DALAM minggu-minggu ini, perhatian kita tersedot oleh sidang-sidang
di MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan), sebuah Dewan Etik yang menilai
kepatutan berperilaku bagi para anggota DPR. Kali ini yang teradu adalah
ketua DPR Setya Novanto, dan yang mengadu adalah menteri ESDM Sudirman
Said. Menjadi heboh, karena ini melibatkan dua nama tokoh utama ‘mafia’
yang sudah dikenal luas sebagai pengusaha hitam dan menguasai panggung
politik dari balik layar.
Setya Novanto selama ini adalah pengusaha
hitam di Partai Golkar yang kini menduduki jabatan Ketua DPR-RI.
Sementara Mohammad Reza Chalid adalah pengusaha hitam yang terkenal
karena tidak bisa tersentuh hukum, dan cukong di belakang layar dari
Presiden-presiden Indonesia selama ini karena kerajaan Petral-nya.
Drama sesungguhnya dari rekaman berdurasi 127 menit yang diputar di
layar teve dan dilihat oleh seantero rakyat Indonesia, memperlihatkan
busuk dan bejatnya ekonomi politik Indonesia hingga dewasa ini. Seluruh
persengkokolan yang terjadi di tingkatan elit dan aktor-aktor Negara,
seakan-akan nyaris merupakan kerjaan dari seorang tokoh mafia yang
selama ini namanya hanya dikenal dalam bisik-bisik di keremangan, Mr. R.
Rekaman tersebut telah menggambarkan secuplik ‘permufakatan jahat’
(istilah dari Kejaksaan Agung) yang terjadi selama ini, sejak masa Orde
Baru hingga kini. Ini juga sebenarnya menggambarkan contoh yang jelas
dari beroperasinya rezim kapitalis Birokrat di Indonesia sejak era Orde
Baru yang terus menggurita. Dan kasus ini juga menggambarkan terjadinya
kontradiksi yang tidak terdamaikan antara faksi-faksi borjuasi di
Indonesia, yaitu antara borjuis birokrat/rente (diwakili Setya Novanto
dan Moh. Reza Chalid) dengan faksi borjuis komprador (Ma’roef Syamsudin
dan Sudirman Said), dan di tengah-tengahnya adalah borjuis nasional
(diwakili Jokowi). Biasanya, borjuis birokrat dan borjuis komprador
serta borjuis nasional tumpang tindih atau kadang bertukar peran, karena
sejatinya kelas borjuasi Indonesia adalah borjuis lumpen. Dulu semua
bersatu di bawah komando satu diktator besar, Jend. Suharto. Sekarang,
mereka saling berpisah dan menyebar mendirikan kerajaannya
masing-masing, yang menyebabkan terbentuknya faksi-faksi borjuasi yang
lebih jelas.
Kasus #papamintasaham dari Setya Novanto ini telah memperlihatkan
kontradiksi yang tidak dapat disembunyikan lagi dari tiga faksi atau
kelompok besar kelas borjuasi tersebut. Cara produksi sisa-sisa feodal
dalam ekonomi politik Indonesia menyebabkan transisi demokrasi borjuis
di Indonesia sekarang semakin mengerucut kepada kontradiksi tiga kelas
tersebut. Dan ini adalah situasi objektif yang harus terjadi, ketika
Indonesia memilih jalur pembangunan kapitalisme dan integrasinya ke
dalam kapitalisme global dewasa ini. Kapitalisme di Indonesia sudah
merajalela sejak lama, bahkan versi radikalnya yaitu rezim neoliberal
telah mencengkeram rezim penguasa ekonomi politiknya. Indonesia
sepenuhnya ada dalam genggaman kapitalisme global, tetapi kapitalismenya
sendiri adalah kapitalisme primitif, yang masih kuat sisa-sisa
feodalnya. Ini seperti jerat sejarah yang mengikat kaki dan fondasi kaum
borjuasinya, yaitu mereka masihlah seorang borjuasi primitif atau
borjuasi yang mengandalkan usahanya pada kekuasaan politik dalam
mengakumulasi modalnya, baik lewat korupsi, kolusi, nepotisme ataupun
senjata dan kekerasan (premanisme). Kalau istilah ekonom Latin Andre
Gunder Frank (istilah yang saya sukai), adalah borjuasi lumpen (borjuasi
brandalan). Ini adalah borjuasi yang setengah kakinya masih di alam
feodalisme (tuan-tuan tanah hacienda) dan setengah kakinya yang lain di
industri/bisnis kapitalisme. Ini sama dengan borjuasi rente di
Indonesia, yang hampir sebagian besar kakinya masih berkubang di usaha
sektor ekstraktif (pertambangan batubara, migas, bauksit dan lainnya)
atau perkebunan (sawit, karet dan lainnya) karena mereka adalah
pengusaha sekaligus penguasa (istilah populernya adalah penguasaha).
Dan rezim borjuasi rente semacam ini tidak langgeng hidupnya,
tergantung lamanya dia berkuasa. Kalau jaman Orde Baru, mereka mampu
berkuasa lama sekali. Tetapi setelah era reformasi, kebanyakan dari
mereka selalu berganti-ganti tergantung siapa yang berkuasa. Karena itu,
mereka menjadi sangat rakus dan ingin cepat-cepat kaya. Ini berbeda
dengan borjuasi oligarki lama yang sudah mapan, yang mampu melakukan
regenerasi dan reproduksi atas konglomerasi dan kerajaan bisnis mereka
yang semakin terdiferensiasi. Kaum borjuasi birokrat yang baru, yang
merupakan pecahan-pecahan dari kongsi oligarki Orde Baru dan kaki-tangan
mereka, harus berburu dengan waktu karena rezim kekuasaan politik
biasanya berumur pendek. Konsolidasi mereka baru mulai ada di masa rezim
SBY yang relatif agak panjang (10 tahun), sebelum secara tak terduga
digantikan oleh Jokowi, seorang borjuis nasional yang reformis dan bukan
berasal dari kelompok-kelompok oligarki lama.
Apakah Jokowi mewakili kepentingan rakyat banyak, kaum buruh, kaum
tani dan lainnya? Tentu saja tidak. Kelasnya adalah kelas borjuasi,
sehingga pandangan dan kepentingannya juga mewakili kelasnya. Bedanya,
borjuasi nasional mewakili sebuah kepentingan yang tidak melulu mengurus
soal perut dan kekayaan pribadi saja, tetapi juga kepentingan nasional
yang luas. Ini adalah mengenai nasib bangsa dan Negara ke depan dalam
menghadapi persaingan ekonomi dengan Negara-negara lain maupun dalam
kerangka persaingan kapitalisme global. Borjuasi nasional mempunyai
pandangan dan kepentingan nasionalis yang jelas, bukan sekedar pura-pura
nasionalis. Pandangannya adalah survival dari Negara ini di tengah
persaingan global, sementara ekonomi Indonesia masih dalam kondisi
terpuruk dan miskin. Jadi bornas masih memegang nilai-nilai ideal dan
kepentingan-kepentingan yang lebih besar ketimbang kepentingan pribadi.
Karenanya era Jokowi kembali menggunakan idiom-idiom nasionalisme dari
Sukarno, yaitu Trisakti: berdaulat, berdikari dan berkepribadian. Dalam
satu hal, perlu dicatat bahwa populisme nasionalis dari Jokowi ini
bukanlah versi kiri sebagaimana Sukarno, melainkan versi tengah-kanan.
Masih menjadi pertanyaan mengenai kemungkinannya Jokowi menjadi
tengah-kiri atau populis kerakyatan.
Menko Maritim Rizal Ramli mengatakan bahwa kasus Setya Novanto ini
adalah perang antar geng. Dan kalau disimak berbagai pemetaan yang ada,
nampak sekali kontradiksi dan pertentangan antar geng oligarki Orde Baru
sedang terjadi.
Ujiannya adalah Freeport, sebuah perusahaan
emas-tembaga raksasa Amerika Serikat yang sejak awal Orde Baru
terus-menerus menguasai sumber cadangan emas terbesar di dunia yang
berada di Papua (khususnya Grasberg). Baik borjuis birokrat maupun
borjuis komprador berkepentingan untuk mendapatkan remeh-remeh emas
Freeport, sementara kini borjuis nasionalnya mulai mencoba berdaulat
untuk meminta bagian yang lebih besar dari penguasaan Freeport.
Pemerintah RI hingga kini hanya mendapatkan saham 9,3 persen dan
pemerintah Jokowi berusaha meminta bagian yang lebih besar, yaitu
sekitar 30 persen. Tuntutan bagi nasionalisasi Freeport banyak juga
disuarakan orang, yang sifatnya retorik saja, karena sebenarnya hanya
upaya bargaining atas Freeport yang akan habis masa
beroperasinya di tahun 2021. Freeport sendiri berkepentingan untuk
memperpanjang operasinya kembali hingga 2041.
Dapat diduga bahwa Freeport tidak pernah akan bisa disingkirkan dari
Indonesia; demikian pula oleh pemerintahan Jokowi-JK, karena tidak akan
ada yang mau memperjuangkannya dengan kuat. Meskipun sudah banyak suara
keras untuk mengakhiri dominasi Freeport tersebut, terutama dari
kalangan progresif, kerakyatan, nasionalis dan ekologis. Tuntutan
pemerintah nantinya hanya sebatas permintaan gradual atas saham sebesar
30 persen. Hal ini sebenarnya menyalahi hukum dan aturan di Indonesia
sendiri, yang meminta porsi saham bagi usaha-usaha strategis sejenis ini
sebesar 51 persen bagi pihak Indonesia dan sebesar-besarnya 49 persen
bagi penguasaan asing. Akan tetapi Freeport nampaknya akan tetap menjadi
pengecualian. Indonesia masihlah tunduk pada kepentingan Amerika
Serikat, dan kepentingan Amerika atas cadangan emas Freeport sangatlah
besar. Bila pemerintahan Jokowi mampu meminta 51 persen saja, sungguh
sudah merupakan prestasi sejarah. Apalagi bila mampu menggusurnya nanti
di tahun 2021, karena memang tidak sesuai dengan agenda Trisakti dan
Nawa Cita. Saya masih berharap terjadinya kejutan ini.
Lalu bagaimana nasib Setya Novanto dan Mr. R? Kini nampaknya masa
transisi akan menyingkirkan pemain-pemain lama yang dianggap sudah
kadaluarsa atau mengganggu sistem yang lebih besar. Apalagi dengan
sorotan publik yang luar biasa, yang merupakan sebuah drama yang
kelihatannya disetting dengan baik.
Akan terjadi pergeseran ke arah
kompradorisme yang lebih kuat. Senyatanya kalangan komprador tidak suka
dengan borjuis birokrat, yang sifatnya parasit dan primitif. Mereka
lebih suka sebuah kapitalisme liberal yang menempatkan ukuran-ukuran
manajemen modern sebagai acuan, bukan kerajaan-kerajaan bisnis ala
feodal yang tak terbatas, sebagaimana Mr. R. Untuk itu borjuis komprador
lebih senang berkolaborasi dengan borjuis nasional, karena mereka
menggunakan ukuran-ukuran yang sama, yaitu good-governance dan rule of law. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar