21 Maret 2016 | 10:40
Sejak tanggal 17 Maret lalu, sedikitnya 500-an petani Jambi
menggelar aksi jalan kaki menuju Jakarta. Jarak yang akan mereka tempuh
kurang lebih 1000 kilometer. Dan waktu yang dibutuhkan bisa sampai dua
bulan.
Mungkin dalam benak sebagian orang menggantung pertanyaan penting,
mengapa petani Jambi harus mengambil jalan perjuangan yang maha-berat
itu?
Pertama, konflik agraria yang mencekik kehidupan petani Jambi sudah
berlangsung lama. Sebagai misal, Suku Anak Dalam (SAD) sudah terusir
dari tanahnya sejak 1987. Tetapi sampai sekarang konflik yang melilit
mereka belum selesai.
Kedua, berbagai jalan perjuangan sudah ditempuh untuk menyelesaikan
konflik ini, mulai dari negosiasi, aksi massa, hingga pendudukan, tetapi
belum berbuah hasil. Kalaupun mereka mendapat surat dari lembaga
tertentu yang menjanjikan penyelesaian konflik, tetapi realisasinya di
lapangan tidak ada.
Ketiga, bagi petani, tanah adalah faktor produksi terpenting. Inilah
kunci kehidupan mereka. Masalahnya, konflik agraria telah menghilangkan
akses mereka terhadap tanah. Akibatnya, hidup mereka terkatung-katung.
Walhasil, masa depan hidup mereka, juga anak-anak mereka, jadi gelap.
Itulah yang mendasari petani Jambi untuk mendeklarasikan “darurat
agraria”. Dan mereka meminta Presiden Joko Widodo untuk menyatakan
keadaan darurat agraria.
Kesimpulan petani Jambi itu tidaklah berlebihan. Merujuk pada data
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada tahun 2015 terjadi 252 kasus
konflik agraria di Indonesia, yang menyeret 108.714 keluarga. Jika
diakumulasi dalam satu dekade terakhir, terjadi 1.772 konflik agraria
pada luasan wilayah 6.942.381 hektar yang melibatkan 1.085.817 keluarga.
Artinya, dalam dua hari sekali terjadi konflik agraria di Indonesia.
Darurat agraria ini juga ditunjukkan oleh struktur kepemilikan tanah
yang makin timpang. Indeks gini kepemilikan tanah di Indonesia sudah
mencapai 0,72. Lalu, menurut BPN, hanya 0,2 persen penduduk negeri ini
menguasai 56 persen aset nasional yang sebagian besar dalam bentuk
tanah. Sementara 85 persen rumah tangga petani di Indonesia adalah
petani gurem dan petani tak bertanah.
Darurat agraria ini juga membawa petaka. Bukan hanya pemiskinan,
tetapi juga kekerasan hingga kematian. Seperti di tahun 2015, konflik
agraria menyebabkan korban tewas sebanyak 5 orang, tertembak 39 orang,
dianiaya sebanyak 124 orang, dan ditahan 278 orang.
Bagi kami, darurat agraria ini adalah lonceng yang memberi tanda
bahwa ada yang tidak beres dengan politik agraria kita. Bukannya
memakmurkan petani dan rakyat banyak, politik agraria sekarang ini
justru menjauhkan petani dari tanahnya. Sekarang tanah menjadi barang
komersil yang dimiliki oleh korporasi.
Memang, sejak bergulirnya reformasi hingga kini, ada banyak produk
legislasi yang justru menghamparkan karpet merah bagi swasta untuk
menguasai sumber daya alam, termasuk tanah. Inilah yang memicu praktek
perampasan tanah dan sumber daya milik rakyat oleh korporasi, baik
domestik maupun asing.
Data konflik agraria menunjukkan korelasi antara meningkatnya konflik
dan liberalisasi agraria. Sekali lagi, mari merujuk ke data KPA tahun
2015, konflik agraria terbesar terjadi di sektor-sektor yang sangat
terbuka pada investasi: perkebunan sebanyak127 kasus (50 persen),
infrastruktur 70 kasus (28 persen), kehutanan 24 kasus (9,60 persen),
pertambangan 14 kasus (5,2 persen), dan lain-lain 9 kasus (4 persen),
serta pertanian dan pesisir 4 kasus.
Inilah pangkal masalahnya: politik agraria yang makin pro-investasi.
Sumber daya agraria tidak dikelola sesuai mandat pasal 33 UUD 1945,
yakni untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebaliknya, sumber daya
agraria untuk melayani investasi, untuk melipatgandakan keuntungan
segelintir orang.
Sayang, di bawah pemerintahan baru, Jokowi dan Jusuf Kalla, aras
politik agraria kita masih tetap mengabdi pada investasi. Malah makin
digenjot dan diperderas. Lebih parah lagi, demi melancarkan arus masuk
investasi asing, pemerintah menawarkan berbagai kemudahan. Mulai dari
memudahkan perizinan, ketersediaan tanah/pembebasan lahan, hingga
mengesampingkan persyaratan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
Situasi darurat agraria ini seharusnya menjadi momentum bagi bangsa
ini, khususnya pemerintahan yang sedang berkuasa, untuk mengoreksi
politik agraria yang pro-investasi itu. Sudah saatnya kita kembali ke
politik agraria yang berpijak pada pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960.
http://www.berdikarionline.com/darurat-agraria/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar