|
Mari, untuk kali ini saja, kita mengambil gelagat naif. Dan dengan
perangai lugu ini, kita anggap pertanyaan berikut bukanlah pertanyaan
retoris:
Benarkah “Negara” yang sekarang identik dengan “Negara” yang berkuasa
pada 1966, dan sebab itu menanggung dosa yang sama? Bisakah pendekatan
legal semata-mata berlaku, yang melihat subyek, dalam hal ini “Negara”,
sebagai identitas yang tak berubah?
Pertanyaan tersebut, tentu saja kita tahu, adalah pertanyaan retoris.
Ia dicuatkan oleh Goenawan Mohamad yang secara sinis dan, sayangnya
pula, wagu, mempertanyakan pentingnya wacana permintaan maaf
terhadap korban kekerasan 1965 hari-hari ini. Untuk apa
menghambur-hamburkan energi mendramatisasi penderitaan korban agar bisa
mendapatkan perlakuan istimewa sekaligus menistakan pemerintahan yang
sudah sama sekali berbeda? Bukankah kepala pemerintahan sekarang pada
saat kejadian tragis tersebut berlangsung baru berusia lima tahun?
Tentu saja, GM, penulis yang santun dan subtil, tak mengartikulasikan
pertanyaannya serupa parafrase blak-blakan barusan. Tetapi, saya cukup
yakin, parafrase saya tak terlalu meleset dari apa yang dimaksudkannya
melalui penyampaiannya yang samar. Dan karena GM nampaknya belum terlalu
insaf dengan watak institusi bernama negara, perkenankan saya menjawab
retorikanya yang seharusnya tidak meminta jawaban.
Perkenankan saya menjadi naif—menanggapi pertanyaan tak seriusnya dengan serius.
Dari mana kita mulai menanggapinya?
Pertama, dari celah pada pernyataan GM bahwa negara hari ini tak bisa
disamakan dengan negara di masa silam yang, kendati kontroversial,
disampaikannya tanpa argumentasi, dan hanyamenyebut-nyebut Marx tanpa
berhasil meyakinkan saya apakah gagasan yang disampaikan GM yang memang
dimaksud Marx.
Mari kita sambangi satu fakta. Faktanya, sejak waktu yang sudah
sangat lama sejarah mengenal apa yang disebut dengan insan khayali.
Perusahaan adalah insan khayali. Asosiasi adalah insan khayali. Serikat
adalah insan khayali. Dan, tentu saja, negara adalah insan khayali.
Rujukan saya mengatakan ini bukanlah diskursus-diskursus yang biasa
ditepis enteng para penyalahpaham sebagai spekulasi tanpa dasar empiris.
Rujukan saya adalah diskursus hukum—diskursus yang, mungkin perlu saya
singgung sedikit, diterima sebagai penentu bagaimana setiap lelaku dalam
kehidupan modern kita diatur.
Hukum lumrah membedakan dua subjek yang berbeda—insan alamiah dan
insan yuridis. Insan alamiah adalah saya, Anda, serta setiap individu
yang lahir, hidup, bernapas, makan, dan akan wafat sewajarnya manusia.
Insan yuridis, sementara itu,mencakup wadah yang menaungi sekelompok
orang—entah kita menyebutnya lembaga, institusi, organisasi. Entitas ini
disebut insan bukannya tanpa alasan. Di mata hukum, pasalnya,memang, ia
ditempatkanseakan-akan satu individu yang nyata. Ia dapat dituntut,
dikenai sanksi, diadili, dan memang sejauh ini hanya dengan
memperlakukannya demikian ia dapat menjadi subjek hukum—dapat diatur.
Karenanya, ia lazim juga menyandang sebutan persona ficta. Artinya, sebagaimana yang sudah saya sebutkan, insan khayali.
Kendati semua yang mempunyai nalar sehat bisa dipastikan sadar
entitas ini diimajinasikan, tak ada yang mengatakan hukum positif cuma
mengatur imajinasi kita manakala ia mengatur lembaga-lembaga. Kita,
memang, tak akan bisa menemukan insan khayali secara harfiah berdenyut
dan menapakkan kaki di atas wilayah hukum Indonesia. Paling nyata,
apabila kita berpikir nyata berarti mempunyai jasad yang bisa disentuh,
ia adalah bayangan yang diproyeksikan oleh jejaring yang mengonstitusi
otak kita—sebuah delusi massal. Namun, tak ada yang pernah menyebutnya
sebagai produk delusi massal.
Hukum tak pernah menganggap kristalisasi imajinasi kolektif ini
sebagai sesuatu yang tak serius, bukan? Pemerintah kolonial tak pernah
bermain-main pada saat berurusan dengan perhimpunan-perhimpunan yang
menuntut kemerdekaan. Kita tak pernah membayangkan negara sebagai
sekadar sekumpulan juru cap dokumen berkantor—kendati demikianlah
realitas jasmaniah yang kita cerap sewaktu-waktu kita dijengkelkan
dengan keruwetan-keruwetan tanpa juntrungan birokrasi.
Atau, mari kita sambangi pemikiran almarhum Benedict Anderson
sejenak. Anggota satu bangsa paling kecil sekalipun, ia sempat
menyampaikan, tak akan pernah menjumpai langsung satu persatu
anggotanya. Bangsa ada, artinya, semata karena dibayangkan; semata
karena saya membayangkan orang lain yang seharusnya asing dan sekadar
kebetulan tinggal di gugus kepulauan yang sama dengan citra kemanusiaan
yang sama dengan saya dan, sebaliknya, insan bersangkutan juga
membayangkan hal yang sama.
Tetapi, anasir yang dibayangkan belaka ini membuktikan dirinya lebih
berbahaya dari apa pun yang diciptakan manusia selepas revolusi
industri. Insan khayali ini mungkin untuk mempunyai sentimen, pendirian,
emosi—dan tentu saja kebencian. Satu bangsa dapat dikatakan membenci
bangsa lain dan, persoalannya, betapapun sentimen ini sekadar
diimajinasikan, ia tetap saja menggugah atau memaksa para anggotanya
untuk secara nyata membenci anggota bangsa lain. Ketika jutaan insan
tergugah atau setidaknya dituntut taat dengan sentimen kebencian sang
insan khayali, tragedi paling mengerikan dapat menggedor pintu.
Tragedi 1965 adalah salah satunya.
Satu insan, pada saat itu, dapat membantai saudaranya sendiri dengan
enteng. Satu keluarga harus merelakan sang ayah dibunuh di depan mereka
agar mereka selamat. Warga desa yang memendam kebencian terhadap
tetangganya bisa menghabisi tetangganya tanpa dihukum—cukup tunjuk sang
tetangga komunis. Profesional yang tugasnya menemukan cara membunuh
sebanyak sekaligus seefisien mungkin, seperti Anwar Kongo, bermunculan.
Tragedi merogohkan tangannya menggapai ceruk-ceruk terkecil kehidupan
di Indonesia dan, pertanyaannya, karena apa? Banyak variabel ambil
andil, memang. Tetapi, ia dipastikan tak akan pernah terjadi apabila
negara tak pernah berhasil dikonstruksi sebagai insan khayali yang
secara buta membenci kelompok komunis lantaran pengkhianatannya. Dan
pada saat itu, kita tahu, semua harus mengindahkan amarah insan khayali
ini, tak ada pilihan lain. Pilihan lainnya, kalau ia masih bisa disebut
pilihan, adalah turut menjadi objek amarah negara—dianggap sebagai
simpatisan komunis.
Saya, seperti GM, bisa mengatakan negara tidak stabil. Dan, bukankah
saya sendiri terus-menerus mengatakan ia adalah sesuatu yang
khayali—dikhayalkan? Tetapi, dari apa yang sudah kita lihat, saya jelas
tak bisa sembarangan mengatakan yang khayali tersebut tidak berdampak
nyata. Dan karena GM menggemari nukilan-nukilan cerdas, saya bisa
menukil pernyataan Emile Durkheim dalam bukunya Elementary Forms of Religious Life
untuk membantu meyakinkannya. “Terdapat satu ranah di mana rumus dari
idealisme nyaris berlaku secara harfiah; ia adalah ranah yang sosial. Di
sana, lebih dari di mana pun, gagasan menciptakan realitas.”
Namun, lebih jauh, insan khayali ini tak hanya melebur kesadaran
sekerumun orang dan menjadikannya satu-kesatuan yang absurd sekaligus
menakutkan. Ia merupakan jembatan penyambung sejarah dan mungkin
merupakan teknologi yang paling efektif agar waktu tak tercerai berai
menjadi repihanmomen yang berdiri sendiri-sendiri. Ambil ilustrasi yang
diajukan David Graeber dalam bukunya Debt. Jikalau pada sebuah
masyarakat suku seseorang wajarnya lunas utangnya saat insan yang
memiutanginya meninggal, keberadaan insan khayali seperti negara
menjadikan seorang pengutang apa pun yang terjadi terus tercatat
hutangnya.
Seorang budak, setelah majikannya meninggal sekalipun, akan tetap
menjadi budak di masyarakat. Anaknya, yang bahkan tak pernah mengetahui
mengapa orang tuanya menjadi budak, akan menjadi budak. Warga satu
negara, bahkan pada saat ia baru lahir, akan menanggung utang yang
diambil negaranya pada periode kepemimpinan pejabat tertentu. Satu
peristiwa di masa silam yang jauh sekalipun, artinya, akan terbawa
dampaknya melintasi beberapa generasi. Semua bermula dari lembaga yang
notabene tak stabil dan sekadar dibayangkan: negara.
Dan, bukankah demikian pula yang terjadi dengan kekerasan terhadap
siapa-siapa yang didapuk bertautan dengan komunisme? Pejabat boleh
berganti. Konstelasi politik lokal maupun global boleh mengalami
perombakan. Akan tetapi, tak terlalu sulit untuk melihat bahwa sentimen
ini masih terus direproduksi, dan pelbagai pihak bahkan menikmati
pelanggengannya. Insan khayali negara Indonesia yang menguasai imajinasi
kita, pasalnya, masihsama. Ia masihlah seseorang yang secara konyol
membenci apa-apa yang berkenaan dengan komunisme—bahkan mereka yang
kehidupan normalnya berakhir tanpa pernah tahu-menahu drama politik yang
mendahului peristiwa 1965.
Kalaupun GM tak menyaksikan perlakuan yang diterima para penyintas
tragedi 1965 untuk tahu imajinasi negara dapat menggugah kekerasan tak
peduli siapa pejabatnya, ia seharusnya mendengar pernyataan-pernyataan
Luhut belakangan—catatan pinggirnya sendiri toh merupakan tanggapan
terhadap simposium yang menyediakan sesi untuk Bapak Kemenkopolhukam.
Berita utama dari simposium tempo hari adalah Luhut menolak meminta maaf
terhadap para korban 1965. Dan, yang paling menyakitkan, ia tak yakin
bahwa benar-benar terjadi pembantaian massal di masa silam sebagaimana
yang selama ini banyak diangkat.
Untuk apa di panggung simposium itu Luhutmembela mati-matian negara
dari dusta yang dituduhkan kepadanya dengan argumen kopong? Untuk apa ia
mempertaruhkan harga dirinya apabila negara memang sesuatu yang berubah
sesegera pejabatnya berganti? Luhut, pasalnya, insaf. Negaranya adalah
negara yang tak simpatik terhadap komunisme dan ia adalah pejabatnya,
koordinator bidang politik hukum dan keamanannya, serta mantan petinggi
militernya. Dalam konteks komunitas fiktifnya tersebut, Luhut tak sedang
menjadi seseorang yang tak berperasaan dengan pernyataan-pernyataannya.
Ia tengah menunaikan tugasnya dan, bukan tidak mungkin, berusaha
menampilkan diri sebagai pahlawan untuk mereka.
Tetapi, GM tidak insaf.
Atau, kalau mau gunakan logika GM sendiri, mengapa presiden yang baru
berusia lima tahun pada saat tragedi bergulir dan jelas tak terlibat
apa pun, masih ragu meminta maaf kepada para korban? Kalau permintaan
maaf adalah tindakan yang benar dan Joko Widodo tak mempunyai beban apa
pun untuk melakukannya, mengapa ia tidak melakoninya sesegera mungkin?
Saya kira, mengatakan negara sudah berubah tidaklah semudah itu.
Insan khayali negara Indonesia saat ini masihlah insan yang sama
pembencinya dengan dirinya lima puluh tahun silam. Dan kepentingan para
pejabat, agar dianggap pejabat yang sahih, serta pusparagam pihak yang
membutuhkan musuh-musuh imajiner untuk membumbui kehidupan mereka dengan
drama adalah berlakon tetap sesuai naskahagar citra insan khayali ini
terus lestari—tak peduli ia mengorbankan rasa keadilan, empati terhadap
penderitaan, atau bahkan sekadar akal sehat. Tak peduli ia mengekalkan
kekerasan-kekerasan yang kini sudah tak beralasan dan hanya dapat
dikatakan keji.
Dan inilah mengapa permintaan maaf menjadi sesuatu yang berarti
sekaligus mungkin menjadi tindakan yang radikal. Dengan permintaan maaf,
sosok yang ditabalkan selaku pemimpin negara ini mempunyai peluang
menggeser citra insan khayali Indonesia yang pembenci ini menjadi
seseorang yang lebih masuk akal. Dan, bersamanya, mematahkan norma
kekerasan yang menjadi habitus pada saat bertatapan dengan mereka yang
didefinisikan sebagai liyan sepanjang sejarah Indonesia yang kita
ketahui.
Saya tak tahu apa arti permintaan maaf bagi GM sampai-sampai ia
diartikan sesuatu yang merendahkan derajat kepala negara. Tetapi,
kalaupun ia harus merendahkan simbol negara, penistaan diri simbolis
inilah yang diperlukan untuk mengirimkan pesan kekerasan bukanlah
sesuatu yang mempunyai tempat di tanah air ini. Kekerasan bukanlah cara
untuk menjadi Indonesia.
Ia belum tentu berhasil memang. Kemungkinannya tidak berhasil dan
mencederai kepopuleran kepala negara malah lebih besar. Namun, ia adalah
hal paling berperasaan yang mungkin diambil di antara pilihan-pilihan
lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar