SOEKARNO memang tidak seberuntung Marx. Si bung tidak pernah memiliki
sahabat semulia Friedrich Engels, yang mau menghabiskan masa tuanya
demi melanjutkan proyek dan mesistematiskan karya-pemikiran Marx.
Meskipun sepeleh dan mungkin terdengar romantik, tapi barangkali ini
salah-satu yang membuat Soekarno benar-benar tenggelam kala
De-Soekarnoisasi digalangkan Orde Baru. Tidak ada yang meneruskan mimpi
Soekarno, tidak ada kajian lebih lanjut atas karya-pemikirannya, tentu
dengan bobot yang tidak asal jadi. Jangankan disistematiskan,
seperti yang dilakukan Engels atas karya-pemikiran Marx, pembacaan atas
teks Soekarno pun seringkali dilakukan dengan penghianatan.
Di antara perbedaan itu, Soekarno dan Marx punya kesamaan:
pemikirannya dibelokkan sedemikian rupa dengan sangat parah. Pemikiran
Marx tentang komunisme, misalkan, dipahami sebagai apapun sebagai kepemilikan bersama:
bebek saya adalah milik bersama semua orang, bahkan istri saya adalah
milik semua orang. Padahal komunisme yang demikian telah dikritik oleh
Marx berabad-abad sebelumnya sebagai komunisme mentah. Namun,
demi kepentingan untuk membinasakan Marxisme dari muka bumi ini,
pembelokkan se-munafik itu dilakukan dengan suka-cita. Hal ini dapat
kita lihat dari cara Orde Baru membentuk opini masyarakat tentang
komunis, dan saya mendengar ‘definisi komunisme’ tersebut dari seorang
laki-laki tua berusia 65 tahun.
Karena kepentingan yang sama, pemikiran Soekarno pun diobok-obok.
Marxisme segera diceraikan dari Marhaenisme. Bahkan, kita tahu, nama
Soekarno sendiri sampai dicabut sebagai bapak Marhaenisme. Oleh siapa
semua itu dilakukan? Oleh orang-orang yang dahulunya menyanjung-nyanjung
Soekarno, oleh mereka yang menggunakan partai yang didirikan oleh
Soekarno, oleh gerombolan yang bahkan mengaku Marhaenis. Soekarno
merupakan ke-ironis-an yang menyedihkan. Di akhir-akhir hidupnya, ia
ditahan dengan cara yang lebih kejam dari kolonial menahannya.
Saya teringat pernyataan Sudisman dalam Uraian Tanggung Jawab-nya,
yang menceritakan detik-detik ia ditangkap tentara Indonesia bahkan
lebih kejam ketika tentara Jepang menangkapnya. Ya, bangsa kita
seringkali lebih kejam memperlakukan sesamanya dari bangsa lain
memperlakukan bangsa ini. Barangkali ini yang membuat Pramoedya Ananta
Toer tidak pernah mau saling-memaafkan untuk kekejaman ’65.
Sebenarnya, banyak sekali yang telah diobok-obok dari pemikiran
Soekarno. Namun, tentu saja, untuk menguraikan dan menyajikan itu semua
membutuhkan waktu yang sangat lama dengan kerja yang serius dan
melelahkan. Perlu dilakukan pembacaan lebih mendalam dan sistematis atas
karya-karya Soekarno dan kondisi historis konkrit yang
mengondisikannya, begitu pula kondisi historis yang telah membuat
pemikirannya kian-kabur—bila perlu tanpa tedeng-aling-aling tunjuk hidung yang melakukannya. Dari kesulitan ini, saya harus berterima-kasih kepada IndoPROGRESS
yang telah menjadikan Soekarno dan pemikirannya sebagai tema
perbincangan beberapa hari ini. Tulisan-tulisan tersebut, semoga bisa
memancing lebih jauh lagi kajian atas pemikiran Soekarno.
Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman saya berada dalam
lingkungan organisasi yang menyebut diri sebagai pengikut ajaran
Soekarno, namun di dalamnya banyak sekali pembacaan atas teks Soekarno
yang justru membunuh Soekarno sendiri. Ada tiga hal besar yang akan saya
bicarakan di sini: pertama, terkait bagaimana pembacaan atas ‘siapa Marhaen’ yang terombang-ambing. Kedua,
terkait bagaimana sosio-nasionalisme diimplementasikan dalam kaitannya
dengan program bergengsi Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Bela
Negara. Ketiga, persoalan pilihan strategi gerakan yang dipilih
oleh golongan Marhaenis—tentu yang saya bicarakan—telah mereduksi habis
tujuan Marhaenisme itu sendiri.
Siapa Marhaen?
Jika ditanya, apa yang memungkinkan Soekarno mengelaborasi
Marhaenisme? Tentu saja, jawabannya tidak bisa lain: Marhaen. Marhaen
yang dimaksud tidak hanya sebatas yang telah diceritakan oleh Soekarno
dalam Penyambung Lidah Rakyat, yang mendefinisikan Marhaen
sebagai nama petani yang memiliki sedikit alat produksi tapi dimiskinkan
oleh sistem. Inilah yang unik dari Soekarno dan mesti diperhatikan
dengan baik. Ia sering menggunakan bahasa yang dibuat sedemikian rupa
dipahami oleh rakyat, sehingga ia pun sering menggunakan cerita-cerita
sebagai alat untuk menyampaikan pemikirannya, bahkan ia pun menggunakan
personifikasi untuk menggambarkan realitas yang luas. Yang terakhir ini
kita bisa melihatnya dari Marhaen dan Sarinah. Keduanya personifikasi
yang diangkat guna menggambarkan realitas yang lebih luas.
Menyandarkan diri pada abstraksi yang dibangun di atas cerita Marhaen sebagai person dalam Penyambung Lidah Rakyat
memiliki dampak yang menggelikan, yakni perdebatan perbedaan Marhaen
dan proletar. Untuk yang ini, organisasi marhaenis tempat saya bernaung
dahulu hampir setiap kaderirasi penerimaan anggota baru muncul
pertanyaan: apa bedanya marhaen dan proletar? Peserta kaderisasi—dan jujur termasuk saya waktu itu—dengan begitu lantang menjawab: kalau Marhaen punya alat produksi, kalau proletar tidak. Padahal, dalam Dibawah Bendera Revolusi sudah dijelaskan bahwa proletar masuk sebagai kategori Marhaen. Rudi Hartono dalam tulisannya Soekarno dan Marxisme telah cukup baik menjelaskan hal tersebut.
Saya hanya akan menambahkan sedikit di sini. Pertanyaan tersebut
muncul tentu berangkat dari gagal-nya memahami pengertian Marhaen itu
sendiri. Marhaen masih dilihat sebagai person yang mewujud dalam sosok
petani. Ini membuktikan, organisasi yang mengangkat Marhaenisme sebagai
azasnya pun bahkan abai terhadap kondisi yang dihadapi Soekarno pada
kala itu di Hindia-Belanda. Di sini terlihat pula gagap metode dalam
melihat basis pemikiran Soekarno.
Padahal, jika saja pembacaan atas pengertian Marhaen mau sedikit
lebih teliti, kita dapat memulai dari titik pijak yang telah dianjurkan
oleh Soekarno sendiri. Soekarno mengatakan, kalau hendak ingin
mempelajari Marhaenisme seseorang harus mengetahui kondisi Indonesia dan
sedikit tentang Marxisme. Sebenarnya dua hal itu memiliki
kesaling-hubungan yang tak terpisah satu sama lain. Kondisi Indonesia
sebagai realitas objektif yang akan dihadapi guna dikaji. Sementara sedikit Marxisme yang dimaksud adalah inti dari Marxisme itu sendiri, materialisme dialektika dan materialisme historis.
Rudi Hartono benar, bahwa Soekarno menggunakan analisis kelas—yang oleh
sebagian Marhaenis masih tertukar-tukar dengan perjuangan kelas (akan
saya bahas di bagian selanjutnya)—tentu saja pangkalnya adalah MDH.
Tesis materialisme historis, basis mengondisikan superstruktur,
misalnya bisa dilihat dengan begitu terang dalam tulisan-tulisan
Soekarno di DBR; bagaimana ia menyimpulkan suatu sikap yang
mesti diambil rakyat selalu berangkat dari analisa ekonomi-politik,
bahkan menurut saya penyajian tulisan Soekarno pun mencerminkan
penerapan metode materialisme historis. Lebih jauh, dalam Sarinah,
Soekarno menyatakan bahwa penindasan dan perubahan hukum yang mengatur
hubungan perempuan dan laki-laki semuanya dikondisikan oleh
ekonomi-politik, bukan moralitas dan lain-lain. Namun, sayangnya,
Marxisme berusaha dihabisi dari Marhaenisme, hingga akhirnya metode
Marhaenisme itu sendiri menjadi ngalor-ngidul dan menemukan bentuk anehnya dalam rumusan metode berpikir Soekarno/marhaenis.
Di sini jelas, pengertian Marhaen yang membedakannya dari Proletar
telah melenyapkan kondisi Indonesia sebagai ontologi dan sedikit
Marxisme sebagai metodologi (epistemologi). Dengan mengabaikan kedua hal
tersebut, Marhaenisme justru menjadi naif dalam menghadapi kenyataan
sejarah. Seolah-olah Marhaenisme menampik keberadaan Proletar yang lahir
dari rahim kapitalisme dan satu-satunya kelas yang berpotensi
merobohkan kapitalisme. Ironisnya, hal ini justru disadari betul oleh
Soekarno sebagaimana yang ia tuliskan dalam Marhaen dan Proletar.
Sehingga, kita patut bertanya dengan menunjuk hidung orang yang masih membedakan Marhaen dan Proletar: ada kepentingan apa di balik pembedaan tersebut? Jangan-jangan ini adalah upaya yang sengaja dilakukan guna melestarikan ‘kematian’ Soekarno.
Kesalahan lain terkait pengertian Marhaen muncul dalam pernyataan: marhaen hidup sebenggol sehari.
Pernyataan ini hendak merumuskan bahwa sesorang bisa dikatakan Marhaen
hanya bila hidup sehari sebenggol. Kesalahan ini begitu konyol karena
dua hal. Pertama, pernyataan ini muncul karena pembacaan yang ngawur atas tulisan Soekarno Orang Indonesia Tjukup Nafkahnja Sebenggol Sehari?.
Padahal, dalam tulisan tersebut Soekarno hanya memaparkan kondisi
Marhaen dalam kondisi tertentu, yaitu masa krisis atau yang ia sebut
dengan term zaman mleset. Artinya, Marhaen yang hidup dengan
sebenggol sehari tidak berlaku untuk semua rentang waktu. Dalam kata
lain, Soekarno tidak hendak merumuskan suatu ukuran matematis untuk
Marhaen, sama seperti ketika World Bank merumuskan patokan matematis
untuk seseorang dikatakan miskin. Marhaen harus dilihat dengan metode
MDH yang bermuara pada analisis kelas, bukan ukuran matematis seperti
itu. Marhaen tetap ada selama kondisi yang melahirkannya ada, yaitu
kapitalisme-imperialisme/kolonialisme dan feodalisme.
Kekenyolan kedua, pengertian tersebut membuat diskursus
lanjutan yang sayangnya sia-sia, yakni pencarian ukuran sebenggol sehari
jika dikonverter dalam rupiah saat ini bernilai berapa. Pernah seorang
alumni organisasi saya bahkan sampai berkata pahit: “World Bank saja
bisa merumuskan ukuran untuk orang dikatakan miskin, masa kita sebagai
Marhaenis tidak bisa (dengan merumuskan nilai sebenggol dalam rupiah
saat ini)”. Pernyataan pahit yang membikin saya tersedak-sedak tertawa jika mengingatnya.
Sangat miris, Marhaen yang merupakan prasyarat bagi Marhaenisme
sekaligus kaum yang hendak dibela dan diperjuangkan oleh Marhaenisme
harus dengan sedemikian payah dimengerti oleh orang-orang yang mengaku
diri Marhaenis. Pertanyaan menggelikan yang kemudian mesti diajukan,
dengan begini, adalah lantas siapa yang mau dibela?
Sosio-nasionalisme dan Bela Negara
Beberapa waktu yang lalu saya pernah menuliskan opini Bela Negara di IndoPROGRESS dan saya tidak menyangka tulisan tersebut menuai kritik yang nyinyir sekaligus menjijikkan: “nasionalis kok menolak Bela Negara”.
Entah yang berkata demikian memang sudah membaca tulisan saya atau
belum, namun menurut pengakuan teman yang lain orang tersebut memang
kini sedang mengupayakan membuat pelatihan Bela Negara. Dengan demikian,
saya bisa menarik kesimpulan, orang tersebut memang fans Bela Negara.
Meskipun tidak penting tapi pernyataan tadi mesti dibongkar, untuk
membuktikan bahwa penganut Marhaenisme yang juga pasti menganut
sosio-nasionalisme macam saya dan orang yang nyinyir tadi tidak bisa
mendukung program Bela Negara, jika memang benar-benar menyandarkan
argumen pada sosio-nasionalisme
Soekarno pernah berkata dalam salah-satu tulisan di Dibawah Bendera Revolusi,
bahwa yang terpenting dari nasionalismenya adalah rakyat. Inilah
sebabnya, bagi Soekarno, sosio-nasionalisme harus menciptakan masyarakat
yang adil dan sejahtera yang terbebas dari segala praktik penghisapan
dan penindasan seperti kapitalisme dan feodalisme. Ini yang dimaksud
dari istilah humanty dalam pernyataan Soekarno ketika menyitir Mahatma Gandhi, “my nationalism is humanity”.
Seperti juga yang ia ungkapkan dalam pidato tahun 1959, semua orang di
bawah atap langit tidak ingin ditindas baik oleh bangsa lain maupun
bangsanya sendiri. Alasan ini pula yang memungkinkan Soekarno yang
nasionalis itu menolak kapitalisme bangsa sendiri dengan begitu tegas.
Dengan rumusan yang seperti itu, sosio-nasionalisme bertujuan untuk
menjungkirbalikkan kapitalisme dan mencipta sosialisme Indonesia.
Sehingga, terang saja, siapa pun yang ikut menindas Marhaen, baik bangsa
sendiri maupun bangsa asing mesti dilawan. Pertanyaanya: siapa ‘negara’
yang akan dibela melalui program Bela Negara? Dan apakah ada dalam
program Bela Negara yang hendak membebaskan rakyat dari belenggu
kapitalisme dan feodalisme? Sementara kita sendiri tahu siapa Ryamizard
Ryacudu, orang yang pernyataannya bahkan seringkali tidak logis sama
sekali. Kita tahu pula, bagaimana program Bela Negara dibikin dari
imajinasi Angkatan Darat yang sedang phobia dengan proxy war. Kita juga tahu, itu semua hanya omong-kosong belaka.
Bagi saya, pembelaan terhadap program Bela Negara yang dilakukan oleh
orang yang berasal dari organisasi yang memegang Marhaenisme adalah
penghianatan atas Marhaenisme itu sendiri. Dengan begitu, ini
penghianatan terhadap Soekarno. Ini adalah pembunuhan kesekian kalinya
dari Soekarno. Di sini saya mengecam semua Marhaenis yang mendukung,
apalagi jika merumuskan dan ikut membuat terlaksananya program Bela
Negara!
Menyoal Artikulasi Gerakan Marhaenis
Saya mengamati, kebanyakan orang yang sudah purna-pengurusan dari
organisasi saya sebagian besar meneruskan perjuangan ke elit-politik.
Bahkan pilihan ini terkesan seragam, dengan pilihan yang juga kebanyakan
sama: bergabung ke Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP). Tidak
salah dengan ikut partai dan tidak salah juga berjuang di wilayah
elit-politik. Tidak bisa dipungkiri hal itu memang sangat diperlukan.
Akan tetapi yang jadi persoalan adalah jika pilihan ini menjadi
pilihan yang hampir seragam. Lebih jauh lagi, pilihan bertarung dalam
konteks elit-politik itu tidak diiringi dengan pengorganisiran rakyat.
Bahkan, saya melihat, para Marhaenis ini ujung-ujungnya sama saja dengan
politisi lain yang menjadikan rakyat hanya sebagai konstituen dalam
pemenangan Pemilu. Sehingga, wajar saja jika dengan sekian banyak
golongan Marhaenis ini menceburkan diri ke elit-politik dan meraih
kursi, tapi tidak ada dampak apapun yang signifikan bagi upaya
pembangunan sosialisme Indonesia. Justru yang ada, sesama Marhaenis ini
saling sikut satu sama lain demi kepentingan menjaga kursi dan
konstituennya tetap aman.
Dengan demikian, alih-alih menceburkan diri ke wilayah perjuangan
elit-politik menjadikan gerakan menemukan celah-celah di sana, justru
sebaliknya, perilakunya sendiri menjadi kian elitis. Ini ibarat orang
yang ingin menasehati orang lain untuk berhenti mengonsumsi
minum-minuman keras, tapi ketika ditawari dia menerima dan justru
menjadi pemabok yang lebih parah dari yang dinasehatinya. Alih-alih
menjadikan partai sebagai alat guna merebut kekuasaan dan menegakkan
Sosialisme Indonesia, para Marhaenis ini justru menjadi kacung partai
dan penyembah kursi kekuasaan. Setidaknya, keterangan ini saya dapatkan
dari seseorang yang ikut menceburkan diri dalam pertarungan tersebut.
Dengan demikian, semakin nyatalah perjuangan yang disebut bertujuan
untuk menegakkan Marhaenisme justru mereduksi habis visi Marhaenisme itu
sendiri. Marhaenisme bertujuan mendirikan Sosialisme Indonesia yang
otomatis berhadapan langsung dengan kapitalisme, apakah bisa dibangun
dengan artikulasi gerakan yang hanya bersandar pada wilayah elit-politik
yang bahkan telah menjadikan dirinya elitis? Bisakah kapitalisme
dibunuh hanya dengan jalur parlementer tanpa revolusi? Bisakah revolusi
terwujud tanpa kekuatan massa-rakyat?
Ya, di tangan para Marhaenis ini Marhaenisme hanya dijadikan sekadar sebagai kumpulan slogan yang dikutip dari DBR guna menghiasi status facebook,
twitter, dan poster-poster. Soekarno tidak lebih hanya sosok yang
diagungkan sedemikian rupa personifikasinya tapi dibunuh visi
pemikirannya. Soekarno hanya dijadikan pelengkap spanduk ketika mereka
mencalonkan diri menjadi wakil rakyat guna meraup suara. Soekarno dan
Marhaenisme hanya menjadi pemanis bibir yang dibicarakan sampai
semalaman suntuk sambil minum kopi, namun esoknya lupa.
Dahulu menceburkan diri di wilayah elit politik dengan alasan
perjuangan. Saat ini sulit rasanya percaya bahwa itu benar-benar
perjuangan. Pantaslah saja, jika pereduksian terhadap pengertian Marhaen
dibiarkan, pereduksian implementasi sosio-nasionalisme menjadi Bela
Negara dianggap biasa dan bahkan harus. Nyata-nyatanya, di tangan para
Marhaenis ini, Marhaenisme dianggap tidak penting dan tidak lebih
daripada dongengan indah masa lalu yang hanya patut dilestarikan sebagai
penghibur adek-adek mahasiswa yang masih menggebu-gebu, untuk kemudian
dimanfaatkan sebagai pendukung setianya.
Para Marhaenis yang masih sadar betul arti penting Marhaenisme, yang
masih paham betul arti penting rakyat, perlu lebih berani untuk muncul
kepermukaan menyuarakan yang selama ini salah serta mengampanyekan
saatnya kita melupakan para Marhaenis lapuk itu. Dan sudah saatnya
Marhaenis bergabung dengan Marxis dan Islam-Progresif yang lebih dahulu
mendahului kita.
Soekarno benar, bahwa untuk membuat Indonesia merdeka kita harus bersatu. Seperti kata Zely Ariane, kita butuh semua orang untuk menang. Semua orang yang tahu lawan dan kawan.***
Penulis adalah Mahasiswa Filsafat UGM dan Wakabid Kaderisasi GMNI Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar