November 22, 2015
Sambutan Koordinator Umum Yayasan IPT 1965
pada Pembukaan International People’s Tribunal
tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan tahun 1965 di Indonesia
10-13 November 2015.
Ibu-ibu dan Bapak-Bapak,
Tahun ini persis 50 tahun lalu halaman hitam sejarah Indonesia pasca
kolonial berawal: pembunuhan massal ratusan ribu warga tak bersalah,
pemenjaraan besar-besaran dalam kondisi tidak berpri kemanusiaan,
penyiksaan, pembudakan, penghilangan paksa, kekerasan seksual dan
bentuk-bentuk penganiayaan lain.
Ribuan intelektual muda yang paling menjanjikan menjadi eksil. Partai
Komunis Indonesia (PKI) dihancurkan. Diktator militer di bawah pimpinan
Jenderal Suharto membatasi dengan ketat hak-hak asasi warga Indonesia.
Sampai saat ini impunitas para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan ini
masih berlaku dan para korban belum dipulihkan haknya, malah mereka
dianggap bersalah atas penderitaan yang dialaminya sendiri dan
keluarganya.
Bukan hanya impunitas, tetapi penganiayaan juga masih berkelanjutan.
Milisi masih diperbolehkan atau didorong untuk membubarkan pertemuan
para korban di Yogyakarta, Bukittinggi dan Solo; seorang warga negara
Swedia dan eksil Indonsia dan seorang anggota jaringan IPT dideportasi
setelah mengunjungi kuburan massal tempat ayahnya dimakamkan.
Jurnal seorang mahasiswa yang didedikasikan untuk peristiwa 1965 di
Salatiga dirampas dan dibakar. Para pembela HAM masih terus menerus
diganggu dan dua minggu lalu acara peluncuran buku, pameran dan
pagelaran film tentang periode itu yang dijadwalkan pada Festival
Penulis dan Pembaca di Ubud Ubud Writers’ and Readers’ Festival
terpaksa dibatalkan karena diancam pencabutan izin event secara
keseluruhan.
Mahasiswa Indonesia yang mau menjadi relawan Tribunal ini
sempat diancam akan dicabut beasiswanya. Jadi, hak-hak yang dijamin UUD
bagi warga Indonesia, hak kebebasan berpendapat dan berorganisasi tidak
dilindungi.
Kampanye propaganda yang menghasut tentara dan milisinya untuk
melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan masih belum resmi dibantah. PKI
masih digambarkan sebagai anti agama, penghancur negara dan pendorong
penyimpangan seksual.
Para pembela HAM pun saat ini masih dituduh komunis gaya baru.
Buku-buku sejarah masih penuh kebohongan seperti sejak pembunuhan para
jenderal pada 1 Oktober 1965.
Berapa besarnya pembunuhan massal tidak
diketahui, negara tidak merasa bertanggung jawab sama sekali terhadap
kejahatan massal yang dilakukan di bawah jurisdiksinya.
Negara-negara
lain yang mengetahui pembantaian besar-besaran saat itu tidak berbuat
apa pun untuk menghentikannya, yang memang mensuplai kebutuhan-kebutuhan
tentara untuk melakukan tugas kriminal, juga tidak merasa bertanggung
jawab.
Upaya nasional untuk mencari kebenaran yang mendahului rekonsiliasi
masih gagal. Laporan Komnasham tahun 2012 tentang enam daerah yang
semestinya bisa dijadikan landasan untuk mencari kebenaran dan keadialn
dan melakukan rekonsiliasi tidak ditindaklanjuti oleh Kejagung. Laporan
lengkap masih belum diterbitkan dan isinya disembunyikan .
Sampai hari ini rakyat Indonsia masih menolak hak terhadap kebenaran,
keadilan, pemulihan dan jaminan untuk tidak terjadi lagi. Remaja
Indonesia dibesarkan dengan kebohongan dan kejahilan. Stigma terhadap
kakek nenek dan orang tua mereka diwariskan ke generasi ketiga. Kini
tiba saatnya untuk memutus lingkaran syetan penolakan, distorsi, tabu
dan kerahasiaan tentang peristiwa 1965. Dalam sejarah kebohongan selalu
terbongkar. Kebenaran tidak bisa terus menerus disembunyikan.
Oleh karena itu, korban langsung kejahatan terhadap kemanusiaan yang
terjadi setelah 1 Oktober 1965, baik yang tinggal di dalam maupun di
luar Indonesia, dan keluarganya, didukung oleh para pengacara HAM,
aktivis, artis, jurnalis dan peneliti yang telah lama menekuni periode
tersebut, berkumpul untuk mengangkat kasus-kasus kejahatan terhadap
kemanusiaan ini ke tingkat internasional. Kami mendirikan Yayasan IPT
1965 untuk menyelenggarakan Pengadilan Rakyat Internasional mengenai
kejahatan terhadap kemanusiaan pada tahun 1965 di Indonesia. Kami
berhasil mengumpulkan bahan untuk dibawa ke Tribunal, untuk
dipertimbangkan tanpa rasa takut atau keberpihakan.
Di tribunal ini para korban bisa berbicara terang-terangan. Mereka
sangat lama ditutup mulutnya. Bahan-bahan yang dikemukakan di depan
Tribunal akan menunjukkan kepada publik kasus-kasus pembunuhan massal
dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan setelah 1 Oktober
1965. Tribunal akan membantu membuka ruangan bagi debat publik tentang
sejarah Indonsesia, tentang ambisinya pasca zaman colonial, tentang
upayanya untuk membangun masyarakat adil, tentang upayanya untuk
menegakkan hukum. Kami, orang-orang yang mendirikan Tribunal ini
mengatakan: Jangan terulang lagi!
Tanpa kompromi kami menyatakan dengan tegas harapan kami, bahwa
keadilan adalah mungkin di Indonesia dan HAM serta hukum akan diakui dan
dihormati.
Tujuan kami adalah untuk mendorong proses penyembuhan. Untuk membantu
Indonesia mewujudkan tujuan yang dinyatakannya sendiri dan agar
Indonesia berpotensi menjadi negara di mana para generasi penerus bisa
hidup damai dan sentosa. Oleh karenanya kebenaran harus ditegakkan. Luka
di sejarah Indonesia terlalu dalam.
Pola kekerasan dan penindasan tertanam kuat di dalam aparat keamanan
dan direstui oleh kelompok-kelompok politik dan sosial-ekonomi yang
berkepentingan. Selama sejarah Indonesia terpelintir dalam benak rakyat
dan dalam sistem pendidikannya, Indonesia tidak akan bisa belajar dari
kesalahannya di masa lalu sehingga tidak ada jaminan kekerasan tidak
akan terulang lagi.
Sebagai koordinator umum Yayasan IPT 1965 yang didirikan pada 2014
saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah
bekerja dan masih bekerja keras untuk memungkinkan Tribunal dibuka hari
ini.
Terutama saya ucapan terima kasih kepada panel hakim: Mireille Fanon-
Mendès-France, Cees Flinterman, John Gittings, Helen Jarvis, Geoffrey
Nice, Shadi Sadr dan Zak Yacoob
Para jaksa kita: Todung Mulya Lubis (ketua), Antarini Arna, Bahrain
Makmun, Uli Parulian Sihombing , Silke Studzinsky, Sri Suparyati, Agung
Wijaya
Panitra kita, Szilvia Csevar
Panitia penyelenggara: Helene van Klinken (koordinator relawan, dan
sekretariat), Annet van Offenbeek (anggota panitia penyelenggara, dan
keamanan), Lea Pamungkas( koordinator tim media di Belanda), Ratna
Saptari (anggota panitia penyelenggara, anggota editor laporan
penelitian) Dolorosa Sinaga (tim media dan seni di Jakarta), Sri
Tunruang ( bendahara), Artien Utrecht (anggota panitia penyelenggara ),
Sri Lestari Wahyaningrum ( koordinator tim Indonesia, editor laporan
penelitian), Saskia Wieringa (ketua Yayasan IPT, koordinator laporan
penelitian)
Dewan penasehat kita: Syamsiah Achmad, Jan Breman, Martha Meijer,
Nico Schulte Nordholt, Joshua Oppenheimer, Jan Pronk, Indai Sajor,
Frederiek de Vlaming, Abram de Swaan, Galuh Wandita, Ben White,
Herlambang Wiratraman.
Ucapan terima kasih khusus saya sampaikan untuk para saski dan saksi
ahli yang mau bersaksi untuk mendukung dakwaan. Karena mereka berani
menyampaikan kesaksian di Tribunal untuk membongkar kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Terima kasih juga kepada para anggota Tim Media dan sukarelawan lainnya.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah menyumbang lewat kampanye crowd finding dan para penyumbang lainnya.
Tribunal ini didedikasikan terutam bagi para korban dan keluarganya,
termasuk mereka yang terbunuh dan hilang. Juga kepada generasi penerus
dengan harapan agar mereka lebih bisa menilai sejarah masa lalu
negerinya. Keadilan buat para korban berarti keadilan bagi masa depan
Indonesia.
Nursyahbani Katjasungkana SH
http://1965tribunal.org/id/sambutan-koordinator-umum-yayasan-ipt-1965/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar