Kekuasaan Islam di Kordoba pernah mencapai puncak keemasan
di bidang ilmu pengetahuan dan budaya.
Muhammad Husnil - 29 Desember 2012
DI KORDOBA, 1198, Ibnu Rusyd, ulama-cum-dokter yang di
Barat dikenal sebagai Averous dan dianggap tokoh filsuf Rasionalisme,
menghembuskan nafas penghabisan dalam kondisi mengenaskan. Banyak karyanya
dibakar. Ajaran filsafatnya menjadi barang haram. Ramalannya mulai menuju
kebenaran bahwa masa depan negaranya takkan ramah untuk orang-orang yang
tercerahkan seperti dirinya.
Di tempat yang sama dan waktu hampir bersamaan, dokter,
juru tulis, dan filsuf Yahudi Musa Ibn Maymun atau Maimonides harus angkat kaki
dari kampung halamannya. Kordoba, yang dikuasai kerajaan-kerajaan kecil dan
saling berperang, mulai menutup pintu bagi kaum Yahudi.
Bahkan ketika kaum Muwahidun berkuasa, mereka membantai
ribuan orang Yahudi. Musa Ibn Maymun pindah ke Mesir. Di sana dia mendapatkan
tempat terhormat dengan menjadi penasihat Salahuddin al-Ayubi, kelak dikenal
sebagai penakluk Yerusalem, hingga meninggal dunia pada 1204.
Seiring kematian dua filsuf besar itu, Kordoba, tempat
yang pernah menelurkan peradaban tinggi yang dikenal dengan Peradaban
Andalusia, perlahan masuk liang lahat. Padahal, dua abad sebelumnya, tepatnya
pada abad ke-9, Kordoba merupakan prototipe modernitas. Dari jendela istananya
yang megah, Hisyam dan putra sekaligus penggantinya, al-Hakam I, menyaksikan
kemajuan dan kemakmuran masyarakatnya.
Yang mengagumkan dari sejarah Andalusia, tiga agama
besar: Islam, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan dan penuh toleransi –atau
dalam bahasa Spanyol disebut convivencia. Kebijakan ini lahir dari tangan
Abdurahman I, pemimpin kharismatik yang fasih bicara ihwal agama dan budaya di
mimbar-mimbar masjid serta kerap menganggit puisi dan membacakannya di depan
publik.
Selain menerbitkan harmoni sosial, kebijakan ini memberi
kesempatan kepada kaum Yahudi dan Kristen untuk menjadi pejabat negara.
Penerusnya, Abdurahman III, menjaganya dengan mengangkat Hasdai Ibn Shaprut,
seorang Yahudi, sebagai penasihatnya dan Racemundo, seorang uskup Katolik
Elvira, sebagai dutabesar Kordoba untuk Konstantinopel.
Pengadaptasian teknologi pembuatan kertas, yang
didapatkan dari peradaban Tiongkok, mendorong perkembangan ilmu pengetahuan.
Perpustakaan-perpustakaan dipenuhi buku-buku berharga. Dari segi penyebaran
ilmu pengetahuan, Kordoba hampir menyamai Baitul Hikmah di Baghdad, think
thank pemerintahan Abbasiyah di Timur Tengah, yang sepanjang sejarah
melahirkan segudang ilmuwan besar.
Di bawah bimbingan para ahli Muslim di Kordoba Khalifah
al-Hakam II al-Mustansir, Gerbert dari Aurillac menerbitkan buku teks empat
halamannya yang revolusioner tentang matematika baru. Buku ini mencampakkan
cara berhitung Romawi yang rumit, seperti XXIV+XLIII=LXVII, dan menggantikannya
dengan sembilan angka Hindu dan angka nol Arab.
Peradaban Andalusia, yang kosmopolitan, menghargai
perbedaan, dan mendorong ilmu pengetahuan, menjulang tinggi. Meski diselingi
satu-dua pertempuran kecil dan upaya untuk memperluas kekuasaan, kondisi
masyarakatnya cukup stabil. Andalusia mencapai puncak keemasan pada abad ke-10
dan 11. Pada masanya ia kerap menjadi rujukan negara-negara lain.
Namun, harmoni mulai retak saat gelombang radikalisme
agama mulai menggumpal, sementara kekuatan Islam moderat perlahan tapi pasti
kian melemah. Ketika paham-paham keagamaan yang kaku merembes ke Andalusia
melalui Afrika Utara dan penguasa lebih mendengarkan saran ulama-ulama
konservatif, hampir tak ada kata ampun atas segala sesuatu yang dianggap
penyimpangan. Kristenisasi dilarang dan hukuman mati ditimpakan pada setiap
Muslim yang menjadi Kristen. Sebaliknya, tak ada hukuman sama sekali bila orang
Kristen memeluk Islam.
Orang-orang Kristen fanatik tak rida melihat
saudara-saudara seiman beralih ke Islam. Jumlah mereka kian berkurang, bahkan
tak lagi menjadi mayoritas. Sebagai reaksi putus asa, sekelompok kecil Kristen
Andalusia menentang rezim Muslim pada pertengahan abad ke-9. Para pendeta
Kristen dan orang awam juga mulai secara terbuka menghina Islam.
Satu-dua peperangan antara Islam dan Kristen pun
bergolak. Sementara kalangan Yahudi, yang sejak mula adalah minoritas, terjepit
dalam peperangan ini, bahkan tak bisa berbuat banyak ketika menjadi sasaran
kebencian Islam dan Kristen. Sejak itu, ketiga agama besar itu mulai mencopoti
batu bata bangunan toleransi yang menjadi dasar peradaban Andalusia.
Ada satu faktor lagi yang ikut meruntuhkan Andalusia:
lembeknya kelas menengah. Warga Andalusia –Kristen, Muslim, dan Yahudi– yang
mendapatkan kemudahan dan kemewahan ekonomi lebih suka memikirkan bisnis dan
keselamatan diri ketimbang menengahi berbagai kecamuk. Ketika keadaan makin
gawat, kelas menengah ini berbondong-bondong pindah ke daerah lain untuk
memulai lagi usaha mereka.
Tepat 38 tahun setelah kematian Ibnu Rusyd dan 32 tahun
setelah kematian Musa Ibn Maymun, kekuasaan Islam di Kordoba kian berkurang dan
akan berakhir dengan masuknya sang pemenang Ferdinand III dari Kastilia pada
1236. Bangunan-bangunan megah hanya tersisa beberapa, perpustakaan dan buku
menjadi barang langka kembali, dan toleransi ketiga agama besarnya menjelma
hanya menjadi catatan sejarah.
BULAN September, bisa dibilang sebagai bulan paling bersejarah dalam
cerita Indonesia modern. Pada bulan ini, terjadi satu peristiwa yang
menjadi penanda lahirnya sebuah rezim politik paling berdarah dan paling
kuat dalam sejarah Indonesia modern, rezim Orde Baru.
Cita-cita tentang Indonesia yang demokratis, yang menjunjung tinggi
perikemanusiaan dan perikeadilan, yang meniscayakan
kebhinekatunggalikaan, sejak September 1965 terkubur bersama jutaan
bangkai manusia sebangsa. Setelah September 1965, kita seperti orang
mabuk yang berjalan terseok-seok, kumuh, dan sering beringas dalam
menggapai dan merumuskan identitas sebagai sebuah bangsa. Tapi
mengherankan, tidak banyak studi yang dilakukan dalam masa-masa paling
gelap itu. Tidak ada ’seujung kuku’ jika dibandingkan dengan, misalnya,
studi tentang Holocaus Nazi/Hitler terhadap bangsa Yahudi di Jerman pada
masa Perang Dunia II. Padahal, Peristiwa G30S 1965 dan yang
menyertainya, merupakan tragedi kemanusiaan terbesar kedua setelah
Holocaus dalam rentang skala, waktu, dan jumlah korban yang
ditimbulkannya. Kita seperti ingin melupakannya ketimbang
merenungkannya, ingin membantahnya ketimbang memahaminya.
Salah satu dari sedikit sarjana yang mendedikasikan dirinya dalam
upaya mengungkap Peristiwa G30S tersebut adalah sejarahwan John Roosa,
yang saat ini menjadi profesor di University of British Columbia (UBC),
Kanada. Bukunya, Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia, yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia menjadi Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto
(Jakarta: ISSI dan Hasta Mitra, 2007), adalah bagian dari upayanya
untuk memahami peristiwa tersebut. Untuk itu, bertepatan dengan bulan
‘gelap’ ini, M. Zaki Hussein dari Left Book Review (LBR), berbincang-bincang dengan John Roosa. Berikut petikannya:
Apa yang membuat Anda tertarik untuk meneliti G30S dan pembantaian orang-orang PKI serta sayap kiri pada 1965-1966?
Waktu saya belajar sejarah Asia Tenggara di universitas tahun 1990an,
saya tidak habis pikir, kok bisa ada peristiwa sebesar dan sehebat ini
tapi pengetahuan kita tentangnya sedemikian kecil. Sebagai sejarahwan,
saya lihat ada kebutuhan untuk investigasi yang lebih mendalam guna
membongkar sejarah yang digelapkan oleh pembunuh-pembunuh itu. Sebagai
manusia biasa yang peduli dengan prinsip-prinsip moral, saya benci
dengan rezim Suharto.
Rezim itu berfungsi sebagai attack dog
buat modal asing dan jadi penuh dengan pejabat-pejabat bodoh dan brutal,
orang dengan watak preman yang sama sekali tidak peduli dengan prinsip
HAM, yang mengkhianati prinsip kemerdekaan, membunuh dan menyiksa orang
Indonesia sendiri, dan kemudian menjual kekayaan tanah airnya kepada
konglomerat multinasional dengan harga murah.
Akhir tahun 1990an, saya heran kenapa gerakan reformasi tidak
mempersoalkan kejahatan-kejahatan yang terjadi waktu Orde Bobrok baru
dimulai, tidak bisa melihat rezim itu sebagai satu package dari 1965 sampai 1998. Miseducation orang Indonesia selama 32 tahun cukup lengkap. Untuk mengerti rezim itu, kita harus kembali ke hari-hari lahirnya.
’Saya tidak habis pikir, kok bisa ada peristiwa sebesar dan sehebat ini tapi pengetahuan kita tentangnya sedemikian kecil.’
Sekalipun sekarang sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi
(MK) yang mencabut kewenangan Kejaksaan untuk melarang buku, tetapi buku
Anda, Dalih Pembunuhan Massal, pernah dilarang oleh Kejaksaan Agung pada 2009. Apa komentar Anda mengenai hal ini?
Dari satu segi, pelarangan itu bisa dianggap sebagai penghargaan.
Ternyata kekuatan buku saya tinggi sekali, sampai pejabat-pejabat takut
buku itu bisa mempengaruhi rakyat Indonesia. Dan pejabat-pejabat di Clearing house-nya Kejaksaan Agung teliti sekali waktu membaca Dalih. Konon, mereka telah siapkan laporan panjang dan mendaftar 143 kesalahan dari Dalih.
Tapi, dari segi lain, pembredelan itu tentu saja, menyedihkan. Kok di
era reformasi dan era internet ada pejabat yang mengira mereka masih bisa membredel buku. Saya lihat kemenangan kami di MK tahun 2010 sebagai kemenangan untuk rule of law
dan hak kebebasan berekspresi. Yang tetap menjengkelkan, Kejaksaan
Agung tidak mau membuka laporannya. Saya masih penasaran, apa keberatan
mereka terhadap buku saya dan kenapa mereka membredel Dalih?
Anda menyebutkan bahwa PKI sebagai organisasi tidak terlibat
dalam G30S, tapi ada individu PKI yang terlibat tanpa persetujuan
partai, bisa anda jelaskan secara singkat hal ini?
G30S itu operasi rahasia. Badan-badan partai, seperti Central
Committee (CC) dan CDB-CDB (Comite Daerah Besar) di tingkat propinsi,
tidak pernah membicarakan G30S, apalagi ambil keputusan. Menurut
Iskandar Subekti, panitera Politbiro, banyak dari anggota Politbiro itu
sendiri tidak tahu persis apa itu G30S (Di Politbiro ada kira-kira 12
orang: Aidit, Lukman, Sudisman, dll.).
Soal yang dibicarakan di
Politbiro adalah: lebih baik PKI mendukung para perwira progresif untuk
mendahului Dewan Jenderal (DJ) atau tunggu sampai DJ melakukan kudeta.
Politbiro ambil keputusan bahwa PKI harus mendukung para perwira
progresif dan Aidit ditugaskan untuk melaksanakan keputusan itu.
Sehingga anggota Politbiro tidak melihat G30S sebagai aksi partai. Aidit
membentuk tim inti yang terdiri dari beberapa anggota Politbiro,
misalnya Sudisman dan Oloan Hutapea, dan hanya tim inti itu, tim ad hoc
di luar institusi formal di partai, yang bekerja dengan Sjam di Biro
Khusus untuk merancang operasi G30S. Tapi, belum tentu tim inti itu tahu
persis apa itu G30S.
Tampaknya, Aidit dan pemimpin PKI lain di tim inti
itu tetap berpikir bahwa kelompok perwira progresif (Untung cs.) yang
memegang peran utama dalam aksi G30S. Mereka kira Untung, Latief, dan
Suyono punya kekuatan militer yang cukup untuk melawan jenderal-jenderal
kanan dan punya rencana yang jelas. Padahal, Untung cs. berpikir bahwa
pemimpin PKI yang memegang peran utama. Dua kelompok itu (orang PKI di
tim intinya Aidit dan perwira militer) tidak pernah duduk bersama untuk
menyusun G30S. Karena Sjam jadi perantaranya, persiapan aksi itu jadi
kacau.
Rezim Suharto menangkap lebih dari satu juta orang atas nama
’penumpasan G30S.’ Jelas penangkapan semasif itu sebenarnya tidak perlu
sebagai reaksi terhadap aksi kecil. Pepatah yang dipakai Sukarno benar:
tentara ’membakar rumah untuk membunuh tikus.’ G30S merupakan dalih saja
untuk kepentingan yang lebih besar.
’Kelompok Suharto mau membuktikan
kesetiaannya kepada kampanye antikomunis Amerika Serikat (AS), supaya AS
membantu tentara bertahan lama sebagai penguasa.’
Anda mengatakan bahwa peristiwa G30S itu sebenarnya merupakan
dalih untuk sebuah pembantaian massal. Lalu, apa sebenarnya tujuan
utama di balik pembantaian massal itu?
Ada dua hal: represi terhadap gerakan nasionalis kiri (pengangkapan
massal, penahanan massal) dan pembunuhan terhadap gerakan itu. Kalau
represi, tujuan utamanya menghancurkan kekuatan petani, yang sedang
mendukung proses land reform, dan kekuatan buruh, yang sedang
mengambil alih banyak perusahaan milik modal asing. Represi itu
sebenarnya bisa dilakukan tanpa pembunuhan. Waktu itu PKI tidak melawan.
Kenapa kelompok Suharto di dalam Angkatan Darat (AD) memilih membunuh
orang yang sudah ditahan? Ada beberapa kemungkinan, tapi satu poin yang
cukup penting: kelompok Suharto mau membuktikan kesetiaannya kepada
kampanye antikomunis Amerika Serikat (AS), supaya AS membantu tentara
bertahan lama sebagai penguasa. Suharto sadar bahwa rezim dia akan
bergantung kepada bantuan finansial dari AS untuk memperbaiki ekonomi
Indonesia.
Anda nyaris tidak membahas apa yang terjadi di Lubang Buaya
saat peristiwa G30S, kenapa demikian? Apakah karena kurangnya data atau
karena kejadian-kejadian di Lubang Buaya memang tidak signifikan untuk
merekonstruksi narasi tentang peristiwa G30S?
Memang tidak banyak informasi yang bisa diandalkan tentang apa
persisnya yang terjadi di Lubang Buaya. Hampir semua orang yang hadir di
sana, tidak mau mengakui kehadiran mereka atau tidak mau cerita secara
jelas dan jujur tentang kejadian-kejadian di sana. Wajar, kalau kita
ingat teror yang mereka alami. Yang jelas, propaganda kelompok Suharto
tentang Lubang Buaya itu bohong belaka. Ya, rezim itu sendiri tidak
peduli dengan fakta: mereka tidak pernah membuat investigasi dengan
benar. Malah, mereka memaksa beberapa gadis yang tidak punya hubungan
dengan peristiwa itu mengaku membunuh para jenderal. Ada buku baru yang
mengharukan tentang hal ini: Aku Bukan Jamilah (2011), oleh R.
Juki Ardi. Kalau geng Suharto mau menghargai jenderal-jenderal itu,
seharusnya mereka melacak kejadian di Lubang Buaya sampai bisa tahu
persis siapa yang membunuh mereka dan atas perintah siapa. Kalau
informasi itu bisa diketahui, kita bisa memahami proses pengambilan
keputusan di dalam kelompok G30S (Sjam, Untung cs).
Presiden Suharto di Museum ‘Lubang Buaya’, foto: Setneg
Anda menyebutkan bahwa Amerika Serikat memiliki kontak dengan kelompok Jenderal Angkatan Darat yang dinamakan ‘brain trust.’ Apakah kelompok ini yang disebut dengan ’Dewan Jenderal?’ Seberapa erat sebenarnya hubungan mereka dengan Amerika Serikat?
’Braintrust’ itu istilah yang dipakai oleh CIA
sendiri dalam laporan tentang G30S tahun 1968. Saya kira, tidak ada satu
kelompok perwira AD yang sering rapat dan menyusun bersama strategi
yang jelas untuk semacam konfrontasi terhadap PKI. Organisasi mereka
lebih informal dan strateginya disusun dalam pertemuan-pertemuan biasa.
Yang jelas, jenderal Abdul Haris Nasution menjadi pemimpin para perwira
antikomunis dan dia sering bicara dengan perwira lain tentang strategi
untuk menghancurkan PKI. Hubungan antara pimpinan AD dan AS erat sekali
sebelum dan sesudah G30S. Banyak perwira AD diterbangkan ke AS untuk
latihan militer dan sebagian di antara mereka rela jadi informant untuk
militer AS. AS kasih senjata, alat komunikasi, bantuan material,
seperti beras, dan bantuan finansial serta daftar nama anggota PKI. AS
membantu tentara menciptakan psychological warfare campaign.
Perusahaan-perusahaan AS berhenti membayar royalti ke pemerintah Sukarno
di awal tahun 1966 dan mulai mengirim uang itu ke rekening Suharto.
’Pembunuhan massal terjadi
sesudah banyak orang PKI rela masuk kamp-kamp penahanan. Kemudian tugas
milisi menjadi algojo saja. Kalau tidak ada backing dari tentara, orang
sipil di milisi-milisi itu tidak bisa berbuat banyak.’
Ada yang menyatakan bahwa sekalipun pembantaian 1965-1966
diorganisir oleh Angkatan Darat, tetapi adanya ketegangan dan persaingan
tajam antara kelompok komunis dan nonkomunis juga menjadi salah satu
faktor yang mendorong terjadinya pembantaian tersebut. Bagaimana
pendapat Anda mengenai hal ini?
Ketegangan antara PKI dan organisasi anti-komunis sebelum G30S,
misalnya antara PKI dan PNI di Bali, atau PKI dan NU di Jawa Timur,
tidak bisa menjelaskan pembunuhan massal. Orang sipil yang ikut milisi,
seperti Tameng di Bali dan Ansor di Jawa Timur, tidak mampu membunuh
sebegitu banyak orang sendirian. Paling-paling mereka bisa mengorganisir
tawuran-tawuran.
Dalam tawuran-tawuran seperti itu, orang PKI berani
melawan dan tidak akan banyak orang yang gugur. Pembunuhan massal terjadi sesudah banyak orang PKI rela masuk kamp-kamp penahanan. Kemudian tugas milisi menjadi algojo saja. Kalau tidak ada backing
dari tentara, orang sipil di milisi-milisi itu tidak bisa berbuat
banyak. Sekejam apapun orang PKI sebelum G30S (dan kekejaman itu juga
terlalu sering dibesar-besarkan), tetap tidak bisa membenarkan tindakan extra-judicial killing
yang dilakukan milisi maupun tentara. Seharusnya para pelaku pembunuhan
itu malu dan menyesal dengan apa yang mereka perbuat: membunuh orang
yang telah tidak berdaya. Mereka adalah pengecut yang kemudian berpose
sebagai pahlawan perang. Tidak ada perang waktu itu, kecuali dalam
imajinasi orang yang tidak tahu apa itu perang yang sebenarnya.
Menurut Anda, apa dampak pembantaian 1965-1966 yang sampai
sekarang masih terasa, baik terhadap korban maupun rakyat Indonesia
secara umum?
Ya jelas masih terasa. Identitas banga Indonesia berubah total
sesudah 1965. Semangat antikolonialisme hilang dan anti-komunisme
menjadi dasar identitas bangsa. Ini berarti kebencian terhadap sesama
orang Indonesia menjadi basis untuk menentukan siapa warganegara yang
jahat dan baik. Sistem ekonomi dan sistem politik juga berubah total.
Sesudah 1998 orang Indonesia menggali lagi ide-ide dari zaman pra-1965,
dan juga pra-1959 (sebelum Demokrasi Terpimpin): ide-ide tentang rule of law, HAM, sekularisme, dll.
Apa pelajaran yang bisa diambil gerakan Progresif di
Indonesia sekarang agar peristiwa mengerikan semacam G30S itu tidak
terulang kembali?
Peristiwa G30S sendiri sebenarnya tidak begitu mengerikan. Seperti
Bung Karno katakan, G30S merupakan gelombang kecil dalam sejarah
Indonesia yang penuh dengan perang (RMS, DI/TII, PRRI/Permesta) dan
kerusuhan. Berapa kali Bung Karno mau dibunuh? G30S membunuh duabelas
orang (enam jenderal, satu letnan, anaknya Nasution, satpam di rumah
sebelah rumah Leimena, keponakan Maj. Gen. Panjaitan, dan dua perwira di
Jawa Tengah). Yang jauh lebih mengerikan adalah pembunuhan massal yang
terjadi sesudah G30S. Sekarang yang penting menurut saya adalah
upaya-upaya untuk meningkatkan kesadaran di Indonesia tentang
kejahatan-kejahatan yang terjadi pada waktu itu. Secara umum orang
Indonesia tidak tahu apa-apa tentang kejahatan itu. Juga harus ada
pengakuan dari negara bahwa memang tentara dan orang sipil yang
melakukan kejahatan. Extra-judicial killings, penghilangan paksa, penyiksaan, mati kelaparan dalam penjara, semuanya tidak bisa dibenarkan dan tidak bisa ditolerir.
Orang kiri sekarang harus mengoreksi diri juga: selama ini
partai-partai Marxis-Leninis tidak menghargai prinsip-prinsip HAM. Kita
harus belajar bagaimana berpolitik dan berperang melawan imperialisme
dan kapitalisme seraya tetap memegang Universal Declaration of Human
Rights dan Konvensi-konvensi Geneva.
Nama Douwes Dekker mengacu pada nama dua orang. Yang
pertama, Eduard Douwes Dekker, sering menggunakan nama pena “Multatuli”,
adalah penulis novel terkenal berjudul “Max Havelelaar”. Sedangkan yang
kedua adalah Ernest Douwes Dekker, punya nama Indonesia Danudirja
Setiabudhi, adalah pelopor pergerakan nasional Indonesia dan pendiri
organisasi politik bernama Indische Partij.
Kita akan bercerita tentang Ernest Douwes Dekker yang kedua. Ki Hajar
Dewantara, salah seorang rekan seperjuangannya, menyebut Ernest Douwes
Dekker sebagai pencipta Partai Kebangsaan Indonesia—sering disebut Indische Partij.
Tujuan Indische Partij adalah kemerdekaan Hindia. Saat itu,
nama “Indonesia” belum dikenal. Nama “Indonesia” sendiri baru diciptakan
oleh Perhimpunan Indonesia di Deen Haag, Negeri Belanda, pada tahun
1920-1921. Nama Indonesia resmi diadopsi Perhimpunan Indonesia pada
tahun 1922.
Indische Partij didirikan oleh Ernest Douwes Dekker bersama dua tokoh
pergerakan Indonesia lainnya, Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar
Dewantara) dan Tjipto Mangunkusumo. Ketiganya sering dinamai “Tiga
Serangkai”.
Dekat dengan rakyat pribumi
Ernest Douwes Dekker dilahirkan di Pasuruan, Jawa Timur, pada 8
Oktober 1879. Ayahnya bernama Auguste Henri Edouard Douwes Dekker,
seorang agen perbankan. Sedangkan ibunya, Louisa Margaretha Neumann,
seorang indo campuran Jerman-Jawa.
Selepas sekolah di HBS tahun 1897, Ernest harus bekerja sebagai
pengawas di sebuah perusahaan perkebunan di kaki gunung Semeru. Ia
menyaksikan penderitaan rakyat, khususnya buruh-buruh perkebunan kopi,
yang diperlakukan sewenang-wenang oleh pengusaha kopi.
Ernest mundur dari pekerjaan. Konon, kepergiaannya dilepas dengan
kesedihan oleh buruh-buruh di tempatnya bekerja. Ia kemudian pindah
bekerja di sebuah perusahaan gula di Pasuruan. Di sana, ia juga
menyaksikan pencurian air oleh tuan besar pemilik perkebunan. Tindakan
itu sangat merugikan rakyat di sekitar perkebunan. Ernest pun
meninggalkan pekerjaan.
Ernest begitu terpukul begitu ibunya meninggal tahun 1899. Ia sangat
sedih dan frustasi. Di saat itulah ia mendengar berita tentang perang
Boer di Afrika Selatan. Orang Boer adalah orang-orang Belanda yang
bekerja sebagai petani dan memberontak melawan kesewenang-wenangan
Inggris. Ernest pun memilih untuk menjadi pejuang Boer melawan Inggris.
Jurnalis kritis
Pada tahun 1903, ia kembali ke Jawa. Ernest, yang saat itu berusia 24
tahun, memilih bekerja sebagai wartawan. Ernest kini sudah berubah
menjadi seorang yang berfikiran radikal dan anti-penjajahan. Ia sempat
bekerja di surat kabar De Locomotief; dan kemudian bekerja di Surabajaas Handelsblad.
Tulisan-tulisannya sangat pedas mengiritik penguasa. Itu membuatnya
terlempar dari surat kabar ke surat kabar. Sampai akhirnya, ia bekerja
di surat kabar bernama Bataviaas Nieusblad. Di surat kabar ini, Ernest menempati posisi yang cukup vital: pejabat redaksi.
Ernest menjadikan surat kabar ini sebagai cikal bakal pembangunan
gerakan. Di sana, ia merekrut banyak pemuda-pelajar: Soerjopranoto,
Tjokrodirdjo, Tjipto, dan Gunawan Mangoenkoesoemo. Ia juga menjalin
hubungan dengan pemuda-pemuda radikal di STOVIA. Rumahnya menjadi pusat
pertemuan, diskusi, dan rapat-rapat pergerakan.
Bataviaas Nieusblad tak bisa lagi dijadikan alat pergerakan.
Karenanya, Ernest pun keluar dan membuat surat kabar sendiri: mula-mula
membuat majalah bulanan Het Tijdshrift, lalu kemudian mendirikan koran De Express. De Express benar-benar dibuatnya bergaris radikal. Orang-orang menyebutnya “Neo-Multatulian”.
Mendirikan Indische Partij
IP adalah partai politik pertama di Hindia yang menyerukan “Hindia
untuk orang Hindia”. Artinya, kemerdekaan Hindia dari Belanda.
Bung Hatta, ketika memberi ceramah di Gedung Kebangkitan Nasional, 22
Mei 1974, berusaha mengurai perbedaan IP dan Sarekat Islam (SI) sebagai
berikut: “Berlainan dengan Sarekat Islam yang tidak mau bicara politk
dan melarang anggota-anggotanya berpolitik, Indische Partij tegas
menghendaki kemerdekaan hindia dengan jalan parlementer. Jadi menuntut
diadakannya suatu Dewan Perwakilan Rakyat.”
IP resmi berdiri melalui sebuah vergadering di Bandung, 25
Desember 1912. Sedangkan pembentukan IP dan kepengurusanya sudah
dilakukan lebih dahulu. Duduk di kepengurusan pusat (Hoofdbestuur):
Ernest Douwes Dekker sebagai ketua dan Tjipto Mangkukusumo sebagai
wakil.
Tekanan propaganda IP adalah kalangan indo. Pada tahun 1913, dari
dari 7000-an anggota IP, hanya 500-an orang yang pribumi. Takashi
Shiraishi, dalam buku “Zaman Bergerak”, mengatakan, “sekalipun IP sangat didominasi oleh kaum indo, tetapi pengaruhnya di kalangan pribumi tidaklah kecil.” Kehadiran IP sangat penting di masa awal pergerakan. Pertama, IP menampilkan politik yang sangat radikal. Slogan “Hindia untuk orang Hindia”
sangat maju saat itu. Kedua, IP memperkenalkan vergadering-vergadering.
HOS Tjokroaminoto, yang sukses menggelar vergadering di Surabaya pada
tahun 1913, mengaku belajar dari pengalaman vergadering IP.
Douwes Dekker mengatakan, berdirinya IP adalah pernyataan perang,
yaitu sinar terang yang melawan kegelapan, kebaikan melawan kejahatan,
peradaban melawan tirani, budak pembayar pajak kolonial melawan negara
pemungut pajak. “Ini pembalikan terhadap politik etis,” terang Takashi
Shiraishi.
Pada November 1913, bertepatan dengan peringatan 100 tahun
kemerdekaan Belanda atas penjajahan Perancis, ada keinginan pula membuat
perayaan serupa di Indonesia. IP menganggap rencana peringatan itu
sebagai penghinaan bagi bangsa Indonesia yang masih terjajah.
IP melawan rencana itu. Soewardi Soerjaningrat menulis karangan
berjudul “Als ik een Nederlander was…” (“Kalau saya seorang Belanda…”)
Soewardi antara lain menulis: “Apabila saya seorang belanda, saya tidak
akan mengadakan pesta kemerdekaan dalam suatu negeri sedangkan kita
menahan kemerdekaan bangsanya. Sejalan dengan pendapat ini bukan saja
tidak adil melainkan juga tidak pantas apabila bumiputra disuruh
menyumbangkan uang untuk keperluan dana pesta itu. Sudahlah mereka
dihina dengan maksud mengadakan perayaan kemerdekaan Nederland itu,
sekarang dompet mereka dikosongkan pula. Itulah suatu penghinaan moril
dan pemerasan uang!
Gara-gara tulisan itu, Soewardi dan Tjipto ditangkap. Akhirnya,
Douwes Dekker, yang baru pulang dari Belanda, menulis pula karangan
berjudul : “Onze helden” (“Pahlawan Kita”). Ia memuji kepahlawanan
Soewardi dan Tjipto. Douwes Dekker pun ditangkap.
Tiga serangkai ini kemudian dibuang ke eropa. Pada tahun itu juga IP
dibubarkan oleh Gubernur Jenderal Belanda. Sekembalinya ke Jawa, tiga
serangkai kembali berusaha terjun ke politik dengan bergabung di
Insulinde. Namun, karena organisasi ini dianggap terlalu elitis, maka
mereka mendirikan NIP (Nationaal Indische Partij). Organisasi ini pun
segera dibubarkan penguasa kolonial.
Pro-Republik sampai akhir
Pada tahun 1940-an, menjelang kedatangan fasisme, terjadi
penggeledahan besar-besaran terhadap sejumlah tokoh pergerakan di
Indonesia. Douwes Dekker juga ditangkap dan ditahan di Ngawi.
Begitu jepang mendarat di Indonesia, Douwes Dekker diangkut ke
Suriname—salah satu jajahan Belanda di Amerika Selatan. Di sanalah ia
diasingkan oleh penguasa kolonial. Hampir 5 tahun ia ditahan di sana.
Pada tahun 21 januari 1947, melalui perjuangan yang berat, Douwes
Dekker berhasil kembali ke Indonesia. Ia menyelundup dengan nama samara:
Radjiman. Ia langsung bertemu dengan Bung Karno. Bung Karnolah yang
memberi nama “Danudirja Setiabudhi”. Danudirja berarti banteng yang
kuat. Sedangkan Setiabudhi berarti jiwa kuat yang setia.
Di kabinet Sjahrir, Douwes Dekker sempat menjadi salah seorang
menteri pendidikan. Ia juga pernah menjadi penasehat Presiden,
sekretaris politik Perdana Menteri, anggota Dewan Pertimbangan Agung,
dan pengajar di Akademi Ilmu Politik di Jogjakarta. Pada saat agresi
militer Belanda, hampir semua pemimpin Republik ditangka, termasuk
Douwes Dekker.
Pada tahun 1949, Douwes Dekker kembali dan menempati rumah yang sudah
reot di Bandung, Jawa Barat. Pada 28 Agustus 1950, Ernest Douwes Dekker
menghembuskan nafas yang terakhir.
Rudi Hartono, pengurus Komite Pimpinan Pusat– Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pimred Berdikari Online