November 22, 2015
Majelis Hakin Yang Mulia,
Perkenankan saya mengawali pernyataan ini dengan sebuah pertanyaan
sederhana: Mengapa kami di sini? Sangat penting menjawab pertanyaan ini
secara jujur, karena dengan demikian kami bisa mengetahui apa yang
diharapkan, apa yang bisa dicapai dan bagaimana mengatasi semua
tantangan
yang mungkin akan kami hadapi.
Dari Jakarta yang jauh saya datang bersama tim jaksa penuntut.
Kebanyakan saksi dan saksi ahli datang dari berbagai kota lain di
Indonesia. Demikian pula para hakim terhormat datang dari berbagai
negara. Penyelenggara kebanyakan datang dari Jakarta dan mempunyai
sekretariat di Belanda.
Tak terhitung jumlah jam yang kami habiskan untuk mempersiapkan diri
untuk tribunal ini. Dan saya kira demikian pula Anda telah menghabiskan
banyak waktu untuk mendalami berkanberkas yang telah kami sertakan.
Jelas, kami akan menghabiskan berhari-hari jika bukan berbulanbulan
untuk mencerna dan memerika semua berkas, pernyataan dan bukti.
Tidak dapat saya banyangkan, betapa banyaknya tenaga dan emosi yang
dibutuhkan untuk merampungkan tugas ini. Dan saya yakin semua ini tidak
akan mudah. Kami harus berdamai dengan diri sendiri.
Limapuluh tahun lalu, pada 30 September, tengah malam mulailah
pelbagai kekejaman. Sejumlah jendral dibawa ke Lubang Buaya dan dibunuh.
Ini terjadi di Jakarta bagian Timur di markas pangkalan udara. Diduga
para jendral ini dibunuh oleh anggota-anggota Partai Komunis Indonesia.
Ini disebut sebagai usaha penggulingan kekuasaan pemerintahan Presiden
Sukarno.
Menariknya, pembunuhan para jendral ini dipakai sebagai pembenaran
memburu Partai Komunis Indonesia yang ketika itu dianggap partai militan
terbesar. PKI dituduh mendalangi penggulingan kekuasaan yang gagal ini
dan penggulingan itu harus dikutuk. Tidak ada satupun alasan membenarkan
tuduhan partai ini berada di balik penggulingan kekuasaan, kecuali
karena partai ini juga yang di tahun 1940-an berada di belakang gerakan
menentang pemerintah yang lebih dikenal dengan Peristiwa Madiun.
Walhasil, PKI dinyatakan sebagai musuh rakyat, musuh bangsa dan oleh
karenanya harus dihancurkan. Dan tentu saja PKI dipandang sebagai
pengkhianat bangsa. Sekali pengkhianat, selalu tetap pengkhianat.
Dalam iklim dan kondisi psikologis semacam inilah terjadi pembunuhan
massal terhadap orang-orang yang diasosiasikan dengan PKI. Pembunuhan
yang diperkirakan paling sedikit 500.000 jiwa. Menurut Amnesty
International mencapai 1.000.000 orang.
Sejujurnya Hakim yang mulia, tidak ada yang tahu berapa jumlah korban
yang dibunuh secara bengis oleh tentara dan milisia dari berbagai
ormas. Mungkin ini adalah tragedi kemanusiaan dalam sejarah yang masih
harus diinvestigasi lebih lanjut. 1965 bukan hanya tentang pembunuhan
massal terhadap mereka yang dipandang sebagai komunis atau bersimpati
terhadap PKI. Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa tak terhitung jumlah
orang tidak bersalah yang sama sekali tidak ada hubungan dengan PKI juga
dibunuh. Mereka itu mungkin teman, saudara atau istri atau anak yang
sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan PKI.
Mereka dibunuh hanya karena diasosiasikan dengan seorang anggota atau
simpatisan PKI. Mereka itu bersalah atas dasar asosiasi. Tentara dan
milisia yang terlibat pembunuhan massal menjalankan hukum sendiri tanpa
melalui jalan konstitusional dan memutuskan: mereka yang langsung atau
tidak langsung berhubungan dengan PKI harus dibunuh.
Tidak pernah ada proses peradilan, tidak pernah ada pengakuan dugaan
tidak bersalah. Hanya karena mereka diasosiasikan dengan PKI sudah cukup
untuk menghukum mereka sebagai komunis dan oleh karenanya layak
dibunuh.
Tidak perlu proses peradilan.
Dapatkah Anda bayangkan betapa dalamnya kegelapan itu? Itulah
tahun-tahun tergelap dalam sejarah Indonesia, tata hukum, hak asasi
manusia dan peradaban. Setelah Perang Dunia II, setelah Hitler dan Nazi,
pembunuhan massal menyusul peristiwa 1965 di Indonesia, mungkin sekali
adalah kekejaman paling dahsyat dalam sejarah manusia. 1965 lebih dari
hanya pembunuhan massal. 1965 adalah juga perbudakan, pemenjaraan/
perampasan kebebasan, penganiayaan, kekerasan seksual, penyiksaan,
penghilangan paksa, penyiksaan melalui propaganda dan keterlibatan
negara-negara lain terutama Amerika Serikat, Inggris dan Australia.
Kata-kata tidak menjelaskan besarnya penderitaan jiwa maupun raga yang
dialami orang-orang, dan penderitaan itu masih terus berlanjut.
50 Tahun cukup lama. Namun luka dan kepedihan masih segar dalam tubuh
para korban, keluarga mereka, anak-anak mereka, cucu mereka bahkan
seluruh bangsa. Kebenaran harus disampaikan. Kebenaran harus disampaikan
seutuhnya, secara jujur dan murni. Tanpa kebenaran luka tidak akan
sembuh.
Sejarah tidak lengkap tanpa mengungkap kebenaran. Sejarah tidak bisa dicuci bersih. Beban ini ada di pundak kita. Beban akan senantiasa
berada di pundak kita jika gagal mengungkap kebenaran. Karena dengan
mengetahui kebenaran kita bisa mulai memulihkan luka luka dan
penderitaan.
Mungkin berlebihan untuk mengatakan bahwa itu adalah prasyarat, bahwa
kebenaran harus disampaikan sebelum melangkah mencari keadilan,
rekonsiliasi dan memaafkan.
Tentu saja tidak ada yang akan melupakan
tragedi besar yang menimpa mereka, namun saya percaya mereka akan bisa
berdamai dengan masa lalu.
Majelis Hakim Yang Mulia
Seperti saya katakan sebelumnya ada sembilan butir kejahatan terhadap
kemanusiaan yang dilakukan oleh Negara Indonesia, terutama tentara dan
aparat negara yang bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain. Lebih dari
itu dapat dikatakan negara Indonesia melalaikan kewajibannya sebagaimana
ditetapkan dalam tatacara hukum internasional. Tiap butir akan
dijelaskan dengan pembuktian yang didukung oleh para saksi dan saksi
ahli jika diperlukan.
Kami akan menyampaikan tiap butir satu persatu pada majelis hakim
yang mulia. Dengan tulus kami berharap hakim-hakim terhormat menerima
penjelasan lengkap dan bukti untuk memahami kejahatan terhadap
kemanusiaan yang dilakukan negara Indonesia sejak 1965.
Yang mulia, kejahatan belum berakhir. Beberapa kejahatan masih
berlanjut, mereka masih melakukan kejahatan. Stigma pada saudara, istri,
anak-anak para korban masih melekat. Stigma menurunkan martabat mereka.
Kami setulusnya berharap para hakim yang mulia dapat memperoleh semua
berkas dan bukti untuk bisa mengerti betapa besar dan sistematis
kekejaman terhadap kemanusiaan yang terjadi. Hanya dengan demikian para
hakim yang terhormat bisa memahami mengapa kami mendakwa Negara
Indonesia melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kini, mungkin pertanyaan pada awal tadi terjawab. Mengapa kami di
sini. Kami mencari kebenaran. Bangsa kami mencari kebenaran. Kami telah
menunggu lebih dari 50 tahun. Semua usaha mengajak pemerintah memulai
investigasi dan tindakan legal tidak membuahkan hasil. Ironisnya kami
tidak melihat niat jujur Pemerintah menyelesaikan kekerasan dan
pelanggaran hak asasi manusia secara sitematis sejak 1965.
Orang-orang yang diasosiasikan dengan 1965 menanggung stigma dan
didiskriminasi. Mereka diperlakukan sebagai paria, tidak punya hak.
Tidak ada perubahan semenjak kami memasuki Era Reformasi yang konon
lebih menghargai demokrasi, penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia.
Sadar atau tidak sadar sikap: lupakan masa lalu, pandanglah masa depan.
Yang sudah, ya sudah. Jangan menengok ke belakang, jangan membuka luka
lama. Tapi luka itu belum sembuh. Masih sakit. Harus disembukan dan
untuk itu membutuhkan kebenaran. Tidak lelah-lelahnya para korban
bersama para aktivis HAM melanjutkan perjuangan untuk mencari kebenaran.
Kami percaya kebenaran tidak bisa disembunyikan. Suatu hari kebenaran
akan muncul kepermukaan. Dalam hal ini kami sangat menghargai
kesimpulan dalam laporan Komnas HAM tentang kejadian 1965 bahwa telah
terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan. Ada cahaya di ujung sana. Dan
itu menguatkan kami mencari kebenaran dan keadilan melalui jalan kami.
Jalan yang lebih singkat. Inilah yang mengantar kami ke hadapan Majelis
Hakim yang mulia.
Kami datang ke sini bukan tanpa menanggung akibat. Sebagai manusia
kami gugup dan khawatir. Kami khawatir karena di negara kami yang
tercinta semua yang berhubungan dengan kekejaman 1965 masih merupakan
tabu, tidak boleh dibicarakan, tidak bisa dipertimbangkan.
Pemerintah menolak membuka diskusi seputar peristiwa ini. Sebagai
contoh adalah kejadian di Festival Penulis dan Pembaca di Ubud, Bali.
Joshua Oppenheimer tidak diperbolehkan menayangkan filmnya, Jagal dan Senyap.
Tentu saja ada usaha untuk berdiskusi dan mempertujukan film-film itu namun mereka berhadapan dengan polisi dan mungkin dengan kelompok-kelompok anti komunis yang menamakan diri Front Pembela Islam.
Yang Mulia, kami tidak tahu apa yang akan terjadi dengan kami
sepulangnya dari sini. Sangat mungkin kami dituduh menjelek-jelekkan
negara, memamerkan keburukan negara dan bangsa, dan oleh karena itu kami
dianggap penghianat. Bukan mustahil kami akan diinterogasi dan lebih
parah lagi adalah dipenjara.
Kenyataan Presiden Joko Widodo menolak minta maaf mendorong kami
menyimpulkan pemerintah tidak mau tahu tentang kekejaman yang terjadi
sejak 1965. Demikianlah adanya.
Saya menggarisbawahi kenyataan bahwa waktu mendesak. Kebenaran harus
dibuka. Apapun akibatnya. Tolong dipertimbangkan, kebanyakan korban
sudah meninggal, mereka yang masih hidup sudah lanjut usia. Waktu mereka
terbatas. Oleh karena itu atas nama kebenaran dan keadilan kami harus
maju ke tribunal ini dengan harapan menemukannya. Ada cahaya di ujung
terowongan.
Akhirnya kami mengharapkan Pemerintah akan mendengarkan dan berupaya
setulusnya mencapai rekonsiliasi sejati dengan segala penyelesaiannya.
Pada akhirnya kemanusiaan harus dikembalikan, kesalahan harus diperbaiki
dan keadilan harus dilaksanakan.
Seperti saya katakan sebelumnya ini bukan tribunal dalam pengertian
hukum dan anda bukan hakim yang memiliki segenap wewenang. Kami, tim
jaksa juga bukan jaksa dalam arti yang sebenarnya. Namun kami berfungsi
dan berjuang bersama untuk menemukan kebenaran serta keadilan.
Harapan kami, keberanian dan kearifan Anda akan menghantar kami ke
pelabuhan tempat kami bisa berlayar pulang membawa kebenaran dan
keadilan.
http://1965tribunal.org/id/pernyataan-jaksa-penuntut-todung-mulya-lubis-pada-pembukaan-international-peoples-tribunal-1965/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar