November 21, 2015
SRI LESTARI WAHYUNINGROEM·THURSDAY, NOVEMBER 19, 2015
Selama IPT 65 berlangsung 10-13 November yang lalu, saya yakin banyak
orang-orang yang bertanya-tanya, apa di balik tirai hitam di belakang
kanan meja para hakim? Di situ, di balik tirai hitam itu, beberapa saksi
menyampaikan ceritanya.
Misterius, tanpa wajah dan memakai nama
samaran. Ada apa di balik tirai hitam?
Di balik tirai hitam ada kekuatan.
Mereka duduk menunggu dan menyaksikan seluruh proses tribunal dari
sebuah layar televisi dengan sabar hingga tiba giliran masing-masing
untuk berkata-kata di depan pengeras suara. Duduk sejak setengah jam
sebelum acara dimulai jam 9 pagi persis setiap harinya hingga jam 5
sore, menikmati teh kopi serta makan siang di tempat yang sama,
merebahkan dirinya di deretan kursi panjang untuk sekedar beristirahat,
datang dan pulang lewat pintu belakang khusus, serta menggunakan toilet
khusus buat mereka yang bebas antrian, membuat mereka terkesan ekslusif
dan teralienasi. Tapi tidak, mereka merasa menyatu dengan audiens, dan
merasa menjadi bagian dari sejarah yang dibuat di sebuah ruang besar di
Niew Kerk. Mereka kuat menunggu, menjalani, dan mengikuti seluruh
proses. Kekuatan mereka tidak luntur oleh usia, yang rata-rata sudah di
atas 60 tahun, bahkan di atas 80 tahun.
Kekuatan mereka bukan saja
tertempa karena pengalaman fisik dan mental yang tertempa dari kejahatan
atas tubuh dan memori mereka, tetapi juga kekuatan itu berasal dari
sebuah harapan akan keadilan dan pengakuan atas apa yang mereka alami.
Kekuatan itu juga berasal dari keinginan mereka untuk mengembalikan
martabat dan memulihkan rasa sakit selama setengah abad.
Di balik tirai hitam ada cinta.
Cinta membuat mereka kuat. Kecintaan kepada keluarga membuat mereka
yakin pilihan untuk bersaksi di balik tirai tidak saja mengembalikan
harkat martabat keluarga tapi juga memberi rasa aman dan kepercayaan
keluarga atas pilihan mereka. Pun dengan sahabat dan komunitas mereka,
terutama para korban yang di hari-hari itu tidak bisa ikut memberi
kesaksian. Kecintaan terhadap Indonesiapun membuat mereka kuat memilih
dan mengikuti semua proses tribunal dengan sepenuh hati. Kecintaan yang
aneh buat saya, karena kecintaan mereka terhadap Indonesia membuat
mereka berjuang untuk negara dan kemudian malah dipenjara karenanya.
Kecintaan yang masih membara meskipun mereka disiksa, diperkosa
hak-haknya, dipinggirkan, dan distigma sebagai setan dan penghianat
selama bertahun-tahun oleh masyarakat dan pemerintahnya sendiri.
Kecintaan ini malah semakin besar, karena negara tak kunjung bisa adil
dan bijaksana. Hadir di tribunal ini bagi mereka, adalah cara untuk
meyakinkan negara untuk juga mencintai mereka dan jutaan warganya di
tanah air.
Di balik tirai hitam ada emosi yang pekat.
Marah, bahagia, terharu, sedih, lega. Semua jadi satu dalam ruang lebar
sekitar 4×6 meter persegi itu. Kemarahan muncul ketika mereka harus
mengingat dan diingatkan tentang si A, B, C dari institusi X,Y,Z yang
membuat luka-luka di tubuh dan ingatan mereka, menghilangkan
keluarga-keluarga yang mereka sayangi, atau merampas hak mereka sebagai
warga yang merdeka. Sedih mengikuti kemarahan itu, sedih mengingat
betapa mereka merasa diperlakukan seperti barang rongsokan, sampah,
virus penyakit, dan tahun-tahun yang tersia-sia dalam ketidak adilan.
Mereka semua gemetar karena amarah pada saat bersaksi. Dua saksi malah
harus beberapa kali menghentikan tuturannya dan nyaris rubuh karena
amarah dan kesedihan. Sedih mengingat nasib keluarga dan kawan yang
hilang hingga hari ini, dan sedih memikirkan kesedihan orang lain yang
bersedih atas kekejaman ini. Meski marah dan sedih, tapi mereka sama
sekali tidak takut. Ketika saya tanya kepada salah satu saksi,
“takutkah, tegangkah?”, jawabnya: “ini tidak ada artinya dibandingkan
ketakutan dan ketegangan sewaktu pemeriksaan dulu, Dik”. Saya bungkam
membayangkan teror yang mereka alami dulu, Uncomparable!
Tapi ketika
mereka selesai berkata-kata, yang ada adalah lega yang luar biasa. Lega
karena mereka mendapatkan tempat terhormat di depan warga dunia untuk
menyatakan ketidak adilan yang dialami dan kebenaran yang selama ini
dibungkam di negeri sendiri. Dan haru yang menyeruak, membuat mereka
menangis. Menatap puluhan relawan yang membantu mereka memberi kesaksian
tanpa bayaran sedikitpun, ketulusan dan kebersamaan yang ditunjukkan
para kru IPT 65, para mahasiswa yang spontan ikut membantu menyiapkan
terjemahan barang-barang bukti untuk para hakim, semua membuat mereka
terharu dan bahagia. “Sejarah sudah dibuat, Dik, dan kalian lah yang
memberi kami jalan untuk juga ikut dalam sebuah kesejarahan yang
membebaskan”, kata salah satunya.
Tapi, di balik tirai hitam tidak ada kemerdekaan.
Tirai hitam adalah sebuah penanda, bahwa kemerdekaan belum jadi milik
mereka. Mereka masih harus bersembunyi, meski Indonesia katanya memiliki
demokrasi. Mereka hadir, ada, berwujud, tapi masih harus tersamar.
Tidak, bukan karena mereka yang takut, tapi karena banyak orang dan
kelompok di Indonesia yang ketakutan pada mereka, ketakutan pada
kebenaran, ketakutan pada sejarah kelam bangsa ini.
Den Haag, 18 November 2015.
Catatan ini saya dedikasikan kepada para saksi yang menginspirasi setiap
jiwa yang menyaksikan IPT65: Kingkin Rahayu, Ngesti, Intan Permatasari,
Soerono, Aminah, Basuki, Martin Aleida Astaman Hasibuan Bedjo Untung,
Yusuf Pakasi, Martono, para saksi ahli, para hakim dan prosecutors, para
kru setempat termasuk Nursyahbani Katjasungkana, Aboeprijadi Santoso,
Lea Pamungkas, Reza Muharam, Sri Tunruang, Ratna Saptari, Joss Wibisono,
Basilisa Dengen dkk, tim Indonesia, serta semua orang berhati jernih
yang terlibat, membantu, dan mendukung IPT65. Terima kasih…
http://1965tribunal.org/id/di-balik-tirai-hitam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar