September 19, 2015
Prof. Wertheim
SEJARAH TAHUN 1965: versi Prof. Dr. W.F. Wertheim
7 September 2013 pukul 15:22
bacaan untuk Robert Lemelsen
sutradara film “40 years of silence”
Para hadirin yang terhormat!
Sebelumnya saya minta ijin untuk mencoba memberi analisa tentang
peristiwa 1965, lebih dahulu menceritakan bagaimana terjadinya bahwa
saya, walaupun mata pelajaran saya sosiologi, lama-kelamaan mulai merasa
sebagai pembaca suatu detective story yang mencari pemecahan suatu
teka-teki.
Pada tahun 1957 saya bersama isteri saya mengajar sebagai guru besar
tamu di Bogor. saya pernah bertemu dengan ketua PKI Aidit dan beberapa
tokoh lain dalam pimpinan partai. Aidit menceritakan tentang
kunjungannya ke RRC, saat itu; dari orang lain saya dengar bahwa Mao
Zedong bertanya pada Aidit:
“Kapan kamu akan mundur ke daerah pedesaan?”
Ucapan itu saya masih ingat waktu pada tahun 1964 ketika saya menerima
kunjungan tokoh terkemuka lain dari PKI, Njoto di Amsterdam, yang pada
waktu itu ada di Eropa untuk menghadiri suatu konperensi di Helsinki.
Saya mengingatkannya bahwa keadaan di Indonesia pada saat itu mirip pada
saat keadaan di Tiongkok pada tahun 1927, sebelum kup Ciang Kaisyek.
Pendapat saya ialah ada bahaya besar, bahwa militer di Indonesia juga
akan merebut kekuasaan. Saya anjurkan dengan keras supaya golongan kiri
di Indonesia mempersiapkan diri untuk perlawanan di bawah tanah, dan
mundur ke pedesaan. Jawaban Njoto ialah: saat bagi militer untuk dapat
rebut kekuasaan sudah terlambat. PKI telah terlalu kuat baik dalam badan
perwira maupun dalam badan bawahan tentara dan angkatan militer yang
lain. Saya tidak berhasil meyakinkan Njoto.
Pagi 1 Oktober ’65 kami dengar melalui siaran radio tentang formasi
Dewan Revolusi di Jakarta. Sahabat saya, Prof. De Haas menelpon saya dan
menyatakan: “Itu tentu revolusi kiri!” Saya menjawab: “Awas, menurut
saya lebih masuk akal: provokasi!”.
Pada tanggal 12 Oktober kami dengar bahwa Jendral Soeharto, yang
belum kenal kami namanya, telah berhasil merebut kekuasaan. De Haas
telepon saya lagi, dan mengatakan: “Saya takut mungkin kemarin Anda
benar!”
Seminggu sesudahnya saya mendapat kunjungan dari kepala
sementara kedutaan RRC di Den Haag. Ia rupanya memandang saya sebagai
ahli politik tentang Indonesia, dan ia hendak mengetahui: “bagaimana
situasi politik di Indonesia yang sebenarnya sekarang” Jawaban saya
ialah: “Tentu Anda sebagai orang RRC dapat mengerti keadaan! Sangat
mirip kepada yang terjadi di Tiongkok pada tahun 1927 waktu Ciang
Kaisyek melakukan kup kanan dengan tentaranya, dan komunis kalah di
Syanghai, dan lantas di Hankau (Wuhan) dan di Canton (Guangzhou)” .
Ia tidak setuju. Di bulan Januari tahun 1966 saya menerima dari beberapa
rekan yang saya kenal, yang mengajar di Cornell University di A.S.,
suatu ‘Laporan Sementara’ tentang peristiwa September-Oktober di
Indonesia. Mereka sangat menyangsikan apakah peristiwa itu benar suatu
kup komunis, seperti dikatakan oleh penguasa di Indonesia dan oleh dunia
Barat.
Yang menerima laporan itu boleh memakai bahannya (begitu yang mereka
tulis kepada saya), tetapi untuk sementara tidak menyebut sumbernya,
karena mereka masih mencari bahan tambahan, dan meminta masukan dan
informasi lagi. Dengan mempergunakan bahan dari laporan Cornell itu,
saya menulis suatu karangan yang dimuat dalam mingguan Belanda “De
Groene Amsterdammer” pada tanggal 19 Februari 1966, dengan judul
“Indonesia berhaluan kanan”. Dalam karangan itu saya bertanya: mengapa
di dunia Barat sedikit saja perhatian terhadap pembunuhan massal di
Indonesia, kalau dibanding dengan tragedi lain di dunia, yang
kadang-kadang jauh lebih enteng daripada yang terjadi di Indonesia
baru-baru ini? Barangkali alasannya, bahwa pandangan umum seolah-olah
golongan kiri sendirilah yang bersalah. bukankah mereka sendiri yang
mengorganisir kup 30 September dan yang bersalah dalam pembunuhan enam
orang jendral itu?
Maka dalam karangan itu saya mencoba memberi rekonstruksi
peristiwa-peristiwa dan menarik kesimpulan, sedikit sekali bukti tentang
golongan PKI bersalah dalam peristiwa itu. Saya juga menambahkan,
tindakan menculik dan membunuhi jenderal tidak berguna untuk PKI, jadi
tidak masuk akal jika mereka terlibat. lagipula hampir tidak ada
persiapan dari golongan kiri untuk menghadapi situasi yang akan muncul
sesudah kup. Dalam karangan itu saya juga menyebut kemiripan kepada
peristiwa di Shanghai pada tahun 1927, yang juga sebenarnya ada kup dari
golongan reaksioner. Kesimpulan saya dalam karangan di “Groene
Amsterdammer” itu: “Terminologi resmi di Indonesia adalah masih kiri,
akan tetapi jurusannya adalah kanan”.
Kemudian, pada bulan Februari tahun ’67, Mingguan Perancis “Le Monde”
mengumumkan hasil wawancara dengan saya. Dalam wawancara itu saya
bertanya: “Mengapa Pono dan Sjam, yang rupanya tokoh penting dalam
peristiwa 65 itu, tidak diadili? Dikatakan dalam proses yang telah
diadakan, misalnya proses terhadap Obrus Untung, yang ternyata mereka
itu orang komunis yang terkemuka. Apa yang terjadi dengan mereka,
khususnya dengan Sjam, yang agaknya seorang provokator, yang memakai
nama palsu?, sangat mencolok bahwa beberapa minggu sesudah wawancara itu
ada berita dari Indonesia bahwa Sjam, nama sebenarnya adalah
Kamaruzzaman, ditangkap. Saya dengar kabar itu di radio Belanda, pagi
jam 7.00. Dikatakan bahwa Sjam itu sebagai seorang double agent! Saya
ingin dengar lagi siaran jam 8.oo, diulangi bahwa Sjam ditangkap, tetapi
kali ini tidak ditambahkan bahwa ia double agent! Rupanya dari kedutaan
Indonesia ada pesan supaya istilah itu jangan dipakai! Tetapi yang saya
dapat dari Sinar Harapan 13 Maret ’67, di sana ada cerita tentang cara
Sjam itu ditangkap. Dan judul berita itu: “Apakah Sjam double agent?”
Tetapi sesudah itu di pers Indonesia istilah double agent itu tidak
pernah diulangi lagi. Dalam semua proses di mana Sjam muncul sebagai
saksi atau terdakwa, Sjam selamanya dilukiskan sebagai seorang komunis
yang sejati, yang dekat sekali dengan ketua Aidit. Ia selalu mengaku
bahwa dia yang memberi semua perintah dalam peristiwa 1 Oktober, tetapi
ia selalu menambahkan bahwa yang sebenarnya memberi perintah itu Aidit
yang juga ada pada hari itu di Halim, dan yang menurut Sjam dalang
sebenarnya di belakang segala yang terjadi. Tentu Aidit tidak dapat
membela diri dan membantah segala kebohongan dari Sjam, karena ia
dibunuh dalam bulan November 1965 tanpa suatu proses, ditembak mati oleh
Kolonel Jasir Hadibroto. Begitu juga pemimpin PKI lain, seperti Njoto
dan Lukman, tidak dapat membela diri di pengadilan. Tentulah segala
eksekusi tanpa proses itu membantu Orde Baru dalam menyembunyikan
kebenaran. Sudisman diadili, tetapi dalam pembelaannya tidak mendapat
kemungkinan untuk mengajukan hal-hal yang melepaskan PKI dari sejumlah
tuduhan: ia dipaksa untuk mencoret bagian tentang hal itu dari
pleidoinya! Waktu Sjam kedapatan sebagai double agent yang sebagai
militer masuk ke dalam PKI untuk mengintai, saya mulai menduga pula
bahwa Soeharto sendiri mungkin terlibat dalam permainan-munafik.
Pada tanggal 8 April 1967 di mingguan “De Nieuwe Linie” dimuat lagi
wawancara dengan saya. Dalam wawancara ini saya menyebut kemungkinan
bahwa “coup” dari 1 Oktober 1965 adalah satu provokasi dari kalangan
perwira; dan waktu itu saya telah menambahkan bahwa Soehartolah yang
paling memanfaatkan kejadian-kejadian. Saya mengatakan begini: “Aneh
sekali! Kalau semua itu akan terjadi di suatu cerita detektif, segala
tanda akan menuju kepada dia, Soeharto, paling tidak sebagai orang yang
sebelumnya telah punya informasi. Misalnya setahun sebelum peristiwa 65,
Soeharto turut menghadiri pernikahan Obrus Untung yang diadakan di
Kebumen. Untung dahulu menjadi orang bawahan Soeharto di tentara.
kemudian, dalam bulan Agustus tahun 65, Soeharto juga bertemu dengan
Jenderal Supardjo, di Kalimantan. Dan mereka, Untung dan Supardjo, telah
memainkan peranan yang utama dalam komplotan. Lebih aneh lagi, bahwa
Soeharto tidak ditangkap dalam kup, dan malahan KOSTRAD tidak diduduki
dan dijaga pasukan yang memberontak, walaupun letaknya di Medan Merdeka
di mana banyak gedung diduduki atau dijaga. Semua militer mengetahui
bahwa kalau Yani tidak di Jakarta atau sakit, Soehartolah sebagai
jenderal senior yang menggantikannya. Aneh juga bahwa Soeharto bertindak
secara sangat efisien untuk menindas pemberontakan, sedangkan grup
Untung dan kawannya semua bingung. Wawancara itu saya akhiri dengan
mengatakan:
“Tetapi sejarahpun lebih ruwet dan sukar daripada
detective-story” . Begitulah pendapat saya di tahun 1967.
Tetapi pada tahun 1970 terbit buku Arnold Brackman, jurnalis A.S.
yang sangat reaksioner; judulnya “The Communist Collapse in Indonesia”.
Di halaman 100 Brackman menceritakan isi suatu wawancara dengan
Soeharto, agaknya pada tahun 1968 atau 1969, tentang suatu pertemuan
Soeharto dengan Kolonel Latief, tokoh ketiga dari pimpinan kup tahun 65.
Isinya: “Dua hari sebelum 30 September anak lelaki kami, yang umurnya 3
tahun, mendapat kecelakaan di rumah. Ia ketumpahan sup panas, dan kami
dengan buru-buru mengantarkannya ke rumah sakit. Banyak teman menjenguk
anak saya di sana pada malam 30 September, dan saya juga berada di rumah
sakit. Lucu juga kalau diingat kembali. Saya ingat Kolonel Latief
datang ke rumah sakit malam itu untuk menanyakan kesehatan anak saya.
Saya terharu atas keprihatinannya. Ternyata kemudian Latief adalah orang
penting dalam kejadian sesudahnya. Kini menjadi jelas bagi saya malam
itu Latief ke rumah sakit bukan untuk menjenguk anak saya, melainkan
sebenarnya untuk mengecek saya. Ia ingin tahu seberapa parah kondisi
anak saya dan ia dapat memastikan bahwa saya akan terlampau
prihatin/sibuk dengan keadaan anak saya. Saya tetap di rumah sakit
sampai menjelang tengah malam dan kemudian pulang ke rumah”.
Begitulah kutipan dari buku Brackman tentang wawancaranya dengan
Soeharto. Bagi saya pengakuan dari Soeharto ini, bahwa ia bertemu dengan
Kolonel Latief kira-kira empat jam sebelum aksi terhadap tujuh jenderal
mulai, sungguh merupakan ‘rantai yang hilang’ — the missing link dalam
detective story. Hal ini dengan jelas membuktikan hubungan Soeharto
dengan tokoh utama dalam peristiwa tahun 1965.
Tentu Latief, yang pergi ke R.S. Gatot Subroto, yaitu Rumah Sakit
Militer, tiga atau empat jam sebelum serangan terhadap rumah-rumah tujuh
jenderal mulai, maksudnya untuk menceritakan pada Soeharto tentang
rencana mereka. tetapi sukar membuktikan itu selama Soeharto berkuasa,
dan Latief dalam situasi orang tahanan. Satu hal yang kurang jelas,
mengapa Soeharto menceritakan pada Brackman tentang pertemuan ini?
Agaknya ada orang yang memperhatikan kedatangan Latief ke rumah sakit.
Oleh karena itu Soeharto merasa perlu memberi alasan kunjungan itu,
bahwa: Latief mau memeriksa, apakah Soeharto begitu sibuk/prihatin oleh
karena keadaan, sehingga ia tak mungkin bertindak pada esok harinya!
Pengakuan Soeharto itu membuat saya mendapat kesempatan untuk
mengumumkan karangan di mingguan “Vrij Nederland” pada tanggal 29
Agustus 1970, dengan judul “De schakel die ontbrak: Wat deed Soeharto in
de nacht van de staatsgreep? ” (Rantai yang hilang: apa yang diperbuat
Soeharto pada malam kup?). Dalam karangan itu saya menguraikan segala
petunjuk bahwa Soeharto benar terlibat di dalam peristiwa tahun 65.
Karangan ini dimuat satu hari sebelum Soeharto datang ke Belanda untuk
kunjungan resmi — kunjungan yang gagal sama sekali. Karangan yang serupa
itu juga saya umumkan dalam bahasa Inggris di majalah ilmiah “Journal
of Contemporary Asia” tahun 1979, dengan judul: “Soeharto and the Untung
Coup: The Missing Link”.
Waktu saya mengumumkan dua karangan itu, saya belum mengetahui bahwa
dalam wawancara lain, sebelum bulan Agustus 1970 itu, Soeharto sekali
lagi menyebut pertemuannya dengan Kolonel Latief itu — tetapi kali ini
dengan nada yang sangat berlainan. Wawancara itu dimuat dalam mingguan
Jerman Barat, “Der Spiegel”, tanggal 27 Juni, halaman 98. Wartawan
Jerman itu bertanya: “Mengapa tuan Soeharto tidak termasuk daftar
jenderal-jenderal yang harus dibunuh?” Jawaban Soeharto yaitu: “Pada jam
11.00 malam Kolonel Latief, seorang dari komplotan kup itu, datang ke
rumah sakit untuk membunuh saya, tetapi nampak akhirnya ia tidak
melaksanakan rencananya karena tidak berani melakukannya di tempat
umum.”
Masa, heran seolah-olah Kolonel Latief ada rencana untuk membunuh
Soeharto, 4 jam sebelum aksi terhadap tujuh jenderal yang lain akan di
mulai, yang tentu berakibat seluruh komplotan akan gagal! Kebohongan
Soeharto itu suatu bukti lagi bahwa Soeharto mau menyembunyikan sesuatu,
dan cari akal untuk luput dari persangkaan ia terlibat dalam kup!
Sedangkan tokoh lain dari komplotan, Obrus Untung, Jenderal Supardjo dan
Mayor Sudjono sudah lama mendapat hukuman mati dan dieksekusi, Kolonel
Latief selama lebih dari 10 tahun tidak diadili. Alasan yang disebut
oleh pemerintah, yaitu bahwa ia ‘sakit-sakitan’ dan tidak dapat
menghadiri sidang pengadilan. Memang benar bahwa ia kena luka berat di
kaki waktu tertangkap; tetapi kawannya di penjara mengatakan, bahwa ia
sudah lama dapat menghadap di sidang sebagai saksi atau terdakwa.
Akhirnya, pada tahun 1978 sidang dalam perkara Latief mulai. Dalam
eksepsinya dari tanggal 5 Mei 1978, Latief telah memberi keterangan,
bahwa ia bersama keluarganya berkunjung di rumah Soeharto dengan
dihadiri Ibu Tien, dua hari sebelum tanggal 30 September; ia juga
menceritakan bahwa ia mengunjungi Soeharto pada malam 30 September di
Rumah Sakit Militer. Ia menerangkan bahwa ia, Obrus Untung dan Jenderal
Supardjo, yang baru pulang dari Kalimantan, bertiga pimpinan militer
dari aksi keesokan harinya, berkumpul di rumahnya pada jam 8.00 untuk
berunding. Mereka memutuskan malam itu juga menemui Soeharto, untuk
memperoleh dukungannya dalam rencana. Latief mengusulkan supaya mereka
bertiga menghadap Soeharto, tetapi Untung tidak berani, dan mereka
akhirnya mengutus Latief oleh karena ia yang paling dekat dengan
Soeharto. Untung dan Supardjo masih punya urusan lain yang penting.
Latief telah menjadi bawahan Soeharto dari ketika Jogya diduduki
Belanda, tahun 1949. Malahan, menurut keterangan Latief dalam
eksepsinya, waktu serangan ke Jogya pada tanggal 1 Maret 1949, Jogya
diduduki pasukan Republik selama 6 jam, bukan Soeharto yang sebenarnya
masuk Jogya melainkan Latief sendiri! Waktu Latief pulang ke komandonya
di pegunungan bersama grupnya, Soeharto bersama ajudannya sedang makan
soto! Pada waktu komando Mandala yang dibawah komando Soeharto, Latief
menjadi kepala intelijen dari Komando di Makasar.
Dalam eksepsinya Latief dengan terang menjelaskan, bahwa waktu ia
bertemu dengan Soeharto di rumah sakit, ia menceritakan padanya seluruh
rencana untuk malam itu. Ia minta pengadilan supaya Soeharto dan
istrinya akan dipanggil sebagai saksi. Putusan pengadilan: tidak, karena
kesaksiannya tak akan ‘relevan’. Dalam pledoinya yang tertulis Latief
mengulangi lebih jelas lagi tentang pembicaraannya di rumah sakit. Dia
menerangkan: “Setelah saya lapor kepada Jenderal Soeharto mengenai Dewan
Jenderal dan lapor pula mengenai Gerakan, Jenderal Soeharto
menyetujuinya, dan tidak pernah mengeluarkan perintah melarang” (hal.
128). Pledoi dan eksepsi Latief kami punya seluruhnya dalam bahasa
Indonesia. Dalam pers Indonesia segala keterangannya tentang pertemuan
dengan Soeharto itu sama sekali tidak diumumkan dan tidak diperhatikan.
Mengapa begitu? Bagi saya dari awal jelas, bahwa keterangan yang lebih
sempurna lagi disimpan di suatu tempat diluar Indonesia, dengan pesan
supaya langsung diumumkan kalau Latief akan dibunuh! Soeharto agaknya
takut kalau kebenaran tentang pertemuan dengan Latief akan diumumkan!
Dalam otobiografinya ia bohong sekali lagi: ia menceritakan bahwa ia
bukan bertemu dengan Latief di rumah sakit, melainkan hanya lihat dari
ruangan di mana anaknya dirawat dan di mana ia berjaga bersama Ibu Tien,
bahwa Latief jalan di koridor melalui kamar itu!
Siapa yang sudi
percaya? Juga aneh sekali bahwa Soeharto, menurut keterangannya sendiri,
jam 12 malam waktu keluar dari rumah sakit, bukan langsung mencoba
memberikan tanda untuk waspada kepada jenderal-jenderal kawannya yang
dalam tempo tiga atau empat jam kemudian akan ditimpa nasib malang,
melainkan terus pulang ke rumah untuk tidur! Hal yang menarik yaitu,
bahwa Kolonel Latief beberapa waktu silam telah meminta pada Soeharto
supaya hukumannya dikurangi.
Dalam Far Eastern Economic Review dari 2 Agustus tahun ini (1990)
diberitahukan, bahwa memoirenya disimpan di satu bank — entah di mana.
Jadi, telah agak pasti, bahwa Soeharto terlibat dalam peristiwa 65
dengan berat. Menurut pasal 4 dari Keputusan Kepala Kopkamtib bertanggal
18 Oktober tahun 1968, dalam Golongan A yang paling berat termasuk
semua orang yang terlibat dengan langsung, di antaranya dalam grup itu,
juga semua orang yang mempunyai pengetahuan lebih dahulu terhadap
rencana kup dan yang lalai dalam melapor kepada yang berwenang. Jadi,
Soeharto pada malam itu seharusnya mesti melapor paling tidak kepada
Jenderal Yani! Dan tentu juga kepada Jenderal Nasution. Artinya, bahwa
Soeharto jauh lebih jelas terlibat dalam peristiwa 1 Oktober ’65
daripada semua korbannya, yang selama 10 tahun atau 14 tahun ditahan di
penjara atau di kamp konsentrasi seperti di pulau Buru, dengan alasan
bahwa mereka terlibat ‘tidak langsung’ dalam peristiwa G30S!
Jadi, sekarang telah jelas, bahwa Soeharto terlibat oleh karena
mempunyai informasi lebih dahulu. Lebih sukar membuktikan, bahwa ia juga
aktip dalam suatu provokasi. Soeharto tentu bukan satu-satunya orang
yang punya informasi lebih dahulu. Terang, bahwa Kamaruzzaman (Sjam)
memainkan peran penting sekali dalam provokasi. Ia militer, agaknya
dalam Kodam V Jakarta. Tetapi siapa atasannya yang mendorongnya untuk
mempersiapkan kup bersama tiga perwira tinggi itu, dengan maksud untuk
mengkonfrontir baik PKI maupun Soekarno? Sekarang saya akan coba memberi
analisa yang sedikit mendalam. Memang ada orang lain yang punya
pengetahuan lebih dahulu.
Barangkali Soekarno sendiri punya sedikit
pengetahuan lebih dahulu.
Tetapi tentu ia tidak ingin pembunuhan jenderal yang dituduh
membangun Dewan Jenderal. Barangkali maksudnya hanya untuk menuntut
pertanggung-jawaban mereka. Setelah ia dengar, bahwa ada beberapa
jenderal yang mati, ia memberi perintah supaya seluruh aksi itu
berhenti. Mungkin juga, bahwa tiga perwira tinggi itu, Untung, Latief
dan Supardjo, bukan menghendaki pembunuhan, melainkan hanya menuntut
pertanggungjawaban mereka. Juga tidak jelas mengapa Aidit, ketua PKI,
dijemput dari rumahnya pada malam itu dan diantarkan ke Halim. Rupanya
pada saat itu ia punya kepercayaan kepada Sjam. Tetapi kami sama sekali
tidak tahu peranan Aidit sesudah ia disembunyikan di rumah seorang
bintara di Halim; menurut segala kesaksian ia tidak muncul dalam
perundingan-perundingan dan pertemuan-pertemuan , lagi pula tidak
bertemu dengan Presiden Soekarno yang juga dibawa ke Halim.
Oleh karena
ia dibunuh tanpa proses, kami tidak punya keterangan dari dia sendiri —
kami hanya punya keterangan dari Sjam yang berbohong, seolah-olah semua
yang ia perbuat terjadi atas perintah Aidit.
Misalnya dalam proses Latief di tahun 1978 Sjam ‘mengaku’, bahwa bukan
Latief melainkan dia yang memberi perintah untuk membunuh
jenderal-jenderal yang masih hidup waktu dibawa ke Lubang Buaya, tetapi
ia tambahkan seolah-olah pembunuhan itu juga atas perintah Aidit. Jadi
seluruh perbuatan Sjam dimaksud untuk memburukkan nama PKI. Dan suatu
alasan mengapa Latief tidak dapat hukuman mati, ialah oleh karena ia
mungkir bahwa dia yang perintahkan membunuhi jenderal, dan Sjam dalam
proses itu mengakui bahwa ia sendiri yang memerintahkannya. Tetapi
segala ‘jasanya’ kepada grup Soeharto tidak berguna untuk dia pribadi:
beberapa tahun silam ia dieksekusi bersama pembantunya Pono dan Bono.
Agak jelas bahwa pada malam 30 September, dua-duanya, Soekarno dan
Aidit yakin bahwa Dewan Jenderal sebenarnya ada, dan bahwa Dewan itu
berencana untuk merebut kekuasaan pada tanggal 5 Oktober 1965. Begitu
juga grup Untung, Latief dan Supardjo memang yakin bahwa Dewan Jenderal
itu memang ada. Dalam prosesnya pada tahun 1967 Sudisman turut
menjelaskan, bahwa ia masih yakin tentang eksistensi Dewan Jenderal itu
dan rencana mereka.
Soeharto Dalang G30S ? Pada tahun 1970 saya juga masih berpendapat
bahwa Dewan Jenderal itu benar ada. Begitu juga pendapat PKI, misalnya
dalam otokritik mereka. Tetapi lama kelamaan saya mulai sangsikan,
apakah dewan itu benar ada dan aktif pada tahun 1965. Sudah tentu, kalau
peristiwa 65 memang suatu provokasi, bagaimana mungkin apa yang
dinamakan Dewan Jenderal itu menjadi dalangnya: terlalu aneh kalau orang
mengorbankan diri sendiri dengan tujuan politik! Apalagi telah ada
cukup tanda, bahwa Jenderal Yani agak taat kepada Soekarno.
Pikiran saya berubah sewaktu saya baca sekali lagi keterangan bekas
Mayor Rudhito dalam proses Untung. Ia memberi suatu keterangan tentang
suatu pita (tape recorder) yang ia dengar, dan catatan tentang isinya
yang ia terima pada tanggal 26 September 1965 di muka gedung Front
Nasional tentang Dewan Jenderal. Ia menerima bukti itu dari empat orang,
yaitu: Muchlis Bratanata, dan Nawawi Nasution, dua-duanya dari N.U. dan
Sumantri Singamenggala dan Agus Herman Simatoepang, dua-duanya dari
IPKI. Mereka itu mengajak Rudhito untuk membantu pelaksanaan rencana
Dewan Jenderal.
Di tape itu dapat didengar pembicaraan dalam suatu
pertemuan yang diadakan pada tanggal 21 September di gedung Akademi
Hukum Militer di Jakarta. Rudhito ingat bahwa ia mendengar suara dari
Jenderal Mayor S. Parman, satu dari 6 jenderal yang lantas dibunuh pada
tanggal 1 Oktober pagi. Parman menyebut, menurut pita dan catatan yang
Rudhito dengar dan baca, suatu daftar orang yang harus diangkat sebagai
menteri: di antara mereka juga sejumlah jenderal yang kemudian diserang
dan diculik pada tanggal 1 Oktober. Nasution disebut sebagai calon
perdana menteri; Suprapto akan menjadi menteri dalam negeri, Yani
diusulkan sebagai menteri hankam, Harjono menteri luar negeri, Sutojo
menteri kehakiman dan Parman sendiri akan menjadi jaksa agung. Ada juga
nama lain yang disebut, di antaranya Jenderal Sukendro.
Rupanya tape itu tidak ditunjukkan sebagai bahan bukti pada sidang
Obrus Untung; juga di sidang lain tidak muncul. Menurut Rudhito dan
terdakwa Untung tape itu juga diserahkan kepada Jenderal Supardjo, yang
pada tanggal 29 September baru tiba di Jakarta dari Kalimantan. Supardjo
rupanya terus memberikan dokumen itu pada Presiden Soekarno; dan
menurut Rudhito dukumen itu juga ada di tangan kejaksaan Agung dan
KOTRAR.
Kesimpulan saya: kemungkinan besar bahwa tape (yang tidak pernah
muncul!) dan teks itu yang diberikan pada Rudhito, suatu pelancungan
atau pemalsuan. Maksudnya dan akibatnya ialah, sehingga grup Untung,
pimpinan PKI dan Presiden Soekarno diyakinkan dan percaya, bahwa
komplotan Dewan Jenderal yang telah seringkali disebut sebagai kabar
angin, sebenarnya ada dengan rencana untuk merebut kekuasaan dari
Soekarno dan kabinetnya.
Dengan tipu muslihat ini, yang sebenarnya suatu provokasi, baik Soekarno
maupun pimpinan PKI, termasuk Aidit, didorong supaya meneruskan
usahanya agar aksi Dewan Jenderal itu pada tanggal 5 Oktober 1965 dapat
dihalangi! Jadi sekarang timbul pertanyaan, golongan mana yang sebagai
dalang merencanakan seluruh provokasi itu, dengan mengorbankan jiwa enam
atau tujuh jenderal?
Bagi saya, pada saat ini, sulit memberi jawaban. Saya sudah lanjut
usia. Saya harap dalam ruangan ini barangkali orang Indonesia dapat
meneruskan penyelidikan itu untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang
masih ada.
Tentu mudah menyangka bahwa rencana itu tercipta di kalangan militer dan
bahwa Kamaruzzaman — Sjam telah memainkan suatu peranan yang berarti
dalam hal ini. Sangat mungkin juga, bahwa beberapa perwira agak tinggi
dari angkatan udara, seperti barangkali Obrus Heru Atmodjo, dan sudah
tentu Mayor Sujono yang sebagai saksi dan sebagai terdakwa seringkali
memberi keterangan yang tidak masuk akal dan saling bertentangan,
pastilah sangat aktif dalam merencanakan seluruh aksi. Sujonolah yang
memperkenalkan Untung dan Latief dengan Sjam dan dua pembantuanya, Pono
dan Bono.
Juga ada kesaksian bahwa yang sebenarnya memberi perintah pada Gathut
Sukrisno untuk membunuh jenderal-jenderal dan kapten Tendean yang masih
hidup di Lubang Buaya, bukan Sjam melainkan Sujono. Begitu juga
pendapat Dr. Holtzappel yang telah menulis suatu analisa penting tentang
peristiwa 1965 dalam “Journal of Contemporary Asia” pada tahun 1979.
Pembunuhan yang sengaja itu juga tentu merupakan bagian dari seluruh
provokasi terhadap PKI. Menurut Holtzappel, sebagai dalang dalam
Angkatan Bersenjata barangkali harus dianggap Jenderal Sukendro, pernah
kepala military intelligence, dan kolonel Supardjo, Sekretaris KOTRAR
yang pernah menjadi pembantu dari Sukendro.
Presiden Soekarno agaknya sangat benar dalam analisa pendeknya, waktu
ia membela diri dimuka MPRS dengan keterangan tertulis ‘Nawaksara’ pada
tanggal 10 Januari 1967 terhadap tuduhan-tuduhan. Kesimpulannya ialah:
“1) keblingernya pimpinan PKI, 2) kelihaian subversi Nekolim, dan 3)
memang adanya oknum-oknum yang tidak benar”.
Arti istilah Nekolim pada masa itu ialah: neokolonialisme,
kolonialisme dan imperialisme. Tentu maksudnya Soekarno bahwa ada dalang
sebenarnya yang dari luar negeri. Bagaimana dengan Amerika Serikat, dan
CIA? Sudah dari awal tahun 50an AS campur tangan dengan politik
Indonesia. dimulai dengan Mutual Security Act dari tahun 1952, yang
dahulu ditandatangani oleh menteri luar negeri Subardjo dari
kabinet-Sukiman, dan yang lantas dibatalkan. Juga ada campurtangan AS
sewaktu pemberontakan Dewan Banteng dan Permesta, dan sesudahnya waktu
didirikan PRRI, pada tahun 57-58.
Peter Dale Scott, yang dulu menjadi diplomat dan sekarang guru besar
di Universitas California, menulis beberapa karangan penting tentang
campurtangan AS pada tahun 60an: dulu karangannya diumumkan pada tahun
1975, dan lantas di “Pacific Affairs” tahun 1985: “The U.S. and the
Overthrow of Soekarno”. (Ada terjemahan dalam bahasa Belanda yang
diterbitkan oleh Indonesia Media).
Pada tahun 1990 ini seorang ahli sejarah yang saya tidak kenal
namanya Brands, menulis seolah-olah sejak permulaan tahun 65 USA sama
sekali tidak campur tangan lagi dalam politik Indonesia; beliau dengar
ini dari tokoh CIA – masa dapat dipercaya? Sekarang kita sudah tahu
dengan pasti bahwa dari awal Oktober 65 baik kedutaan AS maupun CIA
sangat campur tangan, misalnya dengan memberi daftar berisi nama 5000
tokoh PKI dan organisasi kiri lain pada KOSTRAD supaya mereka ditangkap;
diplomat dan staf CIA tidak perduli kalau korbannya juga akan dibunuh!
Tetapi bagaimana sebelum 1 Oktober? Ada suatu keterangan dari ahli
sejarah Amerika yang termasyur: Gabriel Kolko. Ia menulis dalam buku
yang diumumkan pada tahun 1988 (yang judulnya “Confronting the Third:
U.S.Foreign Policy 1945-1980”), bahwa semua bahan dari kedutaan AS di
Jakarta dan dari State Department (yaitu kementerian Luar Negeri) untuk
tiga bulan sebelum 1 Oktober tahun 1965 sama sekali ditutup, dan tidak
boleh diselidiki oleh siapa pun juga. Dalam suatu keterangan yang ia
tambah pada tanggal 13 Agustus 1990 ia mengatakan, bahwa ia tidak kenal
suatu masa mana pun juga di kurun 1945 sampai 1968 yang ditutup dengan
rahasia yang demikian untuk menyembunyikan informasi yang sangat
penting. Hal itu sangat aneh, dan menimbulkan persangkaan bahwa ada
kejadian yang sangat rahasia yang harus ditutupi. Semoga penyelidikan
yang sekarang akan dijalankan oleh Congress di Washington tentang daftar
yang dibuat sesudah 1 Oktober 1965 oleh suatu tokoh dari kedutaan AS di
Jakarta, tuan Martens, akan memberi kesempatan untuk anggota Congress
supaya menuntut informasi tentang periode tiga bulan itu, dan supaya
arsip itu akan di- ‘declassified’, jadi akan dibuka untuk diselidiki
oleh ahli sejarah dan dunia keilmuan umumnya. Kolko juga memberitahu
bahwa Jenderal Sukendro pada tanggal 5 November 1965 minta pertolongan
yang tersembunyi dari AS, untuk menerima pesenjataan kecil dan alat
komunikasi yang akan dipakai oleh pemuda Islam (Ansor) dan nasionalis
untuk menghantam PKI. Kedutaan AS setuju akan mengirim barang-barang
itu, yang disembunyikan sebagai obat-obatan (Kolko, hal. 181), dan teks
kawat-kawat dari Kedutaan AS ke Washington dari 5/11, 7/11, …
dan11/11-65.
Tetapi kita harus sadar bahwa selain dari CIA badan A.S. masih ada
badan intelijen negara lain, yang 25 tahun yang silam mungkin
berkepentingan dalam menjatuhkan rezim Soekarno: misalnya Pemerintah
Inggris, yang pada masa itu masih terlibat dalam pertentangan antara
Indonesia dan negeri baru yang didirikan oleh Inggris: Malaysia. Dan
lagi negara Jepang mungkin juga harus diperhatikan sebagai calon dalang
kejadian itu. Heran, bahwa pada tanggal 2 Oktober 1965 hanya ada satu
surat kabar di luar negeri yang tahu, siapa Jenderal Soeharto dan dapat
mengumumkan biografinya: Asahi Shimbun. Lagi pula Jepang mendapat
manfaat dalam kerjasama dengan Orde Baru.
Mengapa masih penting untuk menyelidiki sejarah peristiwa tahun 1965?
Saya akan baca pendapat saya yang baru-baru ini saya umumkan dalam
pendahuluan saya untuk buku kecil yang berisi sajak dari Magusig O.
Bungai. Judul kumpulan sajak itu ialah “Sansana Anak Naga dan
Tahun-Tahun Pembunuhan”. Dalam sajaknya Hutan pun bukan lagi di mana
rahasia bisa berlindung, Magusig O. Bungai menulis tentang pembunuhan
massal antas perintah Stalin: 50 tahun berlalu 50 tahun hutan Katyn
menutup rahasia 15.000 prajurit Polandia dimasakre di tengah rimba 50
tahun kemudian waktu memaksa kekuasaan terkuat membuka suara menuturkan
kebenaran.
Menurut saya penting sekali bahwa Magusig mendorong anak- anak
negerinya agar mencari kebenaran. Ahli sejarah Abdurachman Suriomihardjo
dalam “Editor” 2 Juni 1990 menulis, bahwa “pembukaan dokumen yang
semula rahasia itu sangat membantu rekonstruksi sejarah”. Akan tetapi
duduknya perkara masakre di Indonesia 25 tahun yang lalu agak berlainan
dari pembunuhan Katyn yang menimpa 15.000 orang perwira Polandia.
Kelainannya ialah oleh karena masakre di Indonesia itu pada hakikatnya
tidak ada rahasianya sama sekali.
Pembunuhan massal di Indonesia atas tanggung jawab Jenderal Soeharto
bukanlah suatu rahasia. Si penanggungjawab ini justru terus-menerus
bangga akan perbuatannya. Terhadap masakre benar-besaran pada
tahun-tahun pembunuhan sesudah 1965, Soeharto tidak pernah
memperlihatkan penyesalannya atas pelanggaran hak azasi manusia yang
luar biasa itu. Sebaliknya, ia selalu memamerkan dengan bangga
tindakannya yang durjana itu.
Tentang ini telah terbukti sekali lagi baru-baru ini. Dengan adanya
pengakuan pers Amerika Serikat, bahwa staf kedubes Amerika Serikat di
Jakarta menyerahkan daftar nama-nama kader PKI dan ormas yang dekat
dengannya kepada Angkatan Darat Indonesia agar mereka itu ditangkap dan
dibunuh, tidak seorangpun juru bicara pemerintah Orde Baru yang
memungkiri telah terjadinya pembantaian massal, ataupun mengucapkan
penyesalan mereka terhadap peristiwa yang terjadi 25 tahun yang lalu
itu. Mereka ini cukup berpuas diri dengan penegasan pengakuan: bahwa
militer Indonesia sama sekali tidak perlu menerima daftar tersebut dari
pihak asing, oleh karena mereka sendiri cukup mengetahui siapa-siapa
kader-kader PKI! Juga di dalam otobiografinya, Soeharto sama sekali
tidak menunjukkan tanda, bahwa ia menyesali terhadap jatuhnya korban
rakyat sebanyak setengah atau satu juta. Justru sebaliknyalah, terhadap
prajurit-prajurit pembunuh pun ia tidak mencela perbuatan mereka.
Misalnya dalam hal Kolonel Jasir Hadibroto, dalam “Kompas Minggu”, 5
Oktober 1980 ia menceritakan pengakuannya kepada Soeharto, yaitu bahwa
ia telah membunuh ketua PKI DN Aidit tanpa keputusan pengadilan. Dengan
jalan demikian Aidit tidak bisa membela diri di depan sidang pengadilan,
dan karenanya pula penguasa dengan leluasa dapat menyiarkan ‘pengakuan’
Aidit yang palsu. Kolonel ini justru dihadiahi Soeharto dengan
kedudukan sebagai gubernur Lampung. Dalam hal ini tentu saja Soeharto
sendirilah yang bertanggung jawab. Karena pembunuhan itu hanya terjadi
sesudah Jasir Hadibroto menerima perintah dari Soeharto yang, menurut
Jasir, mengatakan: “Bereskan itu semua!”.
Masih cukup banyak hal yang harus dibukakan di depan mata seluruh rakyat
Indonesia. Sejarah peristiwa 1965 dan lanjutannya, seperti yang tertera
didalam tulisan resmi para pendukung Orde Baru, seluruhnya harus
ditinjau kembali dan dikoreksi. Misalnya tentang pembunuhan terhadap
para anggota PKI atau BTI (Barisan Tani Indonesia) yang selalu
dibenarkan dengan dalih, seakan-akan mereka dibunuh karena “terlibat
dalam Gestapu/PKI 1965”.
Barangkali benar, ada beberapa kader PKI yang
telah ikut memainkan peranan dalam peristiwa 1 Oktober 1965 itu. Tetapi
bisakah ratusan ribu kaum tani di Jawa dituduh terlibat dalam peristiwa
penyerangan terhadap 7 orang jenderal pada pagi-pagi buta 1 Oktober 1965
saat itu di Jakarta? Dari berita “The Washington Post” 21 Mei 1990
menjadi jelas, bahwa sejak semula Soeharto telah berketetapan hati untuk
menghancur-leburkan PKI. Dalih umum yang dikemukakan oleh Mahmilub atau
pengadilan semacamnya adalah bahwa semua anggota atau simpatisan PKI ‘
terlibat dalam peristiwa G30S-PKI ‘.
Dalih demikian pulalah yang dipakai
pemerintah untuk membenarkan pembuangan tanpa pemeriksaan pengadilan
lebih dari 10.000 orang yang dipandang sebagai simpatisan gerakan kiri
ke Pulau Buru, yang pada umumnya selama 10 tahun lebih. Mereka itu
dianggap sebagai ‘terlibat secara tidak langsung dalam Gestapu/PKI’ .
Lalu, siapakah yang terlibat langsung? Yang betul-betul terlibat
langsung adalah seorang yang paling memperoleh untung dari kejadian itu,
tak lain tak bukan ialah Jenderal Soeharto sendiri. Semua bahan-bahan
itu tentu sangat penting untuk meninjau kembali sejarah peristiwa 1
Oktober 1965.
Ada beberapa hal lagi yang perlu diterangkan. Di tengah-tengah
terjadinya pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap PKI di
Jawa Tengah dan Jawa Timur, sejumlah kader PKI yang berhasil luput dari
malapetaka berhasil mendapatkan tempat berlindung di daerah pegunungan
di Kabupaten Blitar Selatan. Di sini mereka hidup bersatu dengan kaum
tani miskin setempat, sehingga untuk sementara mereka berhasil membangun
lubang perlindungan untuk menyelamatkan jiwa mereka. Akan tetapi pada
1968 tentara dengan operasi Trisula menghancurkan tempat perlindungan
ini, dan menangkap serta membunuh sebagian besar mereka itu.
Pada tahun 70an ‘tokoh-tokoh Blitar Selatan’ ini dihadapkan ke muka
pengadilan. Di pengadilan umumnya mereka tidak dituduh ‘ terlibat
persitiwa G30S/PKI ‘. Jelas, bahwa pengadilan tidak bisa membuktikan
‘keterlibatan’ demikian. Maka merekapun lalu dituduh sebagai ‘subversi’,
yang sejak 1963 juga bisa mengakibatkan jatuhnya hukuman mati bagi si
terdakwa. Ini berarti, bahwa pada hakikatnya mereka dituduh subversi dan
kebanyakan mereka dijatuhi hukuman mati, semata-mata karena mereka
berusaha menyelamatkan diri dari pembunuhan massal yang sama sekali
haram itu. Rencana pembunuhan massal ini ternyata akhirnya terbukti
jelas oleh siaran pengakuan-pengakuan di dalam pers Amerika Serikat
tersebut di atas.
Tokoh-tokoh seperti Munir, Gatot Lestaryo, Rustomo dan Djoko Untung
tewas dieksekusi pada tahun 1985. Tapi pada saat ini pun masih ada empat
tokoh lagi, yang semuanya berasal dari peristiwa Blitar Selatan itu,
yang diancam oleh pelaksanaan eksekusi. Penting sekali bagi dunia luar
agar berusaha dengan segala daya untuk menyelamatkan jiwa Ruslan
Wijayasastra, Asep Suryaman, Iskandar Subekti dan Sukatno — dan lebih
dari itu untuk menyelamatkan jalannya kebenaran sejarah. Untuk ini
penelitian kembali sejarah tahun-tahun 1965 dan seterusnya merupakan
sarana dan wahana pertolongan satu-satunya. Adalah sebuah kewajiban lagi
yang penting, yaitu meneliti kembali duduk perkara Gerwani di dalam
peristiwa 1 Oktober 1965.
Dari semula penguasa menuduh gadis-gadis
Gerwani di Lubang Buaya berbuat paling keji dan tak tahu malu. Melalui
media pers bertahun-tahun disiarkan, seolah-olah mereka dihadirkan di
sana oleh PKI untuk melakukan upacara ‘harum bunga’ sambil menari-nari
lenso untuk mengantar jiwa jenderal-jenderal itu, melakukan
perbuatan-perbuatan tak senonoh, dibagi-bagikan pisau silet, dan lantas
ikut ambil bagian dalam perbuat jahat serta menyiksa jenderal-jenderal
itu sebelum mereka tewas. Sebagai akibat dari cerita-cerita demikian
terbentuklah bayangan, seakan-akan Gerwani adalah perkumpulan perempuan
lacur, jahat dan bengis yang harus dihinakan dan bahkan dibinasakan.
Cerita-cerita demikian sebenarnya tidak terbukti. Tidak pernah ada suatu
proses, di mana dakwaan demikian bisa dibenarkan. Seorang saksi dalam
sidang yang, menurut Sudisman ‘terbuka tapi tertutup’ dan ‘serba umum
tapi tidak umum’, bernama Jamilah dan yang mereka gunakan sebagai dasar
bangunan dongengan itu, adalah soerang perempuan bayaran belaka.
Beberapa tahun yang lalu Profesor Benedict Anderson, di dalam majalah
ilmiah “Indonesia”, memuat keterangan resmi dari lima dokter yang
memeriksa mayat-mayat para jenderal itu sesudah diangkat dari Lubang
Buaya. Jauh sebelum itu, keterangan resmi para dokter ini pun telah
diumumkan oleh Soekarno di depan sidang kabinet, sengaja untuk membantah
dongengan yang beredar saat itu, yang antara lain mengatakan bahwa mata
para jenderal itu telah dicungkil dan bahwa kemaluan mereka
dipotong-potong sebelum ditembak mati. Keterangan dokter-dokter resmi
itu ringkasnya mengatakan, bahwa tidak ada tanda penyiksaan pada korban,
dan tidak sebiji mata pun dicungkil sebelum mereka dibunuh. Penting
sekali membersihkan Gerwani dari tuduhan yang tidak adil itu. Terutama
sangat perlu, oleh karena sebelum 1965 Gerwani sangat aktif dalam
membela dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Seperti diketahui, sejak
Orde Baru berkuasa semua perjuangan untuk kepentingan perempuan melalui
pergerakan yang bebas dan mandiri, dianggap oleh penguasa sebagai
kegiatan yang harus diharamkan dengan mengingat kepada ‘perbuatan
Gerwani’ dalam akhir tahun 1965 itu.
Ada satu tuduhan lagi yang harus dibantah. Dari sejak awal telah
disiarkan cerita, bahwa seolah-olah di rumah-rumah orang PKI terdapat
(kecuali cungkil mata dan kursi listrik) daftar nama-nama orang yang
memusuhi komunisme, dan yang harus dibinasakan sesudah PKI memperoleh
kemenangan dengan gerakannya di akhir 1965 itu. Tidak selembar daftar
seperti itu bisa dipertunjukkan di pengadilan mana pun. Sekaranglah,
sesudah adanya pengakuan pers Amerika Serikat itu, kita ketahui bahwa
sesungguhnya daftar orang-orang yang harus dibinasakan itu memang ada.
Tetapi, inilah bedanya, daftar yang ada justru bukan daftar bikinan
komunis, melainkan daftar yang diberikan oleh Kedubes Amerika Serikat
kepada Soeharto yang memuat ribuan nama komunis Indonesia yang harus
dibunuh! Dongeng ini seperti dongeng tentang maling yang teriak “Tangkap
Maling!”
Penting sekali kesadaran dibangun kembali: Bahwa sebelum 1965 PKI
merupakan kekuatan yang patut dibanggakan, oleh karena banyak hal yang
telah berhasil dicapai oleh partai dan gerakannya itu. Di dunia Barat
sekarang timbul kecenderungan anggapan, bahwa komunisme, dan bahkan
sosialisme, telah gagal sebagai ideologi. Kesimpulan seperti ini salah
sama sekali! Yang gagal adalah sejumlah pemerintahan yang dikuasai oleh
berbagai partai komunis. Yang terbukti gagal adalah, bahwa sistem
diktatorial tanpa cukup peranan dari rakyat bawah tidak bisa bertahan
dalam jangka panjang.
Jadi, untuk Indonesia, kegagalan seperti itu hanya bisa berlaku bagi
rezim Soeharto. Rezim Soeharto pada hakikatnya juga merupakan suatu
sistem diktatorial, dengan berbedak demokrasi yang semu belaka. Tetapi
sebaliknya, baik ideologi maupun praktek, komunis di Indonesia sama
sekali tidak mengalami kegagalan. Ia hanya ditimpa oleh malapetaka dan
penindasan secara perkosa, yang ditolong oleh kekuatan anti-komunis luar
negeri. Tentu saja ada beberapa tokoh komunis yang, dalam menghadapi
keadaan baru dan sangat sulit pada tahun-tahun 60an, melakukan kesalahan
penting. Dalam hal ini tentu saja sangat perlu adanya otokritik yang
mendalam. Tetapi cukup alasan bagi setiap penganut ideologi kiri untuk
mencamkan kata-kata penulis kumpulan puisi itu, yaitu agar ‘mulai
menghargai harkat diri’ dan memulihkan perasaan bangga diri.
Terima kasih!
__________________
Makalah Prof. Wertheim ini pernah disampaikan dalam sebuah ceramah pada tanggal 23 September 1990 di Amsterdam.
Panitia Peringatan 40 Thn. Tragedi Nasional 1965 di Negeri Belanda.
http://1965tribunal.org/id/kudeta-1965-menurut-prof-wertheim/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar