Test Footer 2

Senin, 23 November 2015

Pernyataan Akhir Para Jaksa Tribunal Rakyat International tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Indonesia pada 1965

November 23, 2015

Silke Studzinsky, The Hague 2015
Yang Terhormat Para Hakim,
Para rekan, kawan dan hadirin yang kami hormati,
Setelah empat hari proses persidangan yang sangat intens, kami ingin mengungkapkan rasa terima kasih, penghargaan serta kekaguman kami yang mendalam untuk para penyintas dan saksi-saksi yang telah memiliki keberanian untuk berbicara secara terbuka mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di tahun 1965-1966 dan pada tahun-tahun berikutnya. 

Ini adalah pertama kalinya para penyintas tahun 1965 mendapatkan kesempatan untuk berbicara. Tribunal Rakyat Internasional ini dibentuk bukan hanya untuk memberikan suatu bentuk keadilan bagi mereka tetapi juga bagi seluruh penyintas dan korban dari kejahatan-kejahatan ini.
Para penyintas dan saksi telah berbicara mengenai penderitaan mereka, tentang kejahatan-kejahatan kejam yang harus mereka alami, serta kerugian, diskriminasi dan stigmatisasi yang mereka hadapi hingga hari ini. Para penyintas berani berbicara mengenai apa yang tak terkatakan. Mereka berani dan kuat. Mereka telah menunjukkan bahwa walaupun sudah lebih dari 50 tahun berlalu, kejahatan-kejahatan tersebut dan dampaknya dirasakan seperti baru terjadi kemarin. Mereka bersaksi untuk diri mereka sendiri dan untuk para keluarganya, tetapi juga untuk seluruh korban dan penyintas yang tidak dapat hadir di tribunal ini. Kesaksian mereka telah disiarkan dan diamankan, dan setiap orang di Indonesia dan seluruh dunia bisa, dan patut, mendengar suara-suara mereka.
Meskipun laman Tribunal sepertinya tidak dapat diakses di Indonesia – mungkin ditutup – cara-cara lain ditemukan untuk menyiasati serangan terhadap Tirbunal Rakyat Internasional ini.
Serangan itu adalah upaya lain untuk membungkam suara korban.
Kesaksian yang disampaikan memberikan pencerahan atas peristiwa 1965 dan, dengan penyampaiannya, mengubah sejarah sebagaimana yang tertulis dan telah diajarkan di Indonesia sampai saat ini. Mereka yang bersaksi pun lega, meskipun luka dan derita tidak serta merta hilang.
Kami juga ingin menyampaikan terima kasih yang mendalam bagi para ahli yang telah memberikan kesaksian dalam persidangan ini, menyampaikan informasi latar yang berharga serta penjelasan mengenai apa yang terjadi di masa lalu. 
Meskipun demikian, lembaran sejarah belum sepenuhnya terbuka dan masih banyak yang perlu dilakukan untuk mengungkap kejahatan yang terjadi secara keseluruhan.
Kami juga ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan berkontribusi dalam berbagai cara sehingga Tribunal Rakyat Internasional ini dapat terlaksana.
Yang terakhir, namun bukan paling akhir, kami ingin menyampaikan penghargaan atas kesaksian komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusi, Komnas HAM, Dr. Dianto Bachriadi. Ia menunjukkan keberanian yang luar biasa lewat kehadirannya, dalam kapasitas pribadi, di persidangan ini. Dr. Bachriadi menyampaikan berbagai kesulitan yang dihadapi dalam upaya membuat rekomendasi-rekomendasi laporan KOMNAS HAM menjadi terlaksana. Komnas menghabiskan waktu empat tahun untuk menginvestigasi kejahatan kemanusiaan yang terjadi di tahun 1965.
Dr Dianto Bachriadi menegaskan bahwa temuan Komnas HAM serupa dengan tuduhan nomor 1-7 dari dakwaan yang disampaikan penuntut dalam persidangan. Bukti yang cukup telah didapatkan untuk membuka sebuah penyelidikan. Ia pun bersikeras bahwa kebenaran harus diungkapkan dan ditegakkan sebagai langkah awal rekonsiliasi. Dengan kata lain, tidak ada rekonsiliasi tanpa kebenaran.
Mariana Amiruddin, komisioner Komnas Perempuan, Komisi Nasional Kekerasan Terhadap Perempuan, juga hadir dalam persidangan. Ia menghadiri sidang dan menyampaikan kesaksiannya dengan kapasitas resmi. Ibu Mariana Amiruddin dapat menegaskan bahwa laporan Komnas Perempuan, yang berisi dokumentasi kekerasan seksual dan berbasis gender yang terjadi selama peristiwa 1965, menjelaskan kasus-kasus dan pola-pola kekerasan seksual dan berbasis gender yang sama seperti yang telah disampaikan penuntut dalam dakwaannya.
Kami ingin menyampaikan terima kasih kepada kedua komisioner atas kontribusi penting mereka lewat kesaksian dan laporan-laporan yang telah dihasilkan, yang seluruhnya berdasarkan kesaksian para korban.
Sangat disayangkan Pemerintah Indonesia belum melaksanakan rekomendasi-rekomendasi kedua laporan tersebut.
Saya juga ingin menyampaikan situasi sulit yang dihadapi oleh Tribunal Rakyat Internasional. Setelah lebih dari 50 tahun, Pemerintah Indonesia tetap enggan mengakui fakta-fakta dan kejahatan-kejahatan yang telah terjadi. Sidang tidak mungkin dilakukan di Indonesia dimana Pemerintah terus melakukan tekanan terhadap upaya penguakan kebenaran peristiwa 1965. Ini sangat disesalkan. Meskipun demikian, adalah suatu kesuksesan bahwa sidang telah berlangsung di Den Haag, dan bahwa kekerasan dan kejahatan dapat diungkapkan di hadapan para hakim yang akan menilai bukti.
Sebagai warga negara Jerman, yang hidup setiap harinya dengan pemahaman akan kejahatan yang dilakukan negara saya di masa kini dan di masa lampau, dan sebagai pengacara internasional dan penuntut di hadapan Tribunal Rakyat Internasional, saya ingin mulai dengan mengutip pernyataan akhir dari penuntut utama asal Inggris, Hartley Shawcross, dalam pengadilan Nuremberg:
Hukum menang atas kejahatan. Proses hukum ini dilakukan bukan atas dasar balas dendam namun berdasarkan resolusi yang kuat bahwa kejahatan yang luar biasa ini tidak akan terulang lagi.
Harapan yang bermaksud baik ini, yang disampaikan oleh penuntut utama pada saat dunia masih terguncang akibat Perang Dunia ke II, secara mengecewakan tidak tercapai. Sejarah telah membuktikan bahwa perang dan penyerangan terhadap penduduk sipil terus berlangsung dibanyak wilayah di dunia.
Di Indonesia, di tengah berlangsungnya Perang Dingin dan hanya 20 tahun setelah pengadilan Nuremberg, pemerintah Indonesia, melalui militer dan polisi bersama dengan organisasi masyarakat dan keagamaan lainnya, melakukan kejahatan-kejahatan massal.
Mereka diarahkan untuk melawan orang-orang yang diduga anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan juga orang-orang yang diduga simpatisannya. Tujuan khususnya adalah untuk mengeliminasi mereka sebagai suatu kelompok nasional di dalam masyarakat Indonesia.
Selama empat hari sidang, kita telah mendengar tentang pembunuhan massal, perbudakan, pemenjaraan, penyiksaan, kekerasan seksual, persekusi dan penghilangan paksa, persekusi yang dilakukan melalui propaganda dan keterlibatan negara-negara asing, khususnya Amerika, Inggris dan Australia. Masyarakat dunia sesungguhnya menyadari bahwa kejahatan-kejahatan massal ini berlangsung. Namun tetap diam.
Para penyintas masih hidup dengan ingatan yang sangat rinci tentang bagaimana keseharian mereka pada tahun-tahun itu. Mereka hidup dengan siksaan yang mengerikan serta perlakuan buruk yang dilakukan terhadap mereka, setiap harinya, siang dan malam. Saya persembahkan bagi mereka, beberapa kalimat berikut ini oleh Jean Améry, seorang penyintas dari kamp konsentrasi Nazi di Auschwitz. Saya mengutip:
Siapapun yang pernah disiksa akan terus tersiksa. Siapapun yang pernah menderita penyiksaan tidak akan pernah lagi merasa tenang di dunia ini. Kekejian dari pemusnahan tidak akan pernah padam.
Para penyintas harus berurusan setiap harinya dengan ingatan-ingatan mereka. Syumereka ingin memberikan bukti terhadap perlakukan tidak manusiawi dan tidak dapat dipahami yang telah merampas martabat mereka sebagai manusia.
Mereka bertanya, “mengapa saya terpilih untuk dipenjara, disiksa dan diperbudak? Saya tidak bersalah untuk apapun.”
Para keluarga korban ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada orang-orang yang mereka cintai. Bagaimana mereka disiksa? Apakah mereka diinterogasi dan oleh siapa? Apakah mereka meninggalkan pesan-pesan tersembunyi untuk kami? Apakah mereka meminta pertolongan? Bagaimana dan dimana mereka dibunuh dan oleh siapa? Apakah mereka diperkosa dan mendapatkan kekerasan seksual? Dimana mereka dihilangkan? Mengapa mereka yang dipilih untuk diperlakukan tidak seperti manusia?
Para penyintas dan keluarga mereka sedang mencari keadilan. Namun apa arti keadilan ini untuk mereka? Bagi mereka keadilan berarti, antara lain, mencari kebenaran dan mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan menyakitkan dan tanpa henti yang selalu menghantui dan menghalangi tidur mereka.
Ketika mereka bisa tidur, seringkali bukan tidur yang cukup. Seperti ada kegelisahan yang permanen dalam jiwa mereka, dimana peristiwa-peristiwa itu terus menggangu pikiran mereka. Untuk selamanya kedamaian telah dirampas dari kehidupan mereka sampai hari ini. Di Indonesia, mereka didiskriminasi, distigmatisasi dan dibungkam sampai hari ini. Mereka ingin mengetahui kebenaran sejarah yang menyeluruh tentang apa yang terjadi pada orang-orang yang mereka cintai, yang mana hanya terlihat seperti hantu selama tidak ada informasi jelas tentang nasib mereka.
Mengungkap informasi ini adalah satu-satunya cara untuk menegakkan kembali martabat orang-orang yang mereka cintai. Mengungkap informasi ini adalah satu-satunya cara untuk membebaskan yang hidup dari kengerian ini, sehingga mereka pun dapat menjalani hidup dengan terbebas dari pertanyaan-pertanyaan tak terjawab dan bayangan masa lalu.
Pihak penuntut percaya bahwa kami telah mampu memberikan bukti-bukti yang kuat selama empat hari persidangan ini. Kami percaya bahwa bukti yang ada secara meyakinkan telah membuktikan terjadinya kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti yang telah kami cantumkan dalam dakwaan, dan menunjukkan bahwa Negara Indonesia bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan ini. Bukti-bukti yang telah kami berikan juga menegaskan bahwa pemerintah Amerika, Inggris dan Australia bertanggung jawab atas keterlibatan mereka, dengan menawarkan bantuan yang besar dan yang dilakukan secara sadar kepada pemerintah Indonesia dalam kejahatan-kejahatannya terhadap kemanusiaan.
Namun demikian, masih ada kemungkinan keterlibatan pemerintah-pemerintah asing lainnya. Banyak arsip bersejarah yang masih ditutup. Dengan secara aktif mengungkap bukti-bukti, negara-negara asing dapat turut andil dalam upaya pencarian kebenaran yang sah.
Penuntut merujuk pada berkas penuntutan, yang menguraikan kerangka hukum di bawah hukum internasional sebagaimana pengaturannya terhadap kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan seperti yang dituduhkan dalam dakwaan.
Dakwaan tidak dan tidak akan mampu mencakup semua kejahatan-kejahatan yang dilakukan. Salah satu bagian dari serangan terhadap penduduk sipil adalah pengusiran orang-orang dari tanah mereka. Desa-desa secara keseluruhan dikosongkan dan penduduknya dipaksa pindah. Harta properti mereka disita dan mereka kehilangan dasar pencarian nafkah mereka. Sampai hari ini, pemerintah tidak mengakui kerugian yang mereka alami dan tidak memberi kompensasi.
Pihak penuntut mengakui terjadinya kejahatan-kejahatan ini. Namun demikian, mereka tidak dapat dimasukkan kedalam dakwaan di hadapan Tribunal Rakyat Internasional. Penyelidikan lebih lanjut terhadap kejahatan-kejahatan ini sangat diperlukan.
Tanggung jawab Negara di bawah Hukum International:
  1. Berdasarkan pasal-pasal tentang Tanggung Jawab Negara-Negara atas Tindakan-Tindakan yang Salah Secara Hukum Internasional, Negara Indonesia secara internasional bertanggung jawab terhadap tindak kejahatan yang telah dilakukannya. Pasal ini mewakili hukum adat (customary) internasional dan oleh karenanya mengikat semua negara secara hukum.
  1. Sebuah Negara bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan serius, seperti kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan, jika Negara memfasilitasi, membantu, bersengkongkol dengan, mendukung dan melakukan kejahatan-kejahatan tersebut di bawah tanggung jawab sendiri dan melalui aparatur negara.
  1. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan di bawah tanggung jawab penuh Negara. Jenderal Suharto segera mengambilalih kendali secara de facto terhadap ibukota dan Angkatan Darat pada tanggal 2 Oktober 1965. Operasi Komando yang baru untuk Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dibentuk pada 10 Oktober untuk membubarkan PKI dan yang diduga simpatisannya. Pada tanggal 1 November 1965, Jenderal Suharto diangkat menjadi Kepala Komando Kopkamtib. Maka dari itu, komando ini beroperasi langsung di bawah perintah langsung Jenderal Suharto.
  1. Di bawah komando Angkatan Darat dan pasukan keagamaan konservatif, terjadi demonstrasi mahasiswa secara meluas dan disertai aksi kekerasan yang menuntut Presiden Sukarno turun dari kekuasaannya dan pembasmian terhadap PKI. Pada bulan Maret 1966, Jenderal Suharto merebut kekuasan dari Presiden Sukarno; pada tahun berikutnya ia diangkat menjadi presiden negara Indonesia.
  1. Jenderal Suharto dan sekutunya segera menyalahkan PKI sebagai dalang gerakan 30 September (G30S). Sebuah propaganda militer menyebarkan gambar-gambar jenderal yang mati dengan tuduhan bahwa orang-orang komunis, khususnya perempuan komunis, telah menyiksa dan memutilasi mereka sebelum mati. Akibatnya, aksi kekerasan dan demonstrasi oleh Angkatan Darat dan berbagai kelompok pemuda—yang diperlengkapi dan didukung oleh militer dan pemerintah—mulai mengincar orang-orang komunis di Aceh, Jawa Tengah dan Jawa Timur, sebelum menyebar ke seluruh Indonesia. Penduduk sipil dibunuh, diperkosa, disiksa, diperbudak atau menjadi korban kejahatan kemanusiaan lainnya di rumah-rumah mereka atau di tempat-tempat publik.
  1. Pada tanggal 21 Desember 1965, Jenderal Suharto menerbitkan sebuah perintah (KEPI/KOPKAM/12/1965) kepada pemimpin militer di seluruh Indonesia untuk menyusun daftar anggota PKI dan organisasi yang berkaitan dengan PKI di wilayah masing-masing. Penduduk sipil yang namanya masuk di dalam daftar ini kemudian menjadi sasaran pelanggaran berat hak asasi manusia, termasuk pembunuhan, penyiksaan dan kejahatan lainnya.
Selama proses pengadilan, pihak penuntut menjelaskan secara rinci rantai komando yang menjelaskan bahwa militer dan polisi militer yang telah melakukan kejahatan bertindak berdasarkan perintah negara Indonesia dan bersama-sama dengan kelompok keagamaan dan milisi, yang diperalat dan digunakan dalam melakukan tindak kejahatan.
Kini, saya ingin beralih pada detil masing-masing tuduhan dan menerangkan bukti-bukti yang telah kami tunjukkan selama empat hari—bukti yang kami serahkan kepada Yang Terhormat—laporan para peneliti, kesaksian para saksi dan ahli, dan bahan-bahan bukti lainnya.
Seluruh 9 poin tuduhan dilakukan sebagaimana disebutkan dalam delik kejahatan terhadap kemanusiaan. Segera setelah peristiwa-peristwa pada tanggal 30 September, serangan meluas dan sistematik dilakukan terhadap sejumlah penduduk sipil yang signifikan. Sasarannya adalah anggota PKI, anggota kelompok dan organisasi terkaitnya dan siapapun yang dianggap pendukung atau simpatisan PKI.
Secara khusus pihak berwenang negara melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagai berikut sebagai bagian dari penyerangan terhadap warga sipil:
Tuduhan 1 Pembunuhan
Pihak penuntut telah menyerahkan pernyataan Martono, seorang penyintas peristiwa 1965. Selama dua tahun ia ditahan oleh militer. Dalam tahanan ia disiksa dan dipaksa oleh OPSUS (sebuah tim khusus beranggotakan militer, angkatan udara, brimob dan partai politik) untuk membuang mayat-mayat orang yang dibunuh di pusat penahanan Diponegoro di mana para tahanan disiksa dengan cara disetrum listrik. Martono memperkirakan telah membuang dua mayat setiap harinya, dan sampai 20 mayat di akhir pekan.
Kami mendengar para saksi ahli, Ferry Putra, seorang wartawan independen, Misty (nama samaran) dan Leslie Dwyer mampu menjelaskan bahwa pembunuhan massal terjadi segera setelah 1 Oktober 1965 dan berlangsung sampai 1967. Para ahli memberikan tinjauan luas tentang pembunuhan massal yang terjadi di seluruh wilayah di Indonesia dan bersifat meluas dan sistematis.
Pada tahun 1999, Leslie Dwyer mengumpulkan kesaksian dari para saksi yang mengetahui lokasi kuburan massal di Bali. Antara 80,000 sampai 120,000 orang dibunuh di Bali pada periode Desember 1965 sampai Maret 1966. Angka ini berkisar 5,8 persen total penduduk pada saat itu. Beberapa dari kuburan massal ini berisi jenazah 200 orang korban, diantaranya anggota PKI dan afiliasinya, Barisan Tani Indonesia (BTI); tetapi juga orang-orang tanpa keterkaitan politik, seperti anak-anak berusia 11 dan 12 tahun.
Di Bali sendiri terdapat setidaknya 100 kuburan massal yang telah diidentifikasi. Di Bali pembunuhan mulai Desember 1965, setelah kedatangan Angkatan Bersenjata Khusus. Pasukan Khusus ini melakukan pembunuhan bersama dengan pasukan militer lainnya, penduduk lokal, anggota PNI dan milisi terkait, serta milisi ANSOR dari Jawa. Militer dan polisi lokal juga memerintahkan penduduk sipil untuk ikutserta dalam pembunuhan di desa sekitarnya dan mengancam membunuh keluarga mereka jika mereka menolak untuk bekerja sama.
Kita mendengar satu contoh penggalian kuburan massal. Bersadarkan posisi jenazah di dalam kuburan tersebut, ahli forensik menyimpulkan bahwa para korban berdiri dalam satu baris sebelum mereka ditembak mati, dan penembakan tersebut dilakukan dalam waktu singkat.
Berdasarkan keterangan saksi ahli dan dari data yang mereka kumpulkan, satuan-satuan berbeda dalam militer dan polisi militer negara Indonesia adalah pelaku kejahatan pembunuhan, juga bersama dengan warga sipil, yang digunakan dan diperalat oleh tentara.
Penelitian menunjukkkan bahwa para pendeta juga diminta untuk menjadi bagian dari tim eksekusi atau untuk menemani para korban menuju tempat eksekusi.
Komando militer memerintahkan pembunuhan dan mengumpulkan milisi setempat.
Penuntut menyimpulan bahwa bukti yang ada membuktikan bahwa pembunuhan terjadi secara menyebar dan sistematik, seperti yang diuraikan dalam dakwaan di bawah tuduhan atas pembunuhan, dan Negara Indonesia bertanggung jawab atas pelaksanaan kejahatan ini.
Tuduhan 2 Perbudakan
Bukti yang disampaikan melalui kesaksian seorang penyintas yang bersaksi di bawah perlindungan, dan saksi ahli, Dr Asvi Warman Adam, menunjukkan bahwa selama peristiwa-peristiwa 1965, terjadi perbudakan yang meluas dan sistematis. Penyintas menggambarkan dengan cukup jelas bahwa penangkapan-penangkapan yang dialami korban dilakukan oleh Komando Distrik Militer, sementara pemindahan para tahanan ke penjara lainnya dilakukan oleh polisi dan militer (unit CPM). Penyintas merupakan anggota organisasi mahasiswa etnis Tionghoa yang tidak terkait dengan PKI.
Ketika ditangkap, ia ditelanjangi. Setelah beberapa kali dipindahkan, ia dibawa ke Pulau Buru dan dijadikan tenaga kerja paksa. Ia ditahan selama total 14 tahun. Militer yang menahannya tidak memberikan alasan penahanan. Tidak ada surat penangkapan yang dikeluarkan. Ia berada dibawah kendali penjaga militer. Selepas dari tahanan, ia diwajibkan untuk melapor sebulan sekali dan setelahnya, di Jakarta ia dikenakan wajib lapor setiap tiga bulan sekali.
Selanjutnya, dia harus mengikuti kelas penataran (indroktinasi) tentang Pancasila—ideologi dasar negara Republik Indonesia. Sebelum para tahanan dilepaskan, mereka diharuskan menandatangani surat pernyataan yang menyatakan bahwa mereka tidak diperlakukan secara buruk. Mereka juga diwajibkan memilih satu agama.
Para saksi ahli menggambarkan sistem penahanan, dengan fokus khusus pada Pulau Buru.
Dr Asvi Warman Adam menyimpulkan bawah kejahatan-kejahatan yang dialami oleh mereka yang dituduh komunis didasari atas perintah Jendral Suharto. Jendral Suharto memberikan pidato yang menyatakan bahwa Partai Komunis harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Beragam satuan militer menafsirkan perintah ini dengan cara yang berbeda-beda, dengan melakukan penangkapan, menahan dan juga membunuh orang. Di tahun-tahun berikutnya, mereka yang mengritik Pemerintah dicap sebagai komunis, dan bahaya komunisme sengaja dilanggengkan demi mengontrol rakyat.
Kondisi sel penjara sangatlah buruk—para tahanan disiksa, makanan dibatasi dan pelayanan kesehatan tidak tersedia. Awalnya para tahanan tidak memiliki akses ke keluarga, mereka baru bisa dijenguk oleh keluarga menjelang akhir penahanannya.
Tahanan dibagi ke dalam tiga kelompok: Grup A dianggap terlibat dalam proses pembunuhan para jendral dan diadili di pengadilan sipil atau militer; Grup B terdiri dari para anggota PKI yang terlibat namun bukan pejabat teras di Partai; dan Grup C terdiri dari mereka yang dituduh sebagai simpatisan PKI.
Banyak dari mereka yang ditangkap setelah Oktober 1965 dipindahkan dari satu penjara ke penjara lain, dan sering berakhir di kamp konsentrasi Pulau Buru. Militer dan polisi militer melakukan proses penahanan, di mana perbudakan juga terjadi. Saksi ahli menjelaskan tentang rantai komando dan menunjukkan bahwa komandan dari Kopkamtib lah yang memutuskan segala perkara. Maka pada akhirnya Negara Indonesia lah yang bertanggungjawab atas perbudakan para tahanan
Di Pulau Buru, setidaknya ada 11.000 orang yang diperbudak. Tujuan dari pemindahan ke Pulau Buru adalah untuk memastikan agar orang lain tidak terpengaruh dengan ideologi komunisme, mengisolasi para komunis, dan memastikan agar rakyat tetap menganut Pancasila. Awalnya Pemerintah berdalih bahwa penahanan di Pulau Buru adalah untuk memastikan tidak adanya gangguan keamanan selama pemilihan umum 1971 berlangsung. Namun setelah pemilihan umum berlangsung pun, para tahanan masih belum juga dilepaskan.
Pada 1978 dan 1979, para tahanan akhirnya dilepaskan oleh Pemerintah karena tekanan dari Pemerintah internasional dan organisasi pendonor asing.
Perempuan ditahan di penjara Plantungan. Selain diterpa oleh kondisi yang sama buruknya, tahanan perempuan juga menjadi korban kekerasan seksual. Jika mereka hamil dan melahirkan, anggota keluarga lah yang mengurus anak tersebut karena tidak ada pihak yang bertanggungjawab.
Penuntut menyimpulkan bahwa bukti yang ada membuktikan bahwa perbudakan terjadi secara meluas dan sistematik sebagai bagian dari penindasan pada penduduk sipil, sebagaimana diuraikan dalam dakwaan di bawah tuduhan perbudakan dan bahwa Negara Indonesia lah yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan kejahatan tersebut.
Tuduhan 3 Pemenjaraan
Pihak penuntut mengajukan dua saksi dan penyintas Bejo Untung dan Martono. Selain saksi dan penyintas tersebut, Dr Saskia Wieringa memberikan kesaksiannya sebagai saksi ahli. Bejo Untung ikut sebagai peserta di dalam satu perkumpulan mahasiswa di bidang kebudayaan yang independen. 
Perkumpulan tersebut digolongkan oleh militer sebagai organisasi yang berafiiliasi PKI. Ketika ia ditangkap oleh kesatuan Kodim di Jakarta yang kelima, beliau ditelanjangkan dan disiksa dengan listrik. Teriakan korban-korban yang lain terdengar ketika ternyata mereka juga sedang disiksa. 
Perintah penanahan tidak ada, dan alasan penanahan tidak pernah diberikan. Perampasan kemerdekaan dilakukan secara sewenang-wenang dan tanpa landasan hukum. Bejo Untung tidak pernah dibawa ke depan pengadilan yang independen dan tidak memihak. Ia juga dipenjarakan dalam keadaan yang sangat buruk , tidak diberikan makanan yang cukup dan fasilitas kesehatan. Penjara-penjara terlalu padat. Para tahanan tidak diperbolehkan mengakses pengacara, dan tidak diijinkan menerima kunjungan oleh keluarga-keluarga mereka. 

Kini Bejo Untung adalah ketua organisasi korban dan telah mengumpulkan 200 pernyataan penyintas yang dipenjarakan.
Begitu pula, Martono juga dipenjarakan tanpa landasan hukum dan proses hukum yang adil. Ia juga disiksa dengan listrik dan diinterogasi.
Dr Saskia Wieringa menjelaskan bahwa tes psikologi diterapkan pada tahun 1966 dan pada tahun 1970an dengan tujuan untuk mengidentifikasi para tahanan yang tetap berkomitmen komunis. Pada tahun 1966 setelah pembersihan orang-orang yang dituduh sebagai simpatisan PKI di dalam apparat tentara dan birokasi, semua tahanan yang lain juga dites; pada awal tahun 1970-an tes-tes psikologi yang lebih canggih dikembangkan, dan misalnya dilakukan dengan para tahanan di Pulau Buru; pada akhir tahun 1970-an, tes-tes tersebut dilakukan untuk menentukan tahanan-tahanan yang akan dibebaskan. Para tahanan yang masih dituduh masih berkomitmen terhadap ideologi komunis ditahan jauh lebih lama. Salah satu tujuan utama dari melakukan tes psikologi tersebut adalah mengangkat kredibitilitas pembersihan yang dilakukan oleh KOPKAMTIB supaya pembersihan tersebut tampak seakan-akan normal/hal yang biasa.
Pada tanggal 1 November 1985, Jenderal Nasution memutuskan para tahanan akan digolongkan. Dr Wieringa juga memberikan penjelasan tentang penggolongan tahanan tersebut. Ahli-ahli psikolog, yang bekerja sama erat dengan universitas-universitas di Belanda, mengembangkan tes yang diterapkan untuk mengidentifikasi/menentukan siapa yang mungkin komunis serta derajat komitmennya terhadap komunisme. Para ahli pskilolog menggolongkan para tahanan, setelah melakukan tes; dengan demikian mereka mengambil peran sebagai hakim, tanpa adanya proses hukum yang sah.
Penuntut menyimpulkan bahwa bukti yang ada membuktikan terjadinya pemenjaraan secara meluas dan sistematik, seperti digambarkan di dalam dakwaan dibawah tuduhan nomor tiga. Pihak penuntut juga menyimpulkan bahwa Negara Indonesia bertanggung jawab atas kejahatan tersebut.
Tuduhan 4 Penyiksaan
Pihak penuntut mengajukan kesaksian oleh orang penyintas, yaitu Muhammad Yusuf Pakasi dan Martin Aleida.
Pakasi bekerja sebagai pegawai negeri. Beliau ditangkap dan kemudian disiksa sambil diinterogasi. Ditanyakan nama-nama. Dia memberikan nama-nama yang dia ketahui, namun penyiksaan dilanjut. Penyiksaan begitu kejamnya sehingga beliau pingsan.
Martin Aleida adalah seorang wartawan yang telah bekerja di salah satu koran yang berafiliasi dengan PKI. Ia juga ditangkap dan disiksa. Ia menggambarkan tentang berbagai bentuk penyiksaan yang dilakukan sambil beliau diinterogasi. Martin Aleida ditahan selama satu tahun. Beliau juga melaporkan tentang orang lain yang disiksa.
Penuntut menyimpulkan bahwa bukti yang ada membuktikan penyiksaan dilakukan secara luas dan sistematis, seperti diuraikan di dalam dakwaan dibawah tuduhan nomor 4. Pihak penuntut juga menyimpulkan bahwa Negara Indonesia bertanggung jawab atas kejahatan tersebut.
Tuduhan 5 Kejahatan Seksual
Untuk tuduhan Kejahatan Seksual, persidangan menghadirkan kesaksian dari penyintas/survivor korban kejahatan seksual, yang bersaksi dibawah perlindungan, dan Dr Saskia Wieringga sebagai saksi ahli. Korban menjelaskan bahwa dia ditelanjangi ketika ditangkap dan diinterogasi. Tentara mencari tanda pada tubuhnya untuk menunjukan bahwa dia adalah seorang anggota Gerwani, organisasi perempuan yang berafiliasi dengan Komunis. Alat kelaminnya dibakar dan dia disiksa dengan parah dan diperkosa selama dalam tahanan. Dia juga dipaksa untuk melakukan seks oral. Pada akhirnya dia mengalami kehancuran secara fisik dan psikologis. Sampai hari ini, dia masih menderita sebagai akibat dari serangan seksual yang dilakukan kepadanya. Dia masih bertanya-tanya mengenai kenapa tuduhan kriminal tersebut ditimpakan kepadanya. Sampai hari ini, dia tidak menemukan jawabannya.
Dr Wieringa memberi penjelasan mengenai pola kekerasan seksual yang dilakukan, terutama kepada perempuan. Wieringa telah melakukan penelitian ekstensif dan mewawancarai para penyintas yang kemudian bertemu dalam sebuah kelompok untuk berdiskusi. Meskipun demikian, hanya setelah 1998 para penyintas tersebut berani berbicara dalam kelompok-kelompok demikian. Dia juga memaparkan temuan-temuan dari para peneliti lain dalam bidang ini.
Menurut saksi ahli, kejahatan seksual dilakukan secara meluas dan sistematis. Segala bentuk kekerasan seksual bisa ditemukan seperti: pemerkosaan vaginal dan oral—sebagian besar terjadi selama masa penahanan dan interogasi, penelanjangan dan serangan seksual, perbudakan secara seksual, pelacuran yang dipaksakan, mutilasi organ seksual, kehamilan yang dipaksakan.
Semua perempuan tersebut menghadapi kekerasan seksual dibawah ancaman.
Para pelaku, tentara dan milisi, seringkali bertindak dalam kelompok. Mereka menikmati impunitas/kekebalan hukum. Para atasan seringkali terlibat dan hadir. Meskipun demikian, kejahatan tersebut tidak dicegah maupun dihukum.
Aib dan stigmatisasi masih berlangsung sampai sekarang.
Penuntut menyimpulkan bahwa bukti yang ada membuktikan terjadinya kejahatan seksual secara meluas dan sistematik, sebagaimana diuraikan dalam dakwaan dibawah tuduhan nomor 5 dan bahwa Negara Indonesia bertanggung jawab atas kejahatan tersebut.
Dakwaan 6. Persekusi
Dibawah tuduhan Persekusi, pihak penuntut menghadirkan pernyataan dari Surono dan Amnah, yang telah dicabut kewarganegaraan Indonesianya. Mereka tengah berada di luar negeri pada tahun 1965 – 1967. Surono di Uni Soviet dan Amnah di Bulgaria. Mereka kehilangan haknya untuk kembali dengan selamat ke tanah air Indonesia.
Sebagaimana dua orang penyintas ini, sebagian besar orang Indonesia yang berada di luar negeri adalah pelajar, pegawai pemerintah, wartawan dan lain-lain yang belajar dan bekerja di luar negeri dengan kapasitas resmi. Kedutaan Indonesia di seluruh dunia secara aktif melakukan pemeriksaan (screening) terhadap warga Negara Indonesia. Kedutaan menyebut kegiatan ini sebagai dialog dengan warganya. Tim pemeriksaan/screening secara sistematis mengundang semua orang Indonesia dan mewawancarai mereka perihal sikap mereka terhadap Sukarno.
Jika mereka tidak menghadiri undangan dan/atau jika mereka diidentifikasi sebagai pendukung Sukarno, atau dianggap sebagai komunis dan tidak loyal kepada Suharto, paspor mereka dicabut dan mereka tidak dapat kembali ke Indonesia. Mereka dianggap berada diluar perlindungan hukum dan akhirnya menjadi tidak memiliki berkewarganegaraan selama berpuluh-puluh tahun. Mereka merasa seperti ‘debu’ dan ‘tidak berarti’. Sampai saat ini mereka masih merasa tidak aman dan tidak berani untuk kembali ke Indonesia.
Penuntut menyimpulkan bahwa bukti yang ada membuktikan terjadinya persekusi yang meluas dan sistematik yang beralasan politik, sebagaimana diuraikan dalam dakwaan nomor 6 dan bahwa Negara Indonesia bertanggung jawab atas kejahatan tersebut.
Tuduhan 7 Penghilangan Paksa
Pihak penuntut mengajukan 2 saksi. Yang pertama adalah Astaman Hasibuan yang telah kehilangan ayahnya. Orang tua Astaman Hasibuan adalah anggota dari organisasi cabang lokal dari PKI. Ayahnya ditahan, namun kemudian Astaman Hasibuan tidak bisa mendapatkan informasi apapun terkait keberadaan ayahnya. Apakah dia sudah meninggal, dan bila betul, di mana dia meninggal dan dikuburkan. Dia telah berupaya mencari saksi, tapi setelah 10 Desember 1965, Astaman Hasibuan kehilangan semua jejak keberadaan ayahnya.
Saksi ini menegaskan bahwa dalam banyak kasus penahanan, tahanan ditransfer ke lokasi yang berbeda dan kemudian menghilang. Seringkali, mereka dijemput dari lokasi penahanan pada saat malam hari dan tidak pernah kembali.
Keluarga mereka tidak pernah menerima informasi tentang keberadaan mereka.
Pihak penuntut dengan demikian menyatakan bahwa dakwaan penghilangan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan telah terjadi.
Saksi kedua, Intan, menyampaikan cerita mengenai saudara lelaki, ayah dan ibunya yang ditahan oleh pihak militer (Indonesia). Mereka dituduh sebagai anggota partai komunis (PKI).
Ayahnya kemudian dihilangkan dari rumah tahanan. Intan telah berupaya mencari keberadaannya, bahkan hingga sekarang, namun tetap tidak benar-benar mengetahui apa yang terjadi pada beliau. Secara keseluruhan, 7 anggota keluarganya telah dihilangkan. Intan masih menderita berat hingga hari ini. Dia merasa tidak berdaya dan dihantui kenangan tentang kehilangannya.
Ketidaktahuan menghantui semua korban yang keluarganya dihilangkan. Mereka terus bertanya-tanya: di mana ayah, ibu, saudara perempuan dan laki-laki kami? Bibi dan paman, serta keponakan kami? Di mana kami bisa secara layak meratapi dan mengubur mereka?
Penuntut menyimpulkan bahwa bukti yang ada membuktikan terjadinya penghilangan paksa secara luas dan sistematik, seperti yang diuraikan dalam dakwaan nomor 18 dibawah tuduhan 7, dan bahwa Pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas kejahatan ini.

Tuduhan 8 Persekusi melalui propaganda
Pihak penuntut menampilkan kesaksian dari dua saksi ahli, Dr Saskia Wieringa dan Dr Wijaya Herlambang, yang menjelaskan tentang penggunaan dan fungsi propaganda yang telah menimbulkan penghasutan dan akhirnya mengakibatkan terjadinya beberapa kejahatan berat.
Dr Wieringa mengawali penjelasan dengan pemaparan latar belakang sejarah.
Dia menjelaskan bagaimana PKI dicap sebagai ateis, dan dengan demikian anti Pancasila dan bertentangan dengan bangsa. Karena semua orang di Indonesia harus menganut salah satu dari agama yang diakui, dituduh sebagai ateis dan tidak memiliki moralitas seksual merupakan sesuatu yang akan memancing respon keras dari masyarakat Indonesia. 
Stigma ini masih berlanjut sampai hari ini.
Segera setelah kudeta 30 September, pihak militer mengukuhkan narasi tentang PKI melalui sebuah buku yang ditulis oleh seorang sejarawan militer, Nugroho Notosusanto, yang diterbitkan pada Desember 1965. Koran-koran dilarang dan hanya koran milik militer yang diijinkan.
Pihak militer menyebarkan berita palsu bahwa para perempuan dari Gerwani telah menggoda para jenderal dan mengebiri mereka sambil menari telanjang. PKI kemudian dituduh telah melatih para perempuan tersebut. Walaupun hasil otopsi para jenderal menunjukkan bahwa ini tidak benar, cerita ini tetap bertahan dan diterima secara umum di Indonesia, hingga kini.
Kampanye anti-PKI disebarkan melalui berbagai cara dan metode, termasuk film, kurikulum sekolah, buku, upacara dan monumen kenegaraan. Radio juga merupakan salah satu cara yang paling efektif digunakan dalam kampanye ini.
Analisa ahli juga mengkonfirmasi bahwa propaganda kebencian ini telah mengakibatkan berbagai tindakan diskriminasi, peminggiran, penghinaan dan dehumanisasi dari PKI, dan terutama Gerwani serta semua yang terkait dengan mereka.
Propaganda tersebut telah menciptakan budaya ketakutan.
Dr Wieringa menyimpulkan bahwa pihak militer menyadari potensi kedasyatan dampak-dampak dari kampanye propaganda, yang penuh kebohongan.
Penuntut menyimpulkan bahwa bukti yang ada membuktikan terjadinya persekusi yang meluas dan sistematis melalui propaganda, sebagaimana diuraikan dalam dakwaan di bawah tuduhan nomor 8, dan bahwa Negara Indonesia bertanggung jawab atas terjadinya kejahatan tersebut.

Tuduhan 9 Keterlibatan Amerika Serikat, Inggris dan Australia
Penuntut menampilkan dua saksi ahli, Bradley Simpson dan Dr Wijaya Herlambang. Mereka menguraikan keterlibatan Amerika Serikat, Inggris dan Australia dan dukungan yang diberikan negara-negara tersebut kepada Negara Indonesia.
Bradley Simpson bisa membuktikan bahwa pemerintah AS melakukan operasi rahasia sebelum pembunuhan jenderal-jenderal pada 30 September dan berusaha mengambil keuntungan dari peristiwa tersebut untuk mendesak Angkatan Darat Indonesia untuk menghancurkan PKI. AS, Inggris dan Australia memberikan peralatan komunikasi radio untuk memudahkan komunikasi antar pasukan-pasukan dan memberikan senjata ringan dan uang. Mereka mendukung Indonesia dalam pelaksanaan kejahatan massal tersebut. Mereka juga memberikan daftar-daftar orang-orang yang dianggap sebagai anggota PKI kepada pihak berwenang Indonesia.
Dr Herlambang menyelidiki satu bidang lain – pengaruh budaya CIA, yang memanipulasi para intelektual Indonesia untuk mendukung opini-opini anti-komunis.
 Penuntut menyimpulkan bahwa bukti yang ada, membuktikan bahwa AS, Inggris dan Australia terlibat dalam pelaksanaan kejahatan pembunuhan, perbudakan, pemenjaraan, penyiksaan, kekerasan seksual, persekusi dan penghilangan paksa sebagai kejahatan terhadap umat manusia.
Setelah sidang selama empat hari, saya ingin meninjau kembali pertanyaan rekan saya dan ketua penuntut yang dalam pernyataan pembuka mengajukan pertanyaan:  
Mengapa kita di sini?
Kami menyimpulkan bahwa kami telah melakukan suatu langkah penting dan besar menuju jalan panjang pencarian kebenaran, yang telah dibungkam selama beberapa dasawarsa.
Dan kami melakukan langkah besar selanjutnya yaitu menyerukan kepada Indonesia untuk mengakui dan menerima laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tahun 2012, mengikuti rekomendasi-rekomendasinya dan segera memulai penyelidikan yang memadai mengenai kejahatan-kejahatan skala besar yang telah dilakukan.
Kami sungguh percaya bahwa Tribunal Rakyat Internasional ini akan membukakan pintu untuk pengakuan yang sejati terhadap kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan pelaku-pelaku individual;
Kami sungguh percaya bahwa Tribunal ini akan membuka pintu
untuk permintaan maaf yang sungguh-sungguh;
pemulihan dan
rehabilitasi orang-orang yang didiskriminasikan hingga hari ini.
Tribunal ini juga memberi kontribusi penting pada perjuangan panjang dan tanpa henti melawan impunitas.
Para penyintas menyerukan kepada masyarakat internasional untuk mengakui keterlibatan mereka, untuk memecahkan kebungkaman dan meluruskan rekaman sejarah.
Tribunal ini juga sangat diperlukan untuk mengingatkan setiap orang bahwa kejahatan-kejahatan tersebut tidak boleh terulang lagi.
Terimakasih atas perhatian anda.


http://1965tribunal.org/id/pernyataan-akhir-para-jaksa-tribunal-rakyat-international-tentang-kejahatan-terhadap-kemanusiaan-di-indonesia-pada-1965/

0 komentar:

Posting Komentar