| by:
Arman Dhani
MUKTAMAR Nahdlatul Ulama (NU) ke 33 yang diselenggarakan di Jombang,
Jawa Timur, semestinya menjadi momen penting bagi perdamaian.
Selayaknya, jika memang ingin mencatatkan sejarah, ajang pertemuan para
nahdliyin ini digunakan untuk membahas permasalahan bangsa. Mulai dari
isu sektarian yang makin mengkhawatirkan, pengentasan kemiskinan,
pemberdayaan perempuan, peningkatan kualitas pendidikan melalui pondok
pesantren dan isu tentang rekonsiliasi 65.
Isu terakhir barangkali salah satu yang paling tidak populer di antara isu-isu yang lain. Apalagi setelah NU mengeluarkan buku Benturan NU-PKI sebagai jawaban atas wacana rekonsiliasi kepada korban pembunuhan 1965. Wakil Ketua Umum PBNU, As’ad Said Aly,mengatakan,
pembuatan buku dilakukan karena ada desakan agar NU meminta maaf kepada
korban pembunuhan 1965.
Alasannya menarik, menurut As’ad, “Ada yang
mendiskreditkan NU dan mendelegitimasikan NU.” Gerakan neoliberal, ujar
As’ad lagi, sebagai biang keladi untuk mendiskreditkan NU. “Ada
liberalisasi agama, ingin kebebasan agama a la barat. Agar penghujatan
atas Tuhan itu boleh dan hujatan atas agama itu boleh,” katanya.
Sebagai salah satu organ dengan masa sangat besar, NU pun masih
memiliki ketakutan terhadap ideologi. Gerakan neoliberal yang dimaksud
ini juga semestinya bisa ditelisik lebih jauh, dijabarkan dan
dipertanyakan sosoknya. Ketua tim penulisan buku putih Abdul Mun’im DZ mengatakan, buku Benturan NU-PKI
memaparkan tragedi 1965 dari sudut pandang NU dalam menghadapi PKI
sebagai kelompok “bughot” (subversif). Jika demikian maka semestinya ada
usaha untuk membuka kembali dokumen sejarah terkait relasi NU dan
mereka yang tertuduh PKI.
Memang sejauh ini masih ada silang sengketa tentang keterlibatan NU
sebagai organ dalam pembantaian orang-orang yang dituduh sebagai
pendukung Partai Komunis Indonesia. Asvi Warman Adam, peneliti sejarah
politik LIPI mengatakan, akar permasalahan gerakan NU-PKI harus dirunut
dari tahun 1948 dan 1965. Asvi beranggapan, benturan NU-PKI yang pertama
dimulai sebelum tahun 65, ketika aksi sepihak PKI/Barisan Tani
Indonesia (BTI).
“Ada UU yang mengatur tentang pembatasan tanah warga,
land reform. Itu mengatur tanah yang bisa dikuasai warga saat itu,
pelaksanaan UU ini didukung oleh PKI dan BTI,” katanya.
Sejauh ini Nahdlatul Ulama masih menjadi salah satu lembaga yang
konsisten membela kemanusiaan dan akal sehat. Ketika kelompok lain gemar
mengkafirkan dan menyesatkan, NU masih menjadi organ yang kerap
melakukan pembelaan terhadap kelompok minoritas. Bahkan banyak
intelektual muda mereka yang menjadi pembela kelompok Syiah, Ahmadiyah
dan kristen. Namun masih sedikit yang bersuara tentang korban 65.
Salah satu tugas besar intelektual NU, saya kira, adalah untuk
meluruskan persepsi tentang komunisme yang sinonim dengan ateisme.
Karena selama komunis dianggap sinonim dengan ateis maka pembenaran
terhadap pembantaian kelompok PKI pada 65 akan tetap dilakukan. Sejauh
ini beberapa kelompok masyarakat masih berpikir bahwa pembantaian 65
merupakan bagian dari penegakan aqidah yang membantai kaum murtad.
Isu 65 memang masih sangat sensitif. Tidak terhitung penulis,
intelektual dan kelompok masyarakat yang disakiti dan diserang tanpa ada
pembelaan. Beberapa waktu lalu, acara arisan keluarga dan anak-anak eks
tahanan politik (tapol) 65 yang dilangsungkan di Yogyakarta, dibubarkan
kelompok tertentu. Pembubaran tersebut sempat diwarnai dengan aksi
pemukulan terhadap salah satu peserta arisan dan hingga saat ini tidak
ada tindakan dari pihak kepolisian.
Kelompok yang membawa label agama juga kerap melakukan penyerangan
terhadap kelompok minoritas, termasuk keluarga korban 65. Nahdlatul
Ulama sejauh ini masih menjadi kelompok yang cukup netral, malah pada
satu titik, menjadi teladan dengan melakukan pendekatan personal
terhadap keluarga yang diberi label PKI.
Beberapa kawan saya berkelakar, jika kamu ingin melakukan tindakan
kriminal, seperti membunuh, merampok, atau memperkosa tuduh saja korban
kamu sebagai syiah, ahmadiyah atau komunis niscaya kamu akan selamat
dari jeratan hukum. Saya menolak percaya hal ini, namun melihat
bagaimana negara berpihak, saya pesimis bahwa memang negara ini ada
untuk membela warga negaranya.
Gus Dur pada 14 Mei 2000 dalam acara Secangkir Kopi, TVRI
mengatakan bahwa pengertian rekonsilasi yang benar adalah mengharuskan
adanya pemeriksaan tuntas oleh pihak pengadilan, kalau bukti-bukti yang
jelas masih dapat dicari. Di sinilah letak keadilan yang harus
ditegakkan di Bumi Nusantara. Belum tentu orang-orang yang dituduh
komunis bersalah sehingga akhirnya dihukum mati. Sikap ini adalah sebuah
terobosan penting dalam usaha menegakkan suara jernih dalam kebisingan
sejarah.
Namun, sayang, inisiatif Gus Dur untuk melakukan rekonsiliasi kerap
ditentang dan dianggap angin lalu. Bahkan permintaan maafnya tidak ada
yang mau mengakui, apakah permintaan maaf itu diberikan atas nama
presiden atau atas nama NU. Kini setelah Gus Dur mangkat, hampir tak ada
suara dari tubuh NU untuk kembali membahas usaha rekonsiliasi ini.
Apapun itu, semoga muktamar kali ini berjalan lancar. Dan siapapun kelak
yang memimpin NU semoga bisa membawa kebaikan.***
http://indoprogress.com/2015/08/nu-dan-rekonsiliasi-65/?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+indoprogress-feed+%28IndoPROGRESS%29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar