Ragil Nugroho
Tak perlu memoncongkan moncong dan bersungut-sungut.
SEBAIKNYA dimulai dari ini: ’30 tahun, delapan bulan, dan duapuluh
dua hari kekuasaan Orde baru’—dengan lantang diucapkan Budiman
Sudjatmiko, tepat 22 Juli, 16 tahun yang lalu. Itu kemudian dikenal
sebagai Manisfeto Partai. Semacam prasasti berdirinya Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Daniel Dhakidae, dalam buku babonnya, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru,
menulis dengan nada pujian pembuka Manifesto itu: ‘Dari mana semuanya
dihitung tidak penting, namun, membilang hari demi hari…menunjukkan
intensitas penghayatan yang menakjubkan.’
Yang pasti, menurut Dhakidae,
ada lompatan politik dalam Manifesto: menyatakan ekspansi ke Timor Timur
sebagai penjajahan, menuntut dicabutnya Dwi Fungsi ABRI, dan
kebangkrutan sistem ekonomi, politik serta budaya. Semua dinyatakan
ketika Soeharto lagi buas-buasnya.
Sejak Manifesto dibacakan, PRD mengumumkan secara terbuka perlawanan
terhadap Orba. Tak pelak, 27 Juli 1996 — lima hari setelah deklarasi —
PRD dituduh sebagai dalang kerusuhan. Pengejaran dan pemenjaraan
dimulai. Partai bergerak di bawah tanah.
Tahun 1996-1998, PRD bisa melawan dogma kaum ultra kiri. Ia bersandar
pada Kaum Miskin Perkotaan (KMK)—bukan pada kelas proletar—untuk
mencacah kediktatoran Orba. Bisa pula dicatat Mega Bintang Rakyat (MBR)
sebagai strategi taktik yang jitu. Orang-orang mulai berbondong-bondong
membangkang.
Pada periode itu, usaha PRD melawan dogmatisme memang keras.
Sepertinya PRD sadar, baik fundamentalisme kanan maupun kiri sama saja:
Tak melahirkan pengetahuan baru. Hanya sibuk memamahbiak isi kitab suci.
Kalaupun ada hasilnya – menjadi sekte Jubah Merah: Semuanya harus
seragam sebagaimana Rusia zaman Lenin, termasuk titik komanya. Kalau tak
sama maka murtad – halal darahnya karena ia Stalinis yang suka
mengutak-atik ajaran Lenin dan ugal-ugalan.
Agar tak tegang, ada lelucon tentang dogma:
Bruder William datang dari Inggris ke suatu biara kaya di Italia
untuk sebuah tugas yang tak ringan: melakukan penyelidikan terhadap
rahib Fransiskan yang dianggap melakukan bid’ah. Tentu tak mudah. Ketika
kerja hendak dimulai, William justru menemukan kasus lain yang lebih
menarik minatnya: pembunuhan ganjil di dalam biara.
Begitulah novel Umberto Eco, The Name of the Rose, mengudar
kisahnya. Pembunuhan itu mengikuti petunjuk Kitab Wahyu: hujan es,
darah, air, sepertiga bagian langit, dan kalajengking. Petunjuk jelas,
tapi William tak terkecoh. Ia berkesimpulan: ketujuh orang itu mati
setelah membaca sebuah buku. Biangkeladinya ternyata Jorge—rahib tua
yang buta itu.
Buku apa itu? Buku tentang tertawa.
Bagi Jorge, tertawa menyebabkan dogma menjadi lelucon, tak sakral
lagi. Ajaran Ilahi adalah kebenaran mutlak: tak bisa dikurangi dan
ditambah. Baginya, tawa membuat keimanan tak bulat lagi. Jorge kemudian
berubah wujud menjadi kaum ultra kiri.
Tapi begini. Waktu tak pernah mandeg. Batara Kala telah berkali-kali menelan matahari dan rembulan.
Prestasi PRD pada masa lalu bisa saja dibanggakan. Tak mengherankan
dalam setiap peringatan lahirnya PRD, testimoni dengan puji-puja dan
romantsime ala ABG membludak dari bibir mantan anggota maupun yang masih
anggota PRD. Bahkan tak jarang ada yang melinangkan air mata ketika
masa-masa indah dikenang. Dulu kita—kata ini menjadi idola untuk
mengenang masa kejayaan itu.
Boleh juga takjub. Kader-kader PRD ada yang menjadi anggota dewan,
staf khusus Presiden, jubir menteri, petinggi LSM, jurnalis andal,
ideolog serikat buruh, pembela paling gigih petani tembakau, pimpinan
parpol di daerah-daerah, dan lain sebagainya. Jadi tak perlu
heran—dengan banyaknya lapangan pekerjaan yang bisa direngkuh kader
PRD—muncul adagium: Satukan Yang Sama, Jadikan Perbedaan Sebagai
Kekayaan Kita; persis dengan Bhineka Tunggal Ika di zaman twitter.
Baiklah….
Ramalan PRD dalam Manifesto terbukti benar: Orba runtuh, Timor-Timur
merdeka, dan Dwi Fungsi ABRI dipreteli. Semua orang akan mengakuinya.
Analisa PRD memang jitu. Siapa bisa membantah?
Kini, semua itu telah lewat. Sudah 16 tahun sejak Manifesto dibacakan:
Sekarang Ketua Umum PRD menjadi salah satu pengurus pusat Partai
Gerindra. Semuanya sudah tahu siapa pemilik Gerindra. Tak perlu
disebutkan yang diperbuat Prabowo di masa lalu. Yang masih mempunyai
ingatan waras tentu bisa mencatat apa yang dilakukannya terhadap aktivis
PRD. Lantas apa yang tersisa dari PRD?
Mungkin semua itu bisa dipahami: Ini politik, Bung!
Tapi, bolehkah diajukan tanya: politik macam apa yang sedang dilakoni?
Dalam politik Kiri, bergabung dengan musuh sudah biasa. Bukankah
Stalin bergandengan tangan dengan Sekutu—dedengkot kapitalisme—untuk
menghadang Hitler yang fasis pada Perang Dunia II? Tapi, sekali lagi:
politik macam apa yang sedang dilakoni PRD dengan berpeluk erat dengan
seorang jenderal yang telah menghilangkan kader-kadernya?
Bukankah Mao satu barisan dengan Chiang Kai-Shek menghadang Jepang?
Pun, bukankah Amir Syarifudin menerima uang dari Belanda untuk biaya
gerakan bawah tanah melawan Jepang? Tapi perlu diulangi: politik macam
apa yang sedang dilakoni PRD dengan mendukung jenderal yang telah
membuat ibu kehilangan anaknya, istri menjadi janda, dan anak kehilangan
bapaknya?
Agar tak terlalu linglung, mari kita menengok ke Durna. Politik
merupakan arena perang. Baratayuda contoh perang yang ideal. Segalanya
bisa dilakukan.
Durna tak terkalahkan dalam perang saudara itu. Pandawa
tak berani menghadapi Sang Guru. Kresna tampil menyusun muslihat. Bima
diperintahkan membunuh gajah yang mempunyai nama sama dengan putra
Durna: Aswatana. Pura-pura mensyukuri kematian itu, Pandawa beteriak
girang: ‘Aswatana mati! Aswatana mati!’
Durna setengah percaya setengah tidak mendengar teriakan itu. Ia
berpaling pada Yudhistira. Ia yakin Yudhistira selalu jujur. Digiring
paksa oleh Kresna, Yudhistira dengan berat hati berdusta. Durna lunglai.
Saat seperti itu Drestajumena menebas lehernya. Durna menemui ajal.
Supaya tak murung, anggap saja langkah PRD mendukung Jenderal
Penculik merupakan muslihat Kresna membunuh Durna. Bisa juga langkah
terpaksa Yudhistira demi Sosialisme.
Bukankah tak salah?
Sekarang semuanya tergantung sentuhan. Mendukung Jenderal Penculik
bila diberi sentuhan nasionalisme, bisa berarti satu barisan menghadang
gempuran neoliberalisme. Pun, Jenderal Penculik bila diberi sentuhan
Venezuela bisa berubah menjadi Hugo Chavez, sentuhan Kuba menjelma
Castro atau Che, dan sentuhan a la Cina muksa jadi Mao.
Ada baiknya kita berhenti pada kisah ini saja: PRD telah berubah
menjadi Panji Tengkorak yang sedang menyeret-nyeret peti mati sembari
menggandeng dengan mesra tangan Jenderal Penculik. Dan, dalam peti mati
itu terbaring: Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul dan Bimo Petrus.
Rest In Peace PRD: 22 Juli 2012!
***
Lereng Merapi, 19.07.2012
http://indoprogress.com/2012/07/rip-prd/?utm_campaign=shareaholic&utm_medium=facebook&utm_source=socialnetwork
Tidak ada komentar:
Posting Komentar