| Khalid Syaifullah
SUDAH saatnya mendekatkan kata ‘merdeka’ dengan ‘nasi’ dan ‘tai’.
Sebab seperti yang lalu-lalu, peringatan hari proklamasi memang tak
lebih dari 1×24 jam. Sisanya hanya gumpalan tai, yang harus disiram
bersih-bersih agar baunya segera hilang. Ibarat seorang bocah kecil yang
memakan nasi, dicerna di lambung selama kurang dari 24 jam, berujung di
usus besar dan keluar melewati anus berupa tai. Setelah bunyi ‘pluk’, maka lekasan disiram. Kalau tidak, urusan bisa runyam.
Pembaca mungkin merasa kaget, aneh dan jijik. Jangan kaget, sebab perumpaan di atas sudah pernah dilontarkan oleh penyair ‘pelo’ kita, Wiji Thukul. Di sebuah kampung di Solo, pada Agustus 1982, ia membaca puisi singkatnya yang berjudul ‘Kemerdekaan’.
‘Kemerdekaan adalah nasi. Dimakan jadi tai’.
Begitu isinya. Jangan jijik, karena Wiji mengucapkannya dengan
‘kurang ajar’. Katanya, ‘Saya lihat orang betul-betul menikmati
kekurangajaran saya. Saya mendengar komentar dari mereka, ‘Ya wis, ra apa-apa. Pisan-pisan lurah ya digawe bingung.’
Juga jangan aneh, karena nyatanya, makna merdeka yang terhubung dengan
nasi dan tai sejatinya sungguh dekat dengan tubuh manusia.
Puisi singkat nan spontan yang dibacakan oleh Wiji ini anehnya masih sangat relevan dan aktual sekali dengan realitas kekinian. Khususon perayaan
17 Agustus ‘45, puisi Wiji mendapatkan konteksnya. Puisi yang, kata
Afrizal Malna, berasal dari ‘mata-pertama’ ini mencerminkan batang-tubuh
biografis lingkungan kelas tertindas dalam menerjemahkan realitas
sosial di sekelilingnya. Kita tahu, kenyataan ekonomi politik kala puisi
dadakan ini tercipta sungguh sesak dengan kebijakan pro-kapital yang
mau tak mau mesti melokalisasi segenap aktivitas politik rakyat menjadi
aktivitas simbolik semata. Misalnya, kalangan Islam yang berpolitik,
digeser dan direbahkan ke ruang-ruang mesjid menjadi sebatas Islam
ritual.
Begitu pula peringatan hari proklamasi.
Di zaman Orde Lama, pidato-pidato Bung Karno saat HUT RI sangat
menggelegar bahkan ke mancanegara. Ribuan sampai jutaan buruh memadati
Istora Senayan hanya untuk mendengar khotbahnya yang mahsyur itu.
Makanya, kita masih bisa meresapi dan menghayati tiap-tiap pesan dan
ajaran yang disampaikan beliau sampai sekarang. Waktu itu, Sang Pemimpin
Besar Revolusi berkobar-kobar menyerukan pentingnya bangsa Indonesia
meneruskan cita-cita revolusi sebagai bangsa yang mandiri secara
politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian kebangsaan.
Namun, paska tragedi ‘65, Indonesia sekonyong-konyong menyandarkan
diri ke atas pundak lembaga donor internasional sembari melenyapkan
jutaan kader dan simpatisan ‘kiri’ yang dicap sebagai anjing-anjing
perusuh.
Sekadar menyegarkan ingatan, Bung Karno dalam pidato Nawaksara menyebutkan tiga pihak sebagai dalang persitiwa G30S. Yakni, segelintir elit pimpinan PKI yang keblinger,
antek-antek nekolim dan oknum yang tidak bertanggung jawab. Pendapat
ini kemudian diafirmasi oleh Asvi Warman Adam sebagai jawaban yang tepat
sekaligus komprehensif; ia menyebutkan kekeblingeran PKI
dengan menunjuk peran Syam Kamaruzzaman; keterlibatan CIA, Inggris
maupun Australia; serta mengacu beberapa anggota Cakrabirawa yang
melakukan gerakan pada malam itu. Bung Karno tidak serampangan menuduh
salah satu kelompok ataupun suatu badan organisasi―entah Angkatan Darat
maupun PKI. Dengan kata lain, perisitiwa ini sarat dengan permainan
asing dan elit dalam negeri, serta pimpinan partai yang sembrono.
Namun, jawaban ini seolah-olah ditenggelamkan oleh propaganda Orde
Baru yang terus-menerus melabeli G30S dengan ‘/PKI’. Hal ini ditengarai
para sejawaran dalam dan luar negeri sebagai ‘jaminan’ modal asing
menancapkan kuku imperialisnya di tanah air.
Persitiwa sekaliber ‘65 menjadi tahap penting sejarah bangsa yang
mempertontonkan Indonesia kecebur dalam liang lahat ketergantungan
politik, ekonomi dan kebudayaan. Aneh bin ajaibnya, bukannya bangkit
dari liang lahat, rezim pimpinan ‘Jendral Senyum’ itu malah menikmati
liang lahatnya―pun, sembari membredel orang-orang yang sekadar ingin
menegur dengan cap bigot-bigot subversif.
Ah, sungguh ironis. Sebuah kredo menyatakan, ‘hidup itu seperti
diperkosa, kalau tak kuat melawan, ya nikmati saja’. Alih-alih melawan,
justru di awal episode kekuasaannya, Orde Baru betul-betul menikmati
‘mas kawin’ Barat yang jumlahnya jutaan dollar.
Maka jangan heran, momentum peringatan proklamasi dijadikan
semata-mata perayaan suci yang telah ‘disucikan’ dari karakter
revolusionernya. Tak ada lagi khotbah menggelegar. Tak ada lagi jutaan
massa berduyun-duyun memadati Senayan. Tak ada lagi transfer of spirit
dari pemimpin kepada massa rakyat. Yang ada adalah peninaboboan,
pensterilan, pemutihan, pensimbolisasian, peminggiran, dan segenap-genap
saudaranya.
Begitupun transisi rezim-rezim setelahnya. Walau ada kemajuan
teknologi yang mutakhir, toh substansinya tetap sama. Perayaan
kemerdekaan hanya simbol. Simbolnya ada di batang pohon pinang, balapan
karung, memindahkan belut ke dalam botol, dan sebagainya―yang sebetulnya
hanya warisan penjajah yang dipakai untuk olok-olokan mereka terhadap
pribumi. Juga tak ketinggalan, simbol tersebut bersemayam di dalam layar
gadget yang harganya selangit.
Kalau sudah begini, momentum hari kemerdekaan hanyalah bak sepiring
nasi yang dimakan jadi tai. Setelah itu, disiram segera agar baunya
hilang sama sekali. Kalau perlu, disemprot pakai parfum bermerk mahal
yang dibeli di toko-toko franchise Amerika. Sehingga bau tai
berubah wewangian agar hidung menjadi normal seperti sedia kala. Setelah
itu, kembali melakukan aktivitas seperti sebagaimana biasanya―ditindas,
dieksploitasi, dialienasi, dibodohi, dan segenap-genap teman
karibnya.***
http://indoprogress.com/2015/08/setelah-kemerdekaan-tak-ada-lagi/?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+indoprogress-feed+%28IndoPROGRESS%29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar