Oleh: Muhammad Nashirulhaq* - 15/02/2019
Suara Tani, salah satu terbitan rutin BTI. Kredit gambar: warungarsip.co
Memperingati Hari Lahir BTI dan Kongres Petani Indonesia Pertama
Sekilas Awal Sejarah BTI
Tak seperti Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), atau Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia),[1] BTI (Barisan Tani Indonesia) bersama dengan SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat, dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) menjadi beberapa onderbouw atau organisasi (yang dianggap) terafiliasi PKI (Partai Komunis Indonesia) yang belum dikaji secara khusus dan menyeluruh sebagai sebuah organisasi nasional, dalam satu karya akademik.[2]
Padahal signifikansi pengaruh BTI, khususnya di tahun 1960-an, sama sekali tak bisa disepelekan. Betapa pentingnya peran organisasi tani ini di era itu, tergambar dari keanggotaannya, seperti yang ditulis Karl J. Pelzer,
“Pada bulan Maret 1954, BTI mengklaim bahwa jumlah anggotanya 800.000 orang dan sekitar 2.000.000 orang pada bulan April 1955. Pada waktu pemilihan umum yang diselenggarakan akhir tahun 1955, sekretarian BTI melaporkan bahwa jumlah anggotanya 3.300.000 orang. Pertambahan yang mengagumkan ini disebabkan oleh kampanye yang dilakukan golongan komunis secara gencar sebelum pemilihan umum. Dalam sepuluh tahun berikutnya, BTI mengalami pertambahan keanggoaan yang sangat pesat dan pada tahun 1965 mengklaim bahwa jumlah anggotanya tak kurang dari 8.500.000 orang… Tahun 1965, cabang BTI dapat ditemukan praktis di seluruh kabupaten dan di lebih dari 80 persen kecamatan yang ada di Indonesia”.[3]
Dengan besarnya jumlah kenggotaan, BTI mendinamisir kehidupan pertanian dan politik pedesaan, terutama ketika organisasi ini menjadi pendukung dan pendorong utama program land reform yang menjadi mandat UU Pokok Agraria No 5/1960 dan UU No. 56 PRP/1960. Melihat pelaksanaannya yang mengalami kemacetan akibat keengganan para pemilik dan tuan tanah untuk menyukseskan program ini, BTI melancarkan “aksi-aksi sepihak” guna mengambil alih dan menduduki tanah-tanah yang dianggap akan diredistribusikan kepada petani penggarap. Serangkaian peristiwa di berbagai daerah inilah yang seringkali dirujuk sebagai akar tensi dan konflik di pedesaan yang memuncak pada pembantaian-pembantaian selama kurun waktu 1965-1966, dengan menyasar para anggota PKI dan organisasi-organisasi yang dianggap terafiliasi dengannya (termasuk BTI di dalamnya).
“Aksi-aksi sepihak” yang seringkali diilustrasikan penuh kekerasan pula yang selalu ditekankan oleh rezim Orde Baru dan aparatusnya dalam menggambarkan BTI. Tak sampai di situ, Orde Baru juga menjadikan gambaran ini sebagai dalih untuk “mendisiplinkan” gerakan tani dengan hanya melegalkan satu organisasi tani yang bisa dipantau dan dikontrol oleh negara, HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia). Karenanya, tak banyak yang kita tahu dari BTI sebagai gerakan petani terbesar di zamannya ini, selain dari apa yang digambarkan oleh Orde Baru.[4]
Namun, dari sekelumit informasi yang tersedia, dapat diketahui bahwa BTI resmi dideklaraikan pada 25 November 1945, tepatnya dalam rangkaian kongres petani yang pertama kali diselenggarakan setelah Indonesia merdeka pada 22-25 November 1945 di Yogyakarta. Kongres ini mulanya didahului oleh rapat kaum buruh bersamaan dengan kelompok-kelompok petani pada 5-7 November 1945 di Surakarta, untuk merespon Maklumat Pemerintah yang ditandatangai oleh Moh. Hatta tertanggal 3 November 1945 yang berisi pemberitahuan bahwa pemerintah Indonesia memberi kesempatan bagi terbentuknya partai-partai politik.
Melihat bahwa utusan-utusan kaum tani tidak terwakili dalam partai-partai yang baru terbentuk, kelompok ini lalu menginisiasi satu kongres, yang salah satu tujuan utamanya memang untuk membentuk organisasi petani.[5] Dalam kongres inilah BTI lalu berdiri dengan M. Tauchid, Wijono Suryokusumo, S. Sardjono “Petruk”, Djadi, Asmoe Tjiptodarsono, dan Sajoga sebagai tokoh-tokoh utamanya.[6]
BTI memang tidak lantas menjadi satu-satunya organisasi petani. Segera sesudah itu, bermunculanlah beberapa organisasi tani lain, diantaranya adalah RTI (Rukun Tani Indonesia) dan Sakti (Sarekat Kaum Tani Indonesia). Melalui dorongan PKI, pada Juli 1951 ketiga organisasi ini membentuk FPT (Front Persatuan Tani). Lebih jauh, pada awal tahun 1953 muncul usulan untuk melakukan fusi atas tiga organisasi tersebut. Hal ini ditindaklanjuti melalui kongres yang diadakan pada September 1953 di Bogor, yang menyetujui fusi antara BTI dan RTI dengan mengambil nama BTI. Selanjutnya, pada Juni 1955, Sakti juga memutuskan melebur ke dalam BTI hasil fusi sebelumnya. Dari situlah terbentuk BTI yang mapan, yang kita kenal sampai hari ini.[7]
Warisan-Warisan BTI
Melihat kebesaran BTI sebagai gerakan tani, sebaiknya kita tak berhenti dan tersihir dengan angka-angka fantastis jumlah keanggotaan. Justru, kita perlu bertanya, aspek kualitatif apa dari organisasi ini yang berhasil dikonversikannya menjadi satu lompatan kuantitatif. Setidaknya ada beberapa pencapaian BTI yang kita daftar, yang menjadikannya menarik banyak massa. Beberapa pencapaian ini juga menjadi penting sebagai bahan evaluasi atas gerakan tani hari ini yang masih sangat terfragmentasi dan kehilangan napak tilas, setelah Orde Baru betul-betul berhasil memberangus ingatan akan organisasi tani yang pernah begitu aktif dan dinamis di zamannya. Berikut adalah beberapa “warisan” yang menurut penulis perlu dilihat dan dipelajari dari BTI, mengingat aspek-aspek ini yang masih banyak absen dalam gerakan tani saat ini.
BTI Sebagai Lembaga Pendidikan
Berdasarkan data statistik, diperkirakan bahwa sekitar 84,4% penduduk Indonesia di tahun 1961 hidup di pedesaan. Angka ini tidak turun jauh dari prosentase 95,3% bagi kategori yang sama di tahun 1930. Di sisi lain, pada tahun-tahun terakhir masa penjajahan Belanda, dari sekitar 5 juta pemuda usia 15-19 tahun, hanya 1.789 orang yang dapat mencecap pendidikan menengah dan 637 orang yang mampu menghadiri institusi pendidikan tinggi. Artinya, hanya 1 dari setiap 2.000 orang yang dapat mengenyam pendidikan menengah non-tradisional (seperti pesantren dan semacamnya). [8]
Meskipun mungkin tidak memberi gambaran akurat, data-data di atas cukup bisa menjadi pegangan untuk memperkirakan bagaimana kondisi pendidikan di tahun 1950-an dan 1960-an di Indonesia, khususnya di lingkup pedesaan. BTI sebagai organisasi yang menaungi petani sadar betul betapa rendahnya tingkat pendidikan masyarakat pedesaan, khususnya kaum tani. Banyak di antara mereka bahkan masih buta huruf. Di saat yang sama, kelompok yang punya privilese untuk mengakses pendidikan pada umumnya adalah kelas-kelas sosial yang diuntungkan oleh struktur agraria yang timpang dan menikmati hasil eksploitasi surplus pertanian. Karenanya, BTI memberi perhatian besar bagi pendidikan kaum tani dan keluarganya, terutama karena hal ini berkaitan langsung dengan kualitas organisasi. Dalam satu publikasi BTI, majalah Suara Tani, Asmu, sang ketua mengeluhkan,
“kebanyakan anggota BTI dan petani masih buta huruf dan tingkat kebudayaan mereka secara umum masih terbelakang. Karenanya, mereka tidak sadar betapa pentingnya membaca publikasi organisasi dan mendengarkan pengajaran-pengajaran yang dilakukan oleh BTI”.[9]
Selain untuk meningkatkan kapasitas kaum tani dan kualitas organisasi, pendidikan juga diperlukan untuk mendongkrak kepercayaan diri para petani, yang selama ratusan tahun dikondisikan untuk hidup dengan mental jajahan. Pada kesempatan lain di satu kuliahnya, Asmoe menyatakan,
“Rakyat buta huruf akan belajar membaca. Mereka yang merasa dirinya rendah akan diangkat dari lumpur yang merendahkan ke dalam pengakuan bahwa kaum buruh adalah mulia dan bahwa rakyat pekerja, termasuk kaum tani, adalah pencipta dunia ini”.[10]
Pada tahun 1957, PKI meluncurkan program Pemberantasan Buta Huruf (PBH), dan BTI menjadi garda terdepan dan ujung tombak utamanya. Pendidikannya biasanya berlangsung selama dua bulan pada musim panen. Kelak, petani-petani yang sudah mentas dari kubangan tuna aksara bertugas menularkan pengetahuannya kepada rekan-rekannya yang lain. Tak hanya sampai di situ, demi memastikan kemampuan kader-kadernya dalam membaca semakin terasah dan tidak hilang begitu saja, BTI juga mendirikan kelompok-kelompok baca dan perpustakaan-perpustakaan di berbagai tingkatan organisasi.
Selain pendidikan anggotanya, BTI yang bekerjasama dengan Universitas Rakyat (Unra) juga memperhatikan pendidikan anak-anak petani yang putus sekolah dengan mengorganisasikan program pendidikan Sekolah Dasar Sederhana (SDS), di luar waktu mereka untuk membantu orang tuanya di pertanian. Sekolah dasar disini bukan berarti hanya pendidikan dasar, tetapi jenjang pendidikan yang dibagi dalam tiga tingkatan, mulai dari Panti Pengetahuan Rakjat (Panpera) di tingkat paling bawah, Balai Pengetahuan Rakjat (Bapera) yang setara dengan sekolah menengah pertama, dan Mimbar Pengetahuan Rakjat (Mipera) yang sebanding dengan Sekolah Lanjutan Atas (SLA) kala itu.
Namun, pemberantasan buta huruf tentu saja program minimum dan tidak cukup untuk mendorong kemajuan pertanian dan pengetahuan serta kesadaran kaum tani lebih jauh. Untuk itu, didirikanlah Sekolah Tani Egom di Cisarua, Bogor, pada April 1965, yang berperan sebagai pusat sekolah kader. Kursus-kursus yang diselenggarakan institusi ini berlangsung selama empat bulan dengan materi yang meliputi teori ekonomi-politik Marxisme, materialisme dialektis-historis (MDH), dan hal-hal seputar peningkatan produksi pertanian.[11]
BTI sebagai Lembaga Penelitian
Sebagian kita mungkin pernah mendengar konsep “tujuh setan desa”. Sebagian lagi juga mengaitkannya dengan PKI atau BTI. Namun tak banyak yang tahu bahwa kategorisasi ini tidak disusun secara asal atau jargonistik, melainkan diabstraksikan dari satu riset serius yang cukup panjang di berbagai wilayah di Jawa Barat, dan dituliskan dalam laporan yang juga serius, berjudul Kaum Tani Mengganjang Setan-Setan Desa: Laporan Singkat tentang Hasil Riset mengenai Keadaan Kaum Tani dan Gerakan Tani di Djawa Barat.[12]
BTI memang tak main-main dalam hal penelitian. Selain sekolah tani, BTI juga memiliki Institut Pertanian Egom (IPE) yang bahkan sudah didirikan lebih dahulu, tepatnya pada November 1963. Tugas utamanya, selain sebagai institusi pendidikan pertanian juga melakukan penelitian-penelitian agraria. Selaiknya institut, lembaga ini juga mengorganisir seminar dan diskusi, namun dengan orientasi praksis yang jelas manfaatnya bagi rakyat petani, seperti Seminar Produksi Pertanian yang diselenggarakan pada 1963.
Riset-riset yang dilakukan institusi ini, di samping mengenai keadaan pertanian dan gerakan tani, juga seputar hal-hal teknis pertanian. Selain IPE, penelitian dalam tema terakhir ini juga banyak dikerjakan oleh Jajasan Lembaga Penjelidikan Keilmiahan Pertanian & Pembibitan (JLPKPP) di Klaten yang didirikan sejak 1959 dan digerakkan oleh tokoh-tokoh BTI.[13]
Perhatian besar pada urusan teknis pertanian perlu ditekankan, karena menurut BTI, fungsi lembaga ini (BTI) bukan hanya untuk membangkitkan semangat revolusioner kaum tani, namun juga untuk meningkatkan produksi pertanian. Kader-kadernya harus bisa memberikan petunjuk praktis dalam hal-ihwal yang berkenaan dengan budidaya padi, palawija, beternak, budidaya ikan, dan sebagainya. Di sisi lain, mereka juga harus mau belajar dari praktik petani lokal yang dianggap memadai, di samping menawarkan terobosan-terobosan baru yang berasal dari pengetahuan ilmiah mereka. BTI perlu membuktikan bahwa apa yang mereka perjuangkan memang berhasil meningkatkan produktifitas dan taraf kehidupan kaum tani. Jika tidak, niscaya kaum tani tak akan lagi tertarik untuk bergabung dengan organisasi ini. Maka, persoalan teknis dan produktifitas pertanian menjadi pertaruhan serius oleh BTI.[14]
Penelitian-penelitian soal produktifitas pertanian ini tak bisa dilepaskan dari nama Jagus, salah satu anggota pleno Pimpinan Pusat BTI yang juga memimpin JLPKPP. Rekam jejaknya dalam penelitian benih sejak bekerja pada onderneming (perkebunan) di era kolonial, melambungkan namnaya sebagai ahli di bidang ini. Namun komitmen ideologisnya tak perlu diragukan lagi. Dengan keahliannya, ia berupaya memberi sumbangsih bagi rakyat petani dan revolusi. Seperti disimpulkan seorang penulis, “baginya, pelipatgandaan kapasitas produksi pertanian rakyat termasuk dalam mata rantai strategi revolusi nasional Indonesia, yang tidak kalah serius dan penting dibanding masalah-masalah lainnya”. Hal ini masuk akal, mengingat di akhir tahun 1950-an hingga pertengahan 1960-an, Indonesia sedang dalam gejolak kampanye memperebutkan Irian Barat dan mengganyang “negara boneka” Malaysia. Karenanya, Jagus sudah terlibat dalam gerakan swasembada beras yang dimulai sejak 1959/1960.[15]
Riset-riset yang mempelajari kondisi pertanian dan hal-hal teknis pertanian sebenarnya juga berfungsi untuk mempertahankan jalinan BTI dan PKI dengan massa rakyat itu sendiri. Para pimpinan organisasi ini sebenarnya sudah lama menyadari bahwa mereka tidak cukup pengetahuan tentang pedesaan Indonesia. Karenanya, sudah sejak kongres partai keenam pada 1959, diamanatkan adanya penelitian soal watak eksploitasi feodalisme di desa-desa. Namun, karena dirasa akan terlalu memakan banyak waktu, maka dalam Kongres Ketujuh PKI pada 1962, diputuskan bahwa riset yang akan dilakukan seputar hubungan kerja (relasi produksi) antara tuan tanah dan buruh tani untuk merumuskan kampanye peningkatan upah; dan studi spesifik mengenai penggunaan tanah, sistem panen, dan biaya produksi agar dapat meningkatkan produksi dan menetapkan permintaan realistis untuk mereformasi sistem penguasaan lahan.[16]
Riset ini dilakukan selama enam minggu di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Desa-desa yang diteliti di Jawa Timur tersebar di 70 kecamatan, dan di Jawa Barat meliputi 24 kecamatan. Besarnya jumlah yang terlibat dalam penelitian ini seperti tergambar dari Jawa Tengah, di mana ada 56 peneliti yang mengawasi dan mengolah data-data yang dikumpulkan oleh 850 pelapor lokal yang tersebar di 29 kecamatan. Sayangnya, dari penelitian ini, baru yang dilakukan di Jawa Barat yang sudah diterbitkan menjadi laporan. Sisanya belum sempat dipublikasikan sebelum Gestok (Gerakan Satu Oktober) terjadi.
Terlepas dari beberapa kekurangan, hasil penelitian yang dilakukan BTI mengundang kekaguman dari banyak pihak. Ruth McVey, seorang Indonesianis dari Universitas Cornell, misalnya, melihat keterhubungan antara baiknya kualitas riset ini dengan proses-proses pendidikan yang sudah digalakkan sebelumnya. Ia lalu menarik kesimpulan bahwa “tak diragukan bahwa laporan yang bagus ini berasal dari pengaruh jangka panjang pendidikan dan agitasi PKI”.[17]
Untuk ukuran zamannya, riset-riset BTI ini memang menawarkan sesuatu yang baru dan berbeda, untuk tidak mengatakan bahwa riset-riset ini melampaui zamannya. Kepada para peneliti dan pelapor di pedesaan, misalnya, BTI menekankan prinsip yang dikenal sebagai “tiga sama, empat jangan, empat harus” – sama kerja, sama makan, dan sama tidur; jangan tinggal di rumah elit desa, menggurui, merugikan, dan mencatat di hadapan kaum tani; dan harus sopan, siap membantu, menghormati adat istiadat setempat, dan belajar dari kaum tani. Salah seorang scholar-activist mengakui bahwa apa yang dilakukan BTI ini “dilakukan sebelum reflexive ethnography, participatory action research, dan segala jargon serta metode penelitian-penelitian yang menonjolkan aspek keterlibatan peneliti menjadi nge-tren – dan terkadang dipelintir untuk melancarkan pelaksanaan agenda-agenda developmentalis di pedesaan.”[18]
Selain itu, menurut Ben White—salah seorang pakar agraria yang juga Indonesianis—, riset-riset BTI ini menyajikan gambaran detail akan kondisi kehidupan petani di pedesaan, khususnya para petani gurem dan buruh tani, mulai dari apa yang mereka miliki di rumah-rumah mereka, sampai rincian neraca penerimaan dan pengeluaran rumah tangga petani kaya, menengah, dan tunakisma. Gambaran ini yang hampir absen dalam riset-riset agraria sebelum BTI, yang dalam pengumpulan datanya hanya menekankan penggunaan survei-kuesioner. Selain itu, menurutnya, diskursus soal tujuh setan desa, alih-alih kategorisasi kelas petani secara klasik, adalah satu tawaran dan modifikasi kreatif BTI untuk menjabarkan betapa kompleksnya eksploitasi dan ekstraksi nilai-lebih yang terjadi pada petani miskin di pedesaan.[19]
Namun, hasil-hasil riset BTI seakan tak berbekas setelah pergantian rezim. Orde Baru yang menganggap kuatnya gerakan tani di masa sebelumnya sebagai ancaman, berupaya melakukan depolitisasi atasnya, terutama dengan melarang berdirinya serikat tani di luar yang dibentuk negara, yaitu HKTI. Analisa kelas (yang akan dibahas lebih lanjut dalam bagian selanjutnya) yang diproduksi BTI melalui riset-risetnya juga dibuang jauh-jauh dan dihilangkan dalam wacana akademik Indonesia. Alih-alih, dengan selubung Pancasila, Orde Baru selalu menekankan tatanan masyarakat yang harmonis, nir-konflik, dan setiap perbedaan kepentingan dapat diselesaikan melalui musyawarah, tanpa melihat ada hubungan yang eksploitatif di dalamnya.
Hasil-hasil riset BTI, terutama yang dimotori oleh Jagus, soal peningkatan produktifitas pertanian juga mengalami nasib yang tak jauh berbeda. Kebijakan Revolusi Hijau oleh Orde Baru, menyeragamkan hampir semua input dan sarana produksi pertanian, mulai dari bibit, pupuk, hingga pestisida, yang hampir semuanya berasal dari impor, yang mesti dibeli petani, hampir pasti melalui mekanisme kredit. Tak berlebihan rasanya ketika seorang penulis menyebut bahwa penghabisan BTI dan lembaga riset di dalamnya pada dasarnya tak sekadar menghilangkan nyawa, tapi juga ide-ide, dan upaya membangun kedaulatan pangan itu sendiri.[20]
Membawa Analisis Kelas ke Pedesaan
Sejak pertengahan 1980an, terdapat pergeseran dalam studi dan penelitian agraria di Indonesia. Dari segi lokus, penelitian yang sebelumnya banyak berfokus pada pedesaan Jawa, lalu mulai beralih ke pulau-pulau luar Jawa. Selain itu, dari segi tema, riset-riset sejak 1980an lebih banyak menyoroti proyek-proyek pembangunan yang dipromosikan oleh Orde Baru, seiring berakhirnya masa oil boom dan penetrasi yang makin masif dari lembaga keuangan global, seperti Bank Dunia dan IMF (International Monetary Fund).
Para penstudi dan peneliti agraria lalu lebih banyak berfokus dan mencurahkan perhatian pada bagaimana satu proyek pembangunan akan menimbulkan konflik agraria, dampak sosial, dan dampak lingkungan di tengah masyarakat.[21] Tentu saja, dalam konteks rezim fasistik yang tak segan menggusur dan meminggirkan rakyat demi kelancaran arus modal, studi-studi semacam ini menjadi relevan. Namun, di sisi lain, riset-riset dengan tema ini seringkali tidak memeriksa kondisi internal pedesaan dan mengabaikan begitu saja adanya diferensiasi kelas di kalangan petani itu sendiri. Studi-studi pedesaan dengan pendekatan kelas yang ada sebelumnya, seperti yang dikerjakan oleh Frans Huskens dan Jonathan Pincus, lalu menjadi tidak begitu populer lagi sejak masa ini.[22]
Hal yang sama juga berlaku pada serikat-serikat tani yang bermunculan pasca-Reformasi. Jika kita baca hasil studi terkait organisasi tani ini atau kebijakan pertanahan dan agraria yang menyasar basis serikat tani, akan terlihat bagaimana perjuangan gerakan tani hari ini lebih terfokus pada pengakuan hak atas tanah, tanpa melakukan penataan struktur agraria seperti yang sebenarnya dimandatkan oleh program land reform di tahun 1960an. Tak jarang, kebijakan yang mengatasnamakan “pembaruan agraria” atau “reforma agraria” dan ditandai dengan “bagi-bagi sertifikat” ini justru mengukuhkan ketimpangan penguasaan lahan yang ada. Bahkan, setelah pelaksanaan program semacam itu, tak sedikit kasus di mana terjadi rekonsentrasi penguasaan lahan, terutama di tangan elite-elite serikat tani itu sendiri.[23]
32 tahun represi Orde Baru dan upaya pengendalian petani melalui organisasi tunggal HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) berhasil menghapus ingatan dan memberangus analisis kelas dalam serikat-serikat tani kita. Absennya diskursus kelas ini sebenarnya tak hanya terjadi di sektor agraria, namun dalam ilmu sosial di Indonesia secara umum. Dan pangkalnya memang tak bisa dilepaskan dari Orde Baru. Hilmar Farid, dalam satu tulisannya menyebut,
“siapa saja yang mengamati sejarah Indonesia modern akan dengan cepat menghubungkan hilangnya konsep dan diskursus tentang kelas dari ilmu-ilmu sosial di Indonesia dengan bangkitnya Orde Baru. Ketika penghancuran kelas melancarkan jalan bagi ‘pembangunan’ (Farid, 2000), represi yang memberangus pemikiran di dunia akademik dibarengi dengan apa yang oleh salah seorang penulis sebut sebagai ‘dis-edukasi’ (Ward 1973: 75).”[24]
Berkait dengan kenyataan ini, menurut Ben White, terdapat satu pandangan dominan di kalangan pembuat kebijakan, akademisi, teknokrat, dan birokrat sejak Orde Baru, terkait gambaran masyarakat pedesaan sebagai komunitas yang tersusun secara homogen, terdiri atas “petani” yang mempraktikkan pertanian subsisten, dan proses interaksi di antara sesama mereka diatur bukan oleh individualisme, melainkan oleh gotong royong, kekeluargaan, dan kerukunan.[25] Mereka dianggap sebagai satu kesatuan unit yang integral, di mana pembelahan antara elite dan massa bukan timbul dari ketidaksetaraan dalam struktur sosial. Dalam kondisi normal, mereka hidup dalam harmoni, terlepas dari pebedaan pendapatan, situasi hidup, dan etik kerja.
Seorang pakar agraria Indonesia lainnya, S.M.P. Tjondronegoro menulis, “ada praduga kultural bahwa secara sosial dan politik, masyarakat Indonesia sudah sangat egaliter”. Konsep “kelas” lalu jelas berada di luar pandangan ini. Setiap upaya menyuarakan perjuangan kelas atau analisis kelas secara ilmiah sekalipun, akan rentan mendapat cap “PKI”. [26]
Berlawanan dari pandangan romantik semacam ini, BTI dengan pendekatan ekonomi-politiknya sadar betul bahwa apa yang kita sebut “petani” sesungguhnya terdiferenisasi dalam kelas-kelas dengan kepentingan yang berbeda satu sama lain dan terhubung dalam relasi produksi yang eksploitatif.[27] Dengan mempertimbangkan adanya kelas-kelas di antara petani itu sendiri, BTI memang dimaksudkan sebagai organisasi yang memperjuangkan kepentingan petani kecil/miskin dan buruh tani.
Dalam satu kesempatan rapat antara pengurus BTI dan Comite Central PKI, Ismail Bakri, ketua Comite Daerah Besar Jawa Barat mengeluhkan “karena banyak kader di gerakan tani revolusioner masih terdiri dari petani menengah, maka prinsip untuk menempatkan kepentingan petani kecil dan buruh tani sebagai yang utama hanya berakhir sebagai kata-kata”.
Oleh Asmu, sang ketua BTI, kenyataan ini diakui. Ia bahkan menambahkan bahwa di dalam kepengurusan pusat BTI sendiri masih terdapat kalangan tuan tanah dan petani kaya. Namun upaya terus dilakukan “untuk mendorong dan menempatkan petani miskin dan buruh tani, baik laki-laki maupun perempuan untuk duduk dalam kepemimpinan BTI dan membersihkan BTI dari kelas-kelas yang mengeksploitasi”.[28]
Melalui serangkain penelitian di tahun 1959, BTI merumuskan adanya tujuh kelompok yang mengeksploitasi petani kecil dan buruh tani, yang lalu dikenal dengan “tujuh setan desa”. Mereka adalah “tuan-tanah jahat, lintah darat, tukang-ijon, kapitalis birokrat, tengkulak jahat, bandit desa, dan penguasa jahat”. Sebagian akademisi, seperti Ben White yang disinggng sebelumnya, mengapresiasi modifikasi kategorisasi yang diajukan BTI ini. Namun pencampur-adukan antara klasifikasi bedasar penguasaan lahan, pendapatan, dan pendirian politik (political stands), juga memunculkan kritik oleh sebagian kalangan lain.[29] Sebagai contoh, BTI membagi tuan tanah menjadi “tuan tanah baik” dan “tuan tanah jahat” berdasar keberpihakannya. Hal ini jelas berbeda dari kategori kelas-kelas agraria klasik yang dirumuskan secara objektif oleh Lenin dalam The Development of Capitalism in Russia, misalnya[30].
Bertolak dari kenyataan ini, Farid bahkan menyebut bahwa “analisis PKI dan BTI lebih tampak sebagai analisis politik dengan menggunakan jargon kelas, alih-alih analisis kelas pada satu situasi politik tertentu”. Namun menurutnya, pilihan ini diambil oleh BTI dan PKI karena berdasarkan pembacaan mereka, Indonesia ketika itu berada dalam tahap “semi-jajahan dan semi-feodal”, sehingga nasionalisme radikal dianggap lebih mendesak kala itu dibanding perjuangan kelas. Aidit dianggapnya menelan mentah-mentah doktrin Mao Zedong yang menulis bahwa partai komunis tak bisa berjuang secara langsung menuju sosialisme, tetapi terlebih dahulu harus melewati perjuangan nasional-demokratik untuk membebaskan negara dari imperialisme dan menghilangkan sisa-sisa feodalisme.[31]
Sementara John Roosa mengaitkan model analisis kelas di atas dengan strategi PKI membangun sebuah “front persatuan nasional” yang bersifat populis. Apa yang diperhitungkan sebagai subjek revolusioner adalah “rakyat Indonesia” secara keseluruhan, dengan tujuan untuk mencapai apa yang disebut “demokrasi rakyat” yang memberi cukup ruang bagi kelas “kapitalisme nasional”. Persekutuan antara kelas buruh, tani, borjuis kecil, dan borjuasi nasional coba dibangun guna melawan kaum imperialis, borjuasi yang bekerjasama dengan mereka, dan tuan tanah feodal. Lebih jauh, pembacaan kelas ini dikembangkan lebih lanjut menjadi satu teori yang disebut “teori dua aspek kekuasaan negara”, di mana satu aspek “pro-rakyat” harus didukung untuk melawan unsur-unsur “anti-rakyat” dalam pemerintahan.[32]
Di kemudian hari, terutama setelah peristiwa Gestok, beberapa elemen dalam partai sendiri melakukan otokritik atas model analisa ini. Namun, terlepas dari analisis kelas yang tidak jeli dan menjadi satu kesalahan yang cukup fatal, BTI setidaknya telah berusaha membawa analisis kelas ke lingkup pedesaan. Jika kita bandingkan dengan serikat-serikat tani hari ini, misalnya, analisis kelas yang dimiliki BTI kala itu bisa dibilang sudah selangkah lebih maju.
Mempromosikan Koperasi sebagai Ekonomi Bersama Kaum Tani
Dalam satu wawancara dengan penulis, seorang ketua serikat petani di Garut, Jawa Barat, berulangkali mengungkapkan kekhawatirannya, bahwa tanah-tanah garapan petani yang telah mendapat sertifikat hak milik dari pemerintah justru akan berpindah tangan melalui mekanisme gadai/agunan atau jual-beli. Beberapa kondisi yang mendorong fenomena ini adalah sulitnya akses permodalan dan absennya lembaga pemberi kredit atau simpan-pinjam untuk keperluan modal atau kebutuhan mendesak, di luar renternir, pengijon, tengkulak, atau bank. Kenyataan ini cukup tipikal di mana-mana dan sudah menjadi problem yang dihadapi petani dan serikat petani sejak dulu, termasuk BTI.
Dalam upaya mengatasi persoalan keterbatasan modal dan penyediaan akses simpan-pinjam bagi kebutuhan mendesak kaum tani ini, BTI mengajukan bentuk koperasi. Dalam konferensi nasional petani pada April 1959, BTI bersama PKI mengelaborasi kebijakannya mengenai koperasi, khususnya koperasi kredit dan koperasi yang menampung dan memasarkan hasil produksi pertanian. Selanjutnya, dalam kongres PKI keenam pada September tahun yang sama, D.N. Aidit menyerukan kepada pemerintah untuk menyediakan perlindungan dan fasilitas yang lebih besar bagi koperasi. Dengan adanya koperasi, diharapkan petani miskin mempunyai “bantalan” (cushion) yang melindungi mereka dari tekanan ekonomi.[34]
Menurut Aidit, ada dua segi positif yang perlu dikembangkan dari koperasi. Pertama, bahwa ia dapat mempersatukan rakyat pekerja yang lemah ekonominya dan menghambat proses diferensiasi produsen kecil. Dengan persatuan dan kerjasama ini, kaum tani dapat mengurangi eksploitasi tuan tanah, lintah darat, tukang ijon, tengkulak dan kelas pemodal. Sebab, perjuangan membebaskan kaum tani dari penghisapan tuan tanah dan lintah darat sebagai sisa-sisa feodalisme adalah bagian dari perjuangan revolusi untuk Indonesia yang demokratis. Kedua, koperasi juga dapat digunakan untuk meningkatkan produksi, sehingga dapat menambah pendapatan anggota-anggotanya.[35]
Sebagai wujud keseriusan untuk membangun koperasi petani ini, pada 1963, BTI membentuk sebuah pusat sekolah koperasi petani untuk sekitar 400 kader-kader BTI di tingkat provinsi. Di bawah itu, di tingkat provinsi, ada sekolah-sekolah regional yang melatih kader di tingkat kabupaten, dan seterusnya hingga ke tingkat kecamatan, yang di situ kursus kilat diorganisir untuk mendidik kader di cabang lokal (ranting) dan para pemimpin kelompok. Bahan-bahan pendidikan banyak disuplai oleh Akademi Ilmu Sosial Aliarcham (AISA), di mana departemen Ekonomi Politik dalam institusi tersebut memberi perhatian cukup besar tentang tema koperasi.[36]
Namun, yang penting untuk digarisbawahi, koperasi yang dipromoikan BTI adalah koperasi yang didasari oleh analisa kelas. Dan bahwa koperasi
hanya satu jalan dan upaya dalam memperkuat ekonomi kaum tani.
Karenanya, Aidit, misalnya, dalam satu tulisannya dengan tegas menolak pernyataan Moh. Hatta bahwa “koperasi adalah satu-satunya jalan untuk mencapai kemakmuran bagi bangsa kita yang masih lemah”. Sebaliknya, dalam pandangan BTI dan PKI, upaya pembangunan dan penguatan koperasi harus berjalan siring dengan “perdjuangan Rakjat… melikwidasi kekuasaan kapitalis monopoli imperialis dan sisa-sisa feodalisme di Indonesia”. Organisasi ini menyadari betul apa yang disampaikan Soekarno dalam peringatan Hari Koperasi, 12 Juli 1962, bahwa “kita punya tujuan bukan sekadar masyarakat kapitalis dengan koperasi, koperasi kaum buruh atau kaum tani di dalamnya”.[37]
Karenanya, koperasi yang dibayangkan BTI bukanlah koperasi yang diisi campur aduk antara kelas pemodal, petani kaya/besar, dan petani gurem atau petani tunakisma penyakap (landless-tenants) dengan kepentingan yang sesungguhnya berbeda satu sama lain. Alih-alih, koperasi kaum tani idealnya dibangun secara swadaya, mandiri, dan berdaulat, tanpa campur tangan pemodal yang hanya ingin menjadikannya sebagai ladang bisnis, dan dengan subyek penerima yang jelas, yaitu kelas-kelas petani yang terdapat dalam lapisan-lapisan paling bawah dalam stratifikasi sosial petani.
Implikasinya, koperasi yang dimaksud disini bukanlah koperasi yang sekadar menjadi ajang arisan “kelas menengah” yang sedang gandrung dengan istilah dan konsep “koperasi”. Dan bahwa mendirikan koperasi tanpa ditunjang analisa kelas sesungguhnya menjadi sebentuk langkah melucuti “koperasi” dari elan dan potensi revolusionernya.[38]
Aidit, misalnya, dalam menyandingkan soal peran koperasi dalam menggenapi program land reform menulis,
“Saudara-saudara tentu akan bertanya, di mana kedudukan daripada koperasi dalam ekonomi nasional demokratis yang hendak kita bangun. Koperasi memainkan peranan mengorganisasi pemilik-pemilik alat produksi kecil seperti nelayan, tukang kerajinan tangan, dan terutama kaum-kaum tani yang telah memiliki tanah-tanah garapan, baik yang dimiliki sebelum dilaksanakan landreform yang radikal maupun sebagai hasil dari pembagian tanah yang disita dari tuan tanah. Koperasi kaum tani, koperasi pertnaian akan merupakan organisasi ekonomi yang membantu meningkatkan taraf hidup kaum tani dan mendorong peningkatan produksi serta memajukan pertanian”.[39]
***
Tanpa perlu terjebak dalam glorifikasi dan romantisme, rasanya memang perlu diakui bahwa BTI menjadi organisasi dan gerakan tani yang pilih tanding sepanjang sejarah pertanian dan agraria di Indonesia. Tidak berlebihan, sepertinya, apabila dinyatakan bahwa (sampai) hari ini, baik dari segi kuantitas jumlah keanggotaan, maupun kualitas keorganisasian dan signifikansi peran yang dimainkannya, belum ada organisasi petani yang mampu menandingi BTI di Indonesia. Ben White, misalnya, menilai bahwa SPI (Serikat Petani Indonesia) yang muncul segera setelah reformasi dan menjadi anggota aktif La Via Campesina—satu organisasi “petani” trans-nasional terbesar saat ini, masih jauh dari pencapaian BTI dengan tujuh juta anggotanya.[40]
Namun, bukan sekadar jumlah keanggotaan seperti yang disoroti Ben White, yang juga penting untuk dilihat adalah relatif absennya “warisan-warisan” BTI dalam serikat-serikat tani hari ini. Sejauh pengetahuan saya, jarang kita temui organisasi tani yang juga memainkan peran sebagai lembaga pendidikan, melakukan penelitian baik dalam kondisi sosial maupun teknis pertanian, membangun koperasi-koperasi pertanian bagi kaum tani kecil, dan terutama mempunyai analisis kelas yang solid dalam melihat dinamika dan diferensiasi kelas petani di pedesaan.
SPI yang disinggung sebelumnya (dan hampir semua serikat petani di Indonesia, sebenarnya), misalnya, masih mewakili tradisi neo-populis yang juga dipegang oleh Via Campesina. Baik SPI maupun Campesina seperti nampak enggan memproblematisir isu perbedaan struktural seiring dengan penetrasi kapitalisme dalam sektor pertanian. Padahal, meskipun coba melindungi “petani” dari ancaman-ancaman yang sifatnya eksternal, seperti perampasan lahan atau monopoli korporasi benih dan agro-industri, tetapi tanpa memeriksa kondisi internal pedesaan dan pertanian hari ini yang sudah ditandai oleh diferensiasi kelas, maka organisasi dan gerakan tani terancam “barangkali bukan hanya akan gagal menghancurkan kerangkeng eksploitasi bagi mereka yang begitu mendambakannya, tapi bisa jadi justru turut melanggengkan posisi eksploitatif itu sendiri”, seperti yang ditulis seorang pengkaji agraria.[41]
Dengan melihat kenyataan-kenyataan di atas, alih-alih dimaksudkan sebatas mengenang kejayaan dan kebesaran organisasis petani Indonesia di masa lampau, tulisan ini coba memberi sumbangsih dan tawaran, bahwa banyak yang bisa dipelajari dan perlu diduplikasi dari gerakan dan keorganisasian BTI terutama pada kurun 1950an dan 1960an oleh gerakan-gerakan tani hari ini.
Muhammad Nashirulhaq*, Mahasiswa FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
***
***
[1] Untuk kajian yang banyak menyinggung soal Gerwani, misalnya, Saskia Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (Jakarta: Kalyanamitra, 1999). Karya tentang Pesindo yang menjadi cikal bakal Pemuda Rakyat seperti Norman Joshua Soelia, Pesindo: Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950 (Tangerang: Marjin Kiri, 2017). Bandingkan dengan beberapa literatur soal Lekra seperti Muhidin M. Dahlan & Rhoma Dwi Aria Yuliantri, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 (Yogyakarta: Merakesumba, 2008); Alexander Supartono, Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965 (Yogyakarta: Wacana Sosialis); atau JJ Kusni, Di Tengah Pergolakan: Turba Lekra di Klaten (Yogyakarta, Ombak, 2009).
[2] Sebelumnya memang sudah ada beberapa kajian soal BTI, tetapi sifatnya lokal atau parsial hanya menyoroti isu tertentu (semisal aksi sepihak), atau memang bertujuan untuk menggambarkan BTI dengan citra yang buruk, sebagaimana dalam narasi Orde Baru. Lihat, misalnya Octandi Bayu Pradana, Petani Klaten Bergerak: BTI, Aksi Sepihak, dan Penghancurannya 1950-1965 (Yogyakarta: Kendi, 2016); atau Aminuddin Kasdi, Kaum Merah Menjarah: Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur, 1950-1965 (Surabaya: YKCB & CICS, 2001).
[3] Karl J. Pelzer, Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani (Jakarta: Sinar Harapan, 1991), hlm 72. Tentu saja kita bisa meragukan angka-angka yang dikutip oleh Pelzer dari publikasi-publikasi PKI atau BTI. Tetapi bahwa kenggotaan BTI memang besar dan mengalami peningkatan pesat adalah kenyataan yang sulit ditepis.
[4] Padahal, jika mau adil, sebenarnya apa yang disebut “aksi-aksi sepihak” dan pendudukan yang dilakukan oleh BTI bersama Sarbupri (Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) di era sebelumnya mempunyai peran besar dalam menasionalisasi aset-aset peninggalan Hindia Belanda, khususnya perkebunan. Sebab, sebagai akibat dari perjanjian yang disepakati dalam KMB (Konferensi Meja Bundar, pemerintah RIS yang dibentuk kala itu harus mengembalikan aset-aset perkebunan kepada Belanda. Baca: Noer Fauzi Rachman, Landreform dari Masa ke Masa (Yogyakarta: Tanah Air Beta, 2012), hlm 28 dan 51.
[5] Noer Fauzi Rachman, Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia (Yogyakarta: Insist, KPA, dan Pustaka Pelajar, 1999), hlm 131.
[6] A. Nashih Luthfi dan Amien Thohari, “Mochammad Tauchid: Tokoh Pendiri Bangsa, Gerakan Tani, dan Pendidikan Taman Siswa” dalam Mochammad Tauchid, Masalah Pertanian Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia (Yogyakarta: STPN Press, 2009), hlm 644. Di kemudian hari, ketika organisasi ini semakin dekat dan terafiliasi dengan PKI, yang menjadi ketuanya adalah Asmoe. Baca: Rex Mortimer, Indonesia Communism Under Soekarno: Ideology and Politics 1959-1965 (Singapore: Equinox, 2006).
[7] Pelzer, Sengketa Agraria, hlm 72.
[8] Benedict R’O.G. Anderson, Java in A Time of Revolution: Occupation and Resistance 1944-1966 (New York: Cornell University, 1972), hlm 16-17.
[9] Mortimer, Indonesian Communism, hlm 293. Ia mengutipkannya dalam Bahasa Inggris, dan penerjemahan ke Bahasa Indonesia oleh penulis.
[10] Ruth McVey, Mengajarkan Modernitas: PKI Sebagai Sebuah Lembaga Pendidikan (Jakarta, IndoProgress, 2016), hlm 29-30.
[11] Keterangan soal program PBH, SDS, dan sekolah tani bersumber dari Ibid, hlm 39.
[12] Bandingkan, misalnya, dengan pernyataan Taufik Ismail yang menganggap konsep “tujuh setan desa” sebagai jargon semata. URL: https://radiobuku.com/2015/10/taufiq-ismail-di-pekan-raya-buku-frankfrut-komunis-gaya-baru-itu-ada/
[13] Tidak jelas benar, apakah lembaga ini sama dengan Lembaga Keilmuan Jagus untuk Pertanian dan Pemilihan Benih yang disebut oleh McVey. Namun, dengan melihat lokasi keduanya di Klaten, dan keberadaan Jagus di dalamnya, ada kemungkinan (cukup besar) bahwa nama yang berbeda ini merujuk pada lembaga yang sama, meskipun McVey menyatakan bahwa Lembaga Keilmuan Jagus berdiri setelah Institut Pertanian Egom, artinya setelah 1963. Tentang sekelumit informasi soal JLPKPP, lihat Grace Leksana, “Jagus dan Hilangnya Kedaulatan Pangan Kita” dalam Harian IndoProgress, 31 Oktober 2016, URL: https://indoprogress.com/2016/10/jagus-dan-hilangnya-kedaulatan-pangan-kita/
[14] McVey, Mengajarkan Modernitas, hlm 50. Persoalan produktifitas ini terasa semakin mendesak di era kiwari, ketika lahan pertanian semakin menyempit, sementara pertumbuhan penduduk dunia mengandaikan kebutuhan pangan yang terus meningkat. Hal ini juga ditekankan oleh akademisi ekonomi-politik agraria Marxis, Henry Bernstein dalam karyanya, Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria (Yogyakarta: insist Press, 2015), khususnya pada Bab II.
[15] Leksana, “Jagus dan Hilangnya Kedaulatan Pangan Kita”. Penulis berterima kasih kepada Kawan Wahyu Eka yang merekomendasikan artikel ini.
[16] Ibid, hlm 52.
[17] Ibid, hlm 53.
[18] Iqra Anugrah, “Tiga Sama: Sebuah Refleksi Etnografis” dalam Harian IndoProgress, 26 Juli 2016. URL: https://indoprogress.com/2016/07/tiga-sama-sebuah-refleksi-etnografis/
[19] Ben White, “Remembering The Indonesian Peasants’ Front and Plantation Workers Union (1945-1966)” dalam Journal of Peasant Studies 2015.
[20] Leksana, “Jagus dan Hilangnya Kedaulatan Pangan Kita”.
[21] Nancy Peluso dan Gilian Hart, “Revisiting ‘Rural’ Java: Agrarian Research in The Wake of Reformasi: A Review Essay” dalam Jurnal Indonesia 80 (Oktober 2005).
[22] Bdk, misalnya Jonathan Pincus, Class, Power, and Agrarian Change: Land and Labour in Rural West Java (London: Palgrave Macmillan, 1996); Frans Husken, Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980 (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1998).
[23] Untuk kajian yang menyinggung soal transaksi tanah setelah pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di masa rezim Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, lihat Mohammad Shohibuddin, Surya Saluang, dan Laksmi Safitri, Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria dan Krisis Sosial Ekologi (Bogor: Sains, 2010).
[24] Himar Farid, “The Class Question in Indonesian Social Science” dalam Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae (eds.), Social Science and Power in Indonesia (Singapore: Equinox & ISEAS, 2005), hlm 167.
[25] Ben White, “UU nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa: Pertarungan Visi dan Wacana dalam Penelitian dan Kebijakan” dalam Jurnal Wacana Nomor 36/Tahun XIX/2017.
[26] Farid, “The Class Question”, hlm 170, 190.
[27] Tegangan antara kedua pandangan ini diulas lebih mendalam oleh Ben White dalam tulisan lain, “Marx and Chayanov at The Margins: Understanding Agrarian Change in Java” dalam Journal of Peasant Studies 2018.
[28] Mortimer, Indonesian Communism, hlm 293-4.
[29] Kritik yang paling sistematis terhadap kategorisasi ini, sejauh pengetahuan penulis, ditulis oleh Farid dalam “The Class Qustion”; juga tulisannya yang lain “Sekilas Tentang Analisis Kelas dan Relevansinya” dalam Harian IndoProgress, 7 dan 9 Januari 2008. URL: https://indoprogress.com/2008/01/sekilas-tentang-analisis-kelas-dan-relevansinya-bagian-1-dari-2-tulisan/; https://indoprogress.com/2008/01/sekilas-tentang-analisis-kelas-dan-relevansinya-bagian-2-habis/
[30] Lenin membagi kelas-kelas dalm sektor agraria dalam kategori tuan tanah (big landowners/landlord), petani kaya (big/rich peasants), petani menengah, petani kecil/miskin (small/poor peasants), petani semi-proletar, dan buruh tani (agricultural labourers/proletariats). Baca: Haroon Akram Lodhi dan Christobal Kay, “Surveying the agrarian question (part 1): unearthing foundations, exploring Diversity” dalam Journal of Peasant Studies, Vol. 37, No. 1, Januari 2010.
[31] Farid, “The Class Question”, hlm 177.
[32] John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (Jakarta: ISSI & Hasta Mitra, 2008), hlm 235.
[34] Mortimer, Indonesian Communism, hlm 261.
[35] D.N. Aidit, Peranan Koperasi Dewasa Ini (Jakarta: Depagitprop CC PKI, 1963), hlm 14.
[36] McVey, Mengajarkan Modernitas, hlm 38.
[37] Aidit, Peranan Koperasi Dewasa Ini¸ hlm 13.
[38] Penulis berterima kasih kepada Kawan Muhtar Habibi atas masukannya tentang poin analisa kelas dalam koperasi ini.
[39] Aidit, Peranan Koperasi Dewasa Ini¸ hlm 11.
[40] White, “Remembering The Indonesian Peasants’ Front”, hlm 13.
[41] Muhtar Habibi, “’Petani’ dalam Lintasan Kapitalisme”, dalam Harian IndoProgress, 18 April 2018. URL: https://indoprogress.com/2018/04/petani-dalam-lintasan-kapitalisme/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar