Apakah saudara PKI?"
“Saya jawab, saya bukan PKI dan tidak tahu PKI itu apa. Kamu membunuh? Saya tidak pernah membunuh. Benar."
"Saya dibebaskan dari markas dan dibawa ke Balai Kota. Kami di sana ditelanjangi apakah ada kode di tubuh. Waktu itu, badan saya, pantat saya berdarah. Paginya dijemur dan dipamerkan ke Warga Solo.”
RPKAD, Angkatan Darat?
“Itu pasukan khususnya Suharto. Anak emasnya. Dari pasukan yang disentralkan di Solo.”
Di Balai Kota ada berapa orang tahanan?
"Kira-kira 130 orang."
Apakah punya akses makanan atau kesehatan di Balai Kota?
"Ada yang memberi makanan. Dari orang-orang Cina pemilik Toko. Ke penjaganya, sisanya dimakan tahanan."
Yang menahan tidak menyediakan makanan?
"Tidak ada. Tidak ada dokter juga. Tidak ada yang peduli."
Sesudah itu?
"Dibawa ke kamp Sasonomulyo. Di dalamnya ada 2.000 orang. Didiamkan saja, menunggu panggilan. Kodenya, kalau dipanggil disuruh membawa perlengkapan, pasti mati. —Rappler.com
17.00 Mendengarkan saksi ahli Saskia Wieringa, antropologis
http://www.rappler.com/indonesia/112459-lini-masa-hari-kedua-sidang-peoples-tribunal-1965

0 komentar:

Posting Komentar