18 April 2012 | 22:08
Nama Douwes Dekker mengacu pada nama dua orang. Yang
pertama, Eduard Douwes Dekker, sering menggunakan nama pena “Multatuli”,
adalah penulis novel terkenal berjudul “Max Havelelaar”. Sedangkan yang
kedua adalah Ernest Douwes Dekker, punya nama Indonesia Danudirja
Setiabudhi, adalah pelopor pergerakan nasional Indonesia dan pendiri
organisasi politik bernama Indische Partij.
Kita akan bercerita tentang Ernest Douwes Dekker yang kedua. Ki Hajar
Dewantara, salah seorang rekan seperjuangannya, menyebut Ernest Douwes
Dekker sebagai pencipta Partai Kebangsaan Indonesia—sering disebut Indische Partij.
Tujuan Indische Partij adalah kemerdekaan Hindia. Saat itu,
nama “Indonesia” belum dikenal. Nama “Indonesia” sendiri baru diciptakan
oleh Perhimpunan Indonesia di Deen Haag, Negeri Belanda, pada tahun
1920-1921. Nama Indonesia resmi diadopsi Perhimpunan Indonesia pada
tahun 1922.
Indische Partij didirikan oleh Ernest Douwes Dekker bersama dua tokoh
pergerakan Indonesia lainnya, Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar
Dewantara) dan Tjipto Mangunkusumo. Ketiganya sering dinamai “Tiga
Serangkai”.
Dekat dengan rakyat pribumi
Ernest Douwes Dekker dilahirkan di Pasuruan, Jawa Timur, pada 8
Oktober 1879. Ayahnya bernama Auguste Henri Edouard Douwes Dekker,
seorang agen perbankan. Sedangkan ibunya, Louisa Margaretha Neumann,
seorang indo campuran Jerman-Jawa.
Selepas sekolah di HBS tahun 1897, Ernest harus bekerja sebagai
pengawas di sebuah perusahaan perkebunan di kaki gunung Semeru. Ia
menyaksikan penderitaan rakyat, khususnya buruh-buruh perkebunan kopi,
yang diperlakukan sewenang-wenang oleh pengusaha kopi.
Ernest mundur dari pekerjaan. Konon, kepergiaannya dilepas dengan
kesedihan oleh buruh-buruh di tempatnya bekerja. Ia kemudian pindah
bekerja di sebuah perusahaan gula di Pasuruan. Di sana, ia juga
menyaksikan pencurian air oleh tuan besar pemilik perkebunan. Tindakan
itu sangat merugikan rakyat di sekitar perkebunan. Ernest pun
meninggalkan pekerjaan.
Ernest begitu terpukul begitu ibunya meninggal tahun 1899. Ia sangat
sedih dan frustasi. Di saat itulah ia mendengar berita tentang perang
Boer di Afrika Selatan. Orang Boer adalah orang-orang Belanda yang
bekerja sebagai petani dan memberontak melawan kesewenang-wenangan
Inggris. Ernest pun memilih untuk menjadi pejuang Boer melawan Inggris.
Jurnalis kritis
Pada tahun 1903, ia kembali ke Jawa. Ernest, yang saat itu berusia 24
tahun, memilih bekerja sebagai wartawan. Ernest kini sudah berubah
menjadi seorang yang berfikiran radikal dan anti-penjajahan. Ia sempat
bekerja di surat kabar De Locomotief; dan kemudian bekerja di Surabajaas Handelsblad.
Tulisan-tulisannya sangat pedas mengiritik penguasa. Itu membuatnya
terlempar dari surat kabar ke surat kabar. Sampai akhirnya, ia bekerja
di surat kabar bernama Bataviaas Nieusblad. Di surat kabar ini, Ernest menempati posisi yang cukup vital: pejabat redaksi.
Ernest menjadikan surat kabar ini sebagai cikal bakal pembangunan
gerakan. Di sana, ia merekrut banyak pemuda-pelajar: Soerjopranoto,
Tjokrodirdjo, Tjipto, dan Gunawan Mangoenkoesoemo. Ia juga menjalin
hubungan dengan pemuda-pemuda radikal di STOVIA. Rumahnya menjadi pusat
pertemuan, diskusi, dan rapat-rapat pergerakan.
Bataviaas Nieusblad tak bisa lagi dijadikan alat pergerakan.
Karenanya, Ernest pun keluar dan membuat surat kabar sendiri: mula-mula
membuat majalah bulanan Het Tijdshrift, lalu kemudian mendirikan koran De Express. De Express benar-benar dibuatnya bergaris radikal. Orang-orang menyebutnya “Neo-Multatulian”.
Mendirikan Indische Partij
IP adalah partai politik pertama di Hindia yang menyerukan “Hindia
untuk orang Hindia”. Artinya, kemerdekaan Hindia dari Belanda.
Bung Hatta, ketika memberi ceramah di Gedung Kebangkitan Nasional, 22
Mei 1974, berusaha mengurai perbedaan IP dan Sarekat Islam (SI) sebagai
berikut: “Berlainan dengan Sarekat Islam yang tidak mau bicara politk
dan melarang anggota-anggotanya berpolitik, Indische Partij tegas
menghendaki kemerdekaan hindia dengan jalan parlementer. Jadi menuntut
diadakannya suatu Dewan Perwakilan Rakyat.”
IP resmi berdiri melalui sebuah vergadering di Bandung, 25
Desember 1912. Sedangkan pembentukan IP dan kepengurusanya sudah
dilakukan lebih dahulu. Duduk di kepengurusan pusat (Hoofdbestuur):
Ernest Douwes Dekker sebagai ketua dan Tjipto Mangkukusumo sebagai
wakil.
Tekanan propaganda IP adalah kalangan indo. Pada tahun 1913, dari
dari 7000-an anggota IP, hanya 500-an orang yang pribumi. Takashi
Shiraishi, dalam buku “Zaman Bergerak”, mengatakan, “sekalipun IP sangat didominasi oleh kaum indo, tetapi pengaruhnya di kalangan pribumi tidaklah kecil.”
Kehadiran IP sangat penting di masa awal pergerakan. Pertama, IP menampilkan politik yang sangat radikal. Slogan “Hindia untuk orang Hindia”
sangat maju saat itu. Kedua, IP memperkenalkan vergadering-vergadering.
HOS Tjokroaminoto, yang sukses menggelar vergadering di Surabaya pada
tahun 1913, mengaku belajar dari pengalaman vergadering IP.
Douwes Dekker mengatakan, berdirinya IP adalah pernyataan perang,
yaitu sinar terang yang melawan kegelapan, kebaikan melawan kejahatan,
peradaban melawan tirani, budak pembayar pajak kolonial melawan negara
pemungut pajak. “Ini pembalikan terhadap politik etis,” terang Takashi
Shiraishi.
Pada November 1913, bertepatan dengan peringatan 100 tahun
kemerdekaan Belanda atas penjajahan Perancis, ada keinginan pula membuat
perayaan serupa di Indonesia. IP menganggap rencana peringatan itu
sebagai penghinaan bagi bangsa Indonesia yang masih terjajah.
IP melawan rencana itu. Soewardi Soerjaningrat menulis karangan
berjudul “Als ik een Nederlander was…” (“Kalau saya seorang Belanda…”)
Soewardi antara lain menulis: “Apabila saya seorang belanda, saya tidak
akan mengadakan pesta kemerdekaan dalam suatu negeri sedangkan kita
menahan kemerdekaan bangsanya. Sejalan dengan pendapat ini bukan saja
tidak adil melainkan juga tidak pantas apabila bumiputra disuruh
menyumbangkan uang untuk keperluan dana pesta itu. Sudahlah mereka
dihina dengan maksud mengadakan perayaan kemerdekaan Nederland itu,
sekarang dompet mereka dikosongkan pula. Itulah suatu penghinaan moril
dan pemerasan uang!
Gara-gara tulisan itu, Soewardi dan Tjipto ditangkap. Akhirnya,
Douwes Dekker, yang baru pulang dari Belanda, menulis pula karangan
berjudul : “Onze helden” (“Pahlawan Kita”). Ia memuji kepahlawanan
Soewardi dan Tjipto. Douwes Dekker pun ditangkap.
Tiga serangkai ini kemudian dibuang ke eropa. Pada tahun itu juga IP
dibubarkan oleh Gubernur Jenderal Belanda. Sekembalinya ke Jawa, tiga
serangkai kembali berusaha terjun ke politik dengan bergabung di
Insulinde. Namun, karena organisasi ini dianggap terlalu elitis, maka
mereka mendirikan NIP (Nationaal Indische Partij). Organisasi ini pun
segera dibubarkan penguasa kolonial.
Pro-Republik sampai akhir
Pada tahun 1940-an, menjelang kedatangan fasisme, terjadi
penggeledahan besar-besaran terhadap sejumlah tokoh pergerakan di
Indonesia. Douwes Dekker juga ditangkap dan ditahan di Ngawi.
Begitu jepang mendarat di Indonesia, Douwes Dekker diangkut ke
Suriname—salah satu jajahan Belanda di Amerika Selatan. Di sanalah ia
diasingkan oleh penguasa kolonial. Hampir 5 tahun ia ditahan di sana.
Pada tahun 21 januari 1947, melalui perjuangan yang berat, Douwes
Dekker berhasil kembali ke Indonesia. Ia menyelundup dengan nama samara:
Radjiman. Ia langsung bertemu dengan Bung Karno. Bung Karnolah yang
memberi nama “Danudirja Setiabudhi”. Danudirja berarti banteng yang
kuat. Sedangkan Setiabudhi berarti jiwa kuat yang setia.
Di kabinet Sjahrir, Douwes Dekker sempat menjadi salah seorang
menteri pendidikan. Ia juga pernah menjadi penasehat Presiden,
sekretaris politik Perdana Menteri, anggota Dewan Pertimbangan Agung,
dan pengajar di Akademi Ilmu Politik di Jogjakarta. Pada saat agresi
militer Belanda, hampir semua pemimpin Republik ditangka, termasuk
Douwes Dekker.
Pada tahun 1949, Douwes Dekker kembali dan menempati rumah yang sudah
reot di Bandung, Jawa Barat. Pada 28 Agustus 1950, Ernest Douwes Dekker
menghembuskan nafas yang terakhir.
Rudi Hartono, pengurus Komite Pimpinan Pusat– Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pimred Berdikari Online
http://www.berdikarionline.com/douwes-dekker-dan-perjuangan-nasional-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar