by defiana dolorossa | http://www.memobee.com/kesaksian-tjakrabirawa-yang-mengeksekusi-mayjen-m-t-haryono-ini-membuka-tabir-rahasia-g30s-pki-3277-sms.html
Benedict Anderson menemukan indikasi bahwa eksekutor lapangan
Tjakrabirawa yang menculik para jenderal adalah "komunitas Madura", yang
di antaranya sudah dikenal oleh Ali Moertopo, intelijen Soeharto sejak
1950-an.
Lelaki tua itu duduk bersandar di atas sebuah dipan besi. Dengan
susah payah ia menyuapkan nasi dan lauk itu ke mulutnya. Beberapa butir
nasi jatuh di atas seprai. Sudah enam bulan ini Boengkoes, nama lelaki
82 tahun itu, terbaring lemah di tempat tidur. Stroke melumpuhkannya.
Mantan bintara Tjakrabirawa itu, seperti dilihat Tempo di rumah anaknya
di Besuki, Situbondo, Jawa Timur, kini menghabiskan sisa hidupnya di
atas dipan besi. Boengkoes adalah salah seorang pelaku dalam tragedi 30
September 1965. Pria berdarah Madura, yang saat itu berpangkat sersan
mayor, ini bertugas menjemput Mayor Jenderal M.T. Harjono, Deputi III
Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Dalam sebuah wawancara dengan
Tempo setelah bebas dari LP Cipinang pada 1999, Boengkoes menceritakan
tugasnya itu dengan terperinci. Pada 30 September 1965 sekitar pukul
15.00. "Dalam briefing itu dikatakan ada sekelompok jenderal yang akan
'mengkup' Bung Karno, yang disebut Dewan Jenderal. Wah, ini gawat,
menurut saya."
Mantan Tjakrabirawa Sersan Mayor Boengkoes bercerita mengenai kronologi
aksi mereka dalam peristiwa G30S. Ia dan kawan-kawannya merasa ditipu
dan dimanfaatkan.
Ia menyangka perintah itu baru akan dilaksanakan setelah 5 Oktober
1965. Namun, pada pukul 08.00, dipimpin oleh Dul Arief, pasukannya
kembali ke Halim. Sekitar pukul 03.00 keesokan harinya, kata Boengkoes,
komandan komandan pasukan berkumpul lagi. "Lalu, pasukan Tjakra dibagi
tujuh oleh Dul Arief dan dikasih tahu sasarannya. Saya kebagian (Mayor)
Jenderal M.T. Harjono," ujar Boengkoes. Boengkoes kemudian berhasil
menembak M.T. Harjono. "Setelah sampai sana (Lubang Buaya), mayatnya
saya serahkan ke Pak Dul Arief." Seluruh pengakuan Boengkoes ini menarik
minat Ben Anderson, Indonesianis dari Universitas Cornell. Ben pada
2002 sampai datang lagi ke Indonesia menemui Boengkoes di Besuki.
Pertemuannya itu menghasilkan paper setebal 61 halaman, The World of
Sergeant-Mayor Bungkus, yang dimuat di Jurnal Indonesia Nomor 78,
Oktober 2004.
Paper ini, menurut Ben, melengkapi Cornell Paper
yang terkenal itu. Pada 1966—setahun setelah peristiwa berdarah—bersama
Ruth McVey dan Fred Bunnel, Ben menulis Cornell Paper. Pada saat itu Ben
mengira bahwa inti serdadu yang bergerak di lapangan adalah orang-orang
Jawa. Anggapan ini berubah setelah Ben bertemu dengan Boengkoes. Ia
melihat fakta menarik bahwa hampir semua serdadu yang ditugasi menculik
berdarah Madura. Pimpinan lapangannya juga berdarah Madura.
Pimpinan lapangan penculikan, seperti dikatakan Boengkoes di atas,
adalah Dul Arief. Dul Arief adalah serdadu berdarah Madura. Nah, menurut
Ben, Dul Arief adalah orang yang sangat dekat dengan Ali Moertopo,
intelijen Soeharto. Dul dikenal Ali sejak Benteng Raiders memerangi
Darul Islam di Jawa Tengah dan Jawa Barat pada 1950-an.
Perihal
apakah benar Dul Arief dekat dengan Ali Moertopo, Tempo mencoba
mengecek kepada Letnan Kolonel Udara (Purnawirawan) Heru Atmodjo, yang
oleh Untung diikutkan dalam Dewan Revolusi. Heru sendiri berdarah
Madura. Dan ternyata jawabannya mengagetkan: "Dul Arief itu anak angkat
Ali Moertopo," kata Heru kepada Erwin Dariyanto, dari Tempo.
Dalam paper Ben, anggota Tjakra lain yang berdarah Madura adalah
Djahurup. Ini pun informasi menarik. Sebab, Djahurup, oleh Letnan
Kolonel CPM (Purnawirawan) Suhardi diceritakan (baca: Perwira Kesayangan
Soeharto), adalah orang yang ingin menerobos Istana pada 29 September,
tapi kemudian dihadangnya.
Ben menemukan fakta bahwa ternyata Boengkoes telah mengenal akrab Dul
Arief sejak 1947. Saat itu mereka bergabung dalam Batalion Andjing Laut
di Bondowoso. Boengkoes mengawali karier semasa revolusi di Batalion
Semut Merah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 1945 di Situbondo.
Setelah Semut Merah dihancurkan Belanda pada Juli 1947, ia bergabung
dengan Batalion Andjing Laut di Bondowoso dengan pangkat prajurit satu.
Sebagian besar personel Andjing Laut adalah orang-orang setempat
keturunan Madura.
Selama clash kedua dengan Belanda, Boengkoes
bertempur di sejumlah daerah, seperti di Kediri, Madiun, dan Yogyakarta.
Ia juga pernah bertugas di Seram. Pada 1953, pasukan Andjing Laut
ditarik dari Seram. Seluruh personel Andjing Laut tak kembali ke
Brawijaya, melainkan bergabung dengan Divisi Diponegoro di Salatiga,
Jawa Tengah.
Di Divisi Diponegoro, nomor batalion berubah dari
701 menjadi 448. Namun, nama Andjing Laut tetap mereka pertahankan.
Kemudian Andjing Laut menjadi bagian dari Brigade Infanteri. Hampir
seluruh personelnya berdarah Madura. "Dul Arief, Djahurup, dan Boengkoes
berada dalam satu batalion 448 Kodam Diponegoro," kata Heru Atmodjo.
Dan yang mengejutkan lagi: "Komandannya waktu itu Kolonel Latief," kata
Heru.
Itu artinya, dapat kita simpulkan bahwa Kolonel Latief
pun sudah mengenal para eksekutor Tjakrabirawa sejak dulu. Setelah
menyelesaikan Sekolah Kader Infanteri, Boengkoes dipindah ke Cadangan
Umum di Salatiga. Cadangan Umum adalah gabungan pasukan Garuda I dan II
yang baru pulang bertugas di Kongo. Ada dua unit pasukan Cadangan Umum
di Semarang, yakni baret hijau di Srondol dan baret merah di Mudjen. Dan
informasi yang mengagetkan lagi: komandan baret hijau di Srondol saat
itu, menurut Boengkoes, adalah Untung!
Ketika bertugas di
Cadangan Umum inilah Boengkoes direkrut masuk Banteng Raiders I di
Magelang. Tak lama kemudian ia direkrut pasukan Tjakrabirawa. Meski
sudah bersama dengan Untung sejak di Banteng Raiders, Boengkoes mengaku
kepada Ben Anderson baru bertemu dengan Untung ketika sudah di Jakarta.
"Saya belum kenal dia waktu di Srondol," tuturnya.
Boengkoes
tidak menghadapi kesulitan saat masuk Tjakrabirawa. Padahal Boengkoes
menderita wasir dan disentri. "Penyakit itu saya sudah katakan. Tapi
besoknya, saya diberi tahu bahwa saya sehat. Jadi saya senang."
Boengkoes tak sendirian. Ada seratusan personel Banteng Raiders yang
juga lolos seleksi. "Dari Jawa Tengah, jumlah kami yang lolos seleksi
cukup untuk membentuk satu kompi," ujar Boengkoes. Tugas mereka
menggantikan Polisi Militer berjaga di Istana Presiden.
Kepada
Ben, Boengkoes menyebut Dul Arief sebagai kawan sehidup-semati. Keduanya
kerap berbincang dalam bahasa Madura. Bongkoes bercerita, suatu waktu
dia dan Dul Arief pergi jalan-jalan ke Pasar Senen, Jakarta. Di sebuah
pertigaan, ada warung cendol. Di papan namanya tertulis "Dawet
Pasuruan". Ada dua gadis berparas manis yang membantu pedagang cendol
itu.
"Kami duduk ngobrol dan ngrasani gadis itu dengan bahasa Madura.
Tapi kok mereka kemudian tersenyum senyum. Saya mulai curiga," ujar
Boengkoes. Ternyata kemudian, pemilik warung tersebut mengaku berasal
dari Pasuruan, Jawa Timur.
Dan kedua gadis tersebut mengerti
bahasa Madura. "Wah, mati aku," ujar Boengkoes. Yang aneh, menurut Ben
Anderson, setelah tragedi September itu Dul Arief, si anak angkat Ali
Moertopo, dan Djahurup seolah hilang tak berbekas. Menurut Heru,
beberapa hari setelah G-30-S dinyatakan gagal, 60 anggota Batalion I
Kawal Kehormatan Tjakrabirawa berusaha lari dari Jakarta menuju Jawa
Tengah. Di Cirebon, pasukan CPM menghadang mereka. Kepada Tempo, Maulwi
Saelan, mantan Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, menceritakan ke-60
orang tersebut mampir di sebuah asrama TNI di Cirebon karena tidak
membawa bekal makanan. Salah satu prajurit di asrama tersebut
berinisiatif melapor kepadanya. "Saya perintahkan mereka untuk ditahan
dulu. Pasukan dari Jakarta yang akan menjemput," kata Maulwi.
Tapi kemudian Dul Arief dan Djahurup hilang, lenyap. Hanya Kopral
Hardiono, bawahan Dul Arief, yang kemudian disidang di Mahkamah Militer
Luar Biasa pada 1966 dan dituduh bertanggung jawab atas penculikan para
jenderal tersebut.
"Dul Arief dan Djahurup tidak bisa
dihadirkan dalam persidangan (Mahmilub)," kata Heru. Apakah keduanya
"diamankan" Ali Moertopo? Entahlah.
“Gelap. Saya coba cari stop kontak, saya raba-raba dinding. Tiba-tiba
ada bayangan putih lari. Anak buah saya berteriak, 'Pak, ada bayangan
putih.' Saya mengangkat senjata dan dor...."
Penembak itu adalah Boengkoes, mantan bintara Tjakrabirawa. Pangkat
terakhirnya sebelum mendekam selama 33 tahun di Lembaga Pemasyarakatan
Cipinang, Jakarta, adalah sersan mayor. Menurut Hernawati, anak kedua
Boengkoes, sudah enam bulan ini ayahnya tergolek lemah karena stroke. Ia
susah berbicara. Tangan dan kedua kakinya setengah lumpuh. Ia kini
terbaring di rumah anak keempatnya, Juwatinah, yang berdempetan dengan
rumah Hernawati di Jalan PG Demaas, Dusun Kalak, Desa Demaas, Kecamatan
Besuki, Situbondo, Jawa Timur.
Hernawati tak mengizinkan Tempo
menemui ayahnya. Ia hanya mengizinkan Slamet Wagiyanto, 30 tahun, anak
keduanya, untuk memotret sang kakek. "Percuma, Bapak tidak bisa bicara
dan ingat apa pun," ujar Hernawati. Boengkoes tinggal di Situbondo
setelah mendapatkan grasi dari Presiden B.J. Habibie pada 25 Maret 1999.
Di kota inilah istri dan anak-anaknya tinggal setelah Boengkoes masuk
bui. Sebelumnya, keluarga Boengkoes tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Ia
menikah dengan Jumaiyah (kini 70 tahun) dan dianugerahi enam anak.
Hernawati berkisah, sebelum menderita stroke, ayahnya lebih banyak
menghabiskan waktunya di pekarangan belakang rumah. Di atas lahan
berukuran 10 x 15 meter itu, Boengkoes merawat 10 ayam kampung dan suka
menanam pisang. "Ayamnya sekarang tinggal tiga ekor karena nggak ada
yang ngerawat lagi," kata Hernawati.
Hobi lain lelaki kelahiran
Desa Buduan, Besuki, itu adalah menyanyikan lagu keroncong. Lagu
favoritnya: Sepasang Mata Bola dan Bengawan Solo. Menurut Hernawati,
hanya itulah kegiatan Boengkoes setelah bebas dari bui. Ia tak aktif di
kegiatan kampung. Boengkoes juga tak pernah bertemu dengan temantemannya
sesama mantan tahanan politik.
Kepada anak-anaknya pun ia tak
pernah bercerita tentang pengalamannya di dalam penjara atau saat
berdinas di Tjakrabirawa. Hernawati mengatakan ayahnya tak mau menambah
beban keluarganya. Dulu, setiap tahun beban itu terasa makin berat
ketika televisi memutar film Pengkhianatan G-30-S/PKI. Saat film itu
diputar, keluarganya tak pernah berani keluar dari rumah. Hampir seisi
kampung tahu Boengkoes terlibat dalam pembunuhan para jenderal.
Letkol Untung bin Samsuri (tengah) ketika tertangkap dalam pelariannya.
Kepada kawan-kawannya di sel tahanan seperti yang diceritakan kepada Ben
Anderson, Letkol Untung yakin lolos dari eksekusi karena kedekatannya
dengan Mayjen Soeharto. Namun ia tetap saja dieksekusi mati
Namun, sepahit apa pun pengalaman masa lalu ayahnya, Hernawati tetap
yakin ayahnya tak bersalah. "Ayah cuma bawahan yang menjalankan perintah
atasan," tuturnya. Boengkoes pada 1999, selepas keluar dari penjara,
dalam sebuah kesempatan wawancara, mengatakan hal yang sama, "Nggak ada,
tentara kok merasa bersalah, mana ada...."
Boengkoes kini
terkena stroke. Entah apakah ia masih ingat detik-detik ketika masuk
mendobrak rumah M.T. Harjono. Thompsonnya melepaskan tembakan pada
bayangan putih itu. Dan, saat lampu dinyalakan, tubuh M.T. Harjono tak
berdaya. Peluru menembus tubuhnya dari punggung sampai perut.
Diorama yang menggambarkan saat-saat Sersan mayor Boengkoes dan
anggotanya menembak mati Mayjen M.T. Harjono di kamar sang jenderal
Di depan Mahkamah Militer Luar Biasa, Untung menghadirkan saksi
Perwira Rudhito Kusnadi Herukusumo, yang mendengar rekaman rahasia rapat
Dewan Jenderal.
Letnan Kolonel Untung bin Syamsuri layaknya seorang pelaku kriminal.
Turun dari panser, lelaki cepak bertubuh tegap itu tampak menggigil
ketakutan. Kepalanya menunduk, takut menatap ratusan orang yang tak
henti menghujatnya. Bekas Komandan Batalion I Tjakrabirawa itu juga
gamang ketika akan menembus barikade massa Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia, yang menyemut di pelataran parkir gedung Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, Jakarta.
Kala itu, Rabu, 23 Februari
1966, pukul 9 pagi. Di lantai dua gedung di Jalan Taman Suropati Nomor 2
itu, Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) mengadili Untung, 40 tahun,
bekas Ketua Dewan Revolusi Indonesia, dengan tuduhan makar.
Saat akan memasuki gedung itulah Untung terus mendapat hujatan dan
cemoohan massa. Letnan I Dra Sri Hartani, yang saat itu menjadi
protokoler atau semacam pembawa acara sidang, ingat intimidasi massa
tersebut membuat nyali Untung ciut. "Untung terlihat takut dan tidak
terlihat seperti ABRI. Padahal kalau ABRI tidak begitu," kata Sri, kini
69 tahun, kepada Tempo di rumahnya di Jakarta Pusat pada pertengahan
September lalu.
Sri menyatakan Untung menjadi orang kedua
setelah Njono, tokoh Partai Komunis Indonesia, yang diperiksa dan
diadili di Mahmilub 2 Jakarta. Di depan Mahmilub, Untung sangat yakin
bahwa Dewan Jenderal itu ada. Menurut Untung, ia mendengar adanya Dewan
Jenderal dari Rudhito Kusnadi Herukusumo, seorang perwira menengah Staf
Umum Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat-6. Untung mengatakan,
kepada dirinya, Rudhito mengaku mendengar rekaman tape hasil rapat Dewan
Jenderal pada 21 September 1965 di gedung Akademi Hukum Militer (AHM),
Jalan Dr Abdurrachman Saleh I, Jakarta.
Rekaman itu berisi
pembicaraan tentang kudeta dan susunan kabinet setelah kudeta. Itu
sebabnya, Untung ngotot menghadirkan Rudhito sebagai saksi dalam
persidangan. Rudhito kemudian dihadirkan di Mahmilub 2. Dalam
kesaksiannya, seperti dapat kita baca dalam buku proses mahmilub Untung
(1966), Rudhito memang mengaku pernah melihat tape rekaman tersebut dan
sudah melaporkannya kepada Presiden Soekarno.
Rudhito
menjelaskan, dirinya menerima tape rekaman yang dia dengar dan catatan
tentang isinya pada 26 September 1965 di ruangan depan gedung Front
Nasional. Dia menerima bukti itu dari empat orang, yakni Muchlis
Bratanata dan Nawawi Nasution, keduanya dari Nahdlatul Ulama, plus
Sumantri Singamenggala dan Agus Herman Simatoepang dari IP-KI.
Menurut Rudhito, keempat orang itu mengajaknya membantu melaksanakan
rencana-rencana Dewan Jenderal. Mereka mengajak karena kapasitasnya
selaku Ketua Umum Ormas Central Comando Pendukung Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Rencana Dewan Jenderal itu adalah mengudeta Soekarno
seperti cara-cara di luar negeri. Misalnya Soekarno akan disingkirkan
seperti matinya Presiden Republik Korea Selatan Sihgman Ree.
Selanjutnya, tutur Rudhito, jika belum berhasil, akan dibuat seperti
hilangnya Presiden Bhao dari Vietnam Selatan. "Kalau masih tidak bisa
juga, Soekarno akan 'di-Ben Bella-kan’," pria berusia 40 tahun ini
menjelaskan isi rekaman di depan Mahkamah. "Di-Ben Bella-kan" maksudnya
adalah dikudeta dengan cara seperti Jenderal Boumedienne terhadap
Presiden Aljazair bernama Ahmad Ben Bella.
Lebih jauh rekaman
tersebut, menurut Rudhito, juga berisi pembicaraan mengenai siapa nanti
yang duduk dalam kabinet apabila kudeta sukses dijalankan. Ada nama
Jenderal Abdul Haris Nasution sebagai calon perdana menteri, Letnan
Jenderal Ahmad Yani sebagai wakil perdana menteri I merangkap menteri
pertahanan dan keamanan, Letnan Jenderal Ruslan Abdul Gani sebagai wakil
perdana menteri II merangkap menteri penerangan, dan Mayor Jenderal S.
Parman sebagai menteri jaksa agung serta masih ada beberapa nama lagi.
"Dalam rekaman, saya ingat almarhum Jenderal S. Parman yang
membacakan susunan kabinet itu," ujar Rudhito. Bukti dokumen-dokumen
Dewan Jenderal, menurut Rudhito, sebagian besar ada pada Brigadir
Jenderal Supardjo. Dokumen itu juga sudah sampai di tangan Presiden
Soekarno, Komando Operasi Tertinggi Retuling Aparatur Revolusi dan
Departemen Kejaksaan Agung.
Nah, dari dokumen yang dipegang
Supardjo itu sebenarnya terendus ada uang cek penerimaan dari luar
negeri untuk anggota Dewan Jenderal yang aktif. "Kalau tidak salah hal
itu telah dipidatokan Presiden Soekarno bahwa uang Rp 150 juta itu
merupakan suatu fondsen atau dana pensiun bagi masing-masing anggota
Dewan Jenderal yang aktif," tutur Rudhito.
Hanya,
Rudhito—mengaku di Mahmilub— tak menyimpan tape rekaman itu. Dan hal itu
dinilai oleh Mahkamah sebagai unus testis nullus testis, yang berarti
keterangan saksi sama sekali tak diperkuat alat-alat bukti lainnya,
sehingga tak mempunyai kekuatan bukti sama sekali. Selain itu, apa yang
dikemukakan Rudhito, menurut Mahkamah, sama sekali tak benar. Rapat
Dewan Jenderal yang diadakan di gedung AHM pada 21 September 1965
nyatanya cuma suatu commander's call Komando Pendidikan dan Latihan
Angkatan Darat—berdasarkan surat bukti hasil rapat tersebut yang didapat
Mahkamah.
Mahkamah berpendapat, Dewan Jenderal yang hendak
melakukan kudeta ternyata baru merupakan info yang bersumber dari Sjam
Kamaruzzaman dan Pono—utusan Ketua CC PKI D.N. Aidit—yang tak terbukti
kebenarannya. Berdasarkan itu, Mahkamah memvonis Untung bersalah karena
melakukan kejahatan makar, pemberontakan bersenjata, samen-spanning atau
konspirasi jahat, dan dengan sengaja menggerakkan orang lain melakukan
pembunuhan yang direncanakan.
Ahad, 6 Maret 1966, Mahkamah
memutuskan menghukum Untung dengan hukuman mati. Saat itu yang bertindak
sebagai hakim ketua adalah Letnan Kolonel Soedjono Wirjohatmojo, SH,
dengan oditur Letnan Kolonel Iskandar, SH, dan panitera Kapten Hamsil
Rusli. Dan tak lama berselang Untung dikabarkan meregang nyawa di depan
regu tembak.
“Cornell Paper", yang disusun Ben Anderson dan Ruth McVey
setelah meletus Gerakan 30 September, mengesankan bahwa gerakan itu
merupakan peristiwa internal Angkatan Darat dan terutama menyangkut
Komando Daerah Militer Diponegoro. Tentu saja pandangan tersebut
merupakan versi awal yang belum lengkap walau tetap menarik untuk diulas
dan diteliti lebih lanjut.
Setelah tiga dekade di penjara,
Soebandrio, Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri/Kepala Badan Pusat
Intelijen, mengelaborasi versi di atas. Walaupun sama-sama berasal dari
Diponegoro, terdapat trio untuk dikorbankan (Soeharto, Untung, Latief)
dan ada trio untuk dilanjutkan (Soeharto, Yoga Soegama, dan Ali
Moertopo). Dari dua trio itu terlihat bahwa baik pelaku gerakan maupun
pihak yang menumpasnya berasal dari komando daerah militer yang sama,
yakni Kodam Diponegoro. Itu pula yang menjelaskan bahwa gerakan tersebut
tampil hanya di Jakarta dan di wilayah Kodam Diponegoro (Semarang dan
Yogyakarta) dan dapat dipadamkan dalam hitungan hari. Alasan itulah yang
digunakan kenapa Soeharto tidak masuk daftar orang yang diculik: ia
dianggap "kawan", minimal "bukan musuh". Soeharto dan Latief sama-sama
ikut dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, yang kemudian dijadikan hari
sangat bersejarah oleh pemerintah Orde Baru.
Pada malam 30
September 1965, Latief menemui Soeharto di Rumah Sakit Pusat Angkatan
Darat Gatot Subroto, Jakarta. Bahkan beberapa hari sebelumnya, Latief
bersama istrinya sempat berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan Agus
Salim. Walau tidak sedekat dengan Latief, Soeharto berhubungan baik
dengan Untung. Kabarnya, sewaktu Untung menikah di Kebumen, Soeharto
menghadirinya. Di jalur yang lain, hubungan Yoga Soegama dan Ali
Moertopo terbina ketika mereka melakukan serangkaian manuver untuk
mendukung Soeharto menjadi Komandan Teritorium IV, yang kemudian menjadi
Kodam Diponegoro.
Ketika pasukan Tjakrabirawa dibentuk pada 6
Juni 1962, terdapat satu batalion Angkatan Darat. Sejak Mei 1965,
batalion ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, yang karena
keberaniannya dalam operasi Tritura mendapatkan Bintang Sakti. Ada
informasi yang perlu diteliti lagi bahwa Kapten Rochadilah yang
"mengajak" Untung bergabung ke pasukan pengamanan presiden.
Rochadi adalah anggota Tjakrabirawa yang ikut dalam salah satu rombongan
delegasi Indonesia ke Beijing pada 25 September 1965 dan sejak itu
terhalang pulang. Terakhir ia memperoleh suaka di Swedia dan berganti
nama menjadi Rafiuddin Umar (meninggal pada 2005). Di kalangan eksil 65
di Swedia, ia agak tertutup. Kapten Rochadi berasal dari batalion yang
pernah dipimpin Letnan Kolonel Untung di Kodam Diponegoro.
Ben Anderson memulai analisisnya dengan mengutarakan karakter "Jawa"
dari Divisi Diponegoro yang Panglima Kodamnya sejak awal sampai 1965
berasal dari "Yogya-Banyumas-Kedu". Sulit dibayangkan seorang Batak atau
Minahasa menjadi Panglima Kodam Diponegoro, seperti yang terjadi pada
Kodam Siliwangi. Kodam Diponegoro berada pada wilayah yang sangat padat
penduduk, pangan tidak seimbang, serta berpaham komunisme dan sentimen
anti-aristokrat cukup kuat. Ketidakpuasan muncul di kalangan perwira
Diponegoro, seperti Kolonel Suherman, Kolonel Marjono, dan Letnan
Kolonel Usman Sastrodibroto (dan di Jakarta terdapat Kolonel Latief dan
Letnan Kolonel Untung) terhadap para perwira tinggi yang dinilai hidup
mewah di tengah kemiskinan rakyat, termasuk tentara.
Stroke
ringan yang dialami Presiden Soekarno (4 Agustus 1965), beredarnya
dokumen Gilchrist dan isu Dewan Jenderal akan melakukan kudeta (5
Oktober 1965) menambah panas suasana politik. Sebagai komandan batalion
militer dalam pasukan yang tugasnya mengamankan presiden, Untung
"terpanggil" untuk menyelamatkan presiden dari ancaman para jenderal
tersebut dengan "mendului" mereka melalui Gerakan 30 September.
Walaupun namanya tertulis sebagai komandan gerakan tersebut, kenyataan
di lapangan memperlihatkan bahwa Untung bukanlah pemimpin utama aksi
ini, karena berbagai hal ditentukan oleh Sjam Kamaruzzaman dari Biro
Chusus PKI. Ketika banyak persiapan (tank, senjata, logistik, dan
personel) masih kacau, Untung tidak mengambil keputusan menunda aksi
ini.
Mereka lebih mendengar Sjam, yang berujar, "Kalau mau
revolusi ketika masih muda, jangan tunggu sampai tua, "dan "Ketika awal
revolusi banyak yang takut, tetapi ketika revolusi berhasil semua ikut."
Gerakan 30 September yang dilakukan secara ceroboh itu rontok dalam
hitungan hari. Dokumen Supardjo—dianggap cukup sahih—memperlihatkan
bahwa kelemahan utama Gerakan 30 September adalah tidak adanya satu
komando. Terdapat dua kelompok pimpinan, yakni kalangan militer (Untung,
Latief, dan Sudjono) dan pihak Biro Chusus PKI (Sjam, Pono, dan Bono).
Sjam memegang peran sentral karena ia berada dalam posisi penghubung di
antara kedua pihak ini. Namun, ketika upaya ini tidak mendapat dukungan
dari Presiden Soekarno, bahkan diminta agar dihentikan, kebingungan
terjadi. Kedua kelompok itu terpecah. Kalangan militer ingin mematuhi,
sedangkan Biro Chusus melanjutkan.
Ini dapat menjelaskan
mengapa antara pengumuman pertama dan kedua serta ketiga terdapat selang
waktu sampai lima jam. Sesuatu yang dalam upaya kudeta merupakan
kesalahan besar. Pada pagi hari, mereka mengumumkan bahwa presiden dalam
keadaan selamat. Sedangkan pengumuman berikutnya pada siang hari sudah
berubah drastis (pembentukan Dewan Revolusi dan pembubaran kabinet).
Jadi, dalam tempo lima jam, operasi "penyelamatan Presiden Soekarno"
berubah 180 derajat menjadi "percobaan makar melalui radio".
Uraian di atas sekali lagi memperlihatkan bahwa Untung bukanlah komandan
Gerakan 30 September yang sesungguhnya. Ia bisa diatur oleh Sjam
Kamaruzzaman. Untung dieksekusi pada 1969. Sebelumnya, di penjara
Cimahi, ia menuturkan kepada Heru Atmodjo (Letnan Kolonel Udara Heru
Atmodjo pada 1965 menjabat Asisten Direktur Intelijen AURI) bahwa ia
tidak percaya akan ditembak mati karena hubungan baiknya dengan Jenderal
Soeharto. Namun, Untung memang tidak beruntung.
Resimen Khusus Tjakrabirawa dibentuk berdasarkan Surat Keputusan
Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia No. 211/PLT/1962
tanggal 5 Juni 1962. Tjakrabirawa dibentuk sebagai suatu resimen khusus
di bawah Presiden yang diberi tanggung jawab penuh untuk menjaga
keselamatan pribadi Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik
Indonesia beserta keluarganya. Resimen ini terdiri atas Detasemen Kawal
Pribadi, Batalion Kawal Pribadi, dan Batalion Kawal Kehormatan.
Pembentukan Tjakrabirawa merupakan tanggapan strategis atas upaya
pembunuhan terhadap Presiden Soekarno, yang terjadi pada 14 Mei 1962
saat Presiden bersembahyang Idul Adha di Masjid Baitturahman di kompleks
Istana Merdeka, Jakarta.
Sebagai suatu resimen khusus,
Tjakrabirawa dipersiapkan sebagai suatu kesatuan militer yang memiliki
kualifikasi setingkat kesatuan komando. Dalam suatu wawancara dengan
Benedict Anderson dan Arief Djati (Indonesia No. 78, Oktober 2004),
mantan komandan peleton Tjakrabirawa, Sersan Mayor Boengkoes,
menceritakan sulitnya rangkaian tes yang harus dijalani oleh seorang
prajurit ABRI untuk dapat bergabung di Tjakrabirawa.
Tidak
seperti pembentukan kesatuan-kesatuan baru lainnya yang sekadar
mengandalkan penggabungan dari beberapa peleton dan kompi untuk
membentuk satu batalion, resimen khusus Tjakrabirawa dibentuk
berdasarkan kumpulan individu yang berhasil lulus dari rangkaian tes
seleksi. Keketatan tes seleksi Tjakrabirawa tampak dari data bahwa hanya
3-4 prajurit dari satu kompi suatu batalion yang berkualifikasi raider
atau paratrooper atau airborne yang mendapat panggilan untuk mengikuti
tes seleksi.
Letnan Kolonel Untung, yang berperan sebagai
pimpinan militer Gerakan 30 September, misalnya, dari 1954 sampai 1965
bertugas di Batalion 454 Banteng Raiders yang memiliki kualifikasi
paratroop-airborne. Pada 1961, Untung memimpin salah satu kompi relawan
dalam Operasi Naga yang mengawali tahap infiltrasi penyerbuan Irian
Barat di bawah pimpinan Panglima Komando Mandala Mayor Jenderal
Soeharto.
Atas keberaniannya dalam Operasi Naga, Untung,
bersama L.B. Moerdani sebagai pimpinan kompi relawan lainnya,
mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dari Presiden Soekarno. Pada
Februari 1965, Letkol Untung, yang saat itu menjabat Komandan Batalion
454 Banteng Raiders, dipromosikan menjadi Komandan Batalion I
Tjakrabirawa.
Kualifikasi khusus yang dimiliki Tjakrabirawa
tidak langsung menjadikan Tjakrabirawa suatu kesatuan militer yang mampu
melakukan kudeta pada 1 Oktober 1965. Kompi Tjakrabirawa di bawah
pimpinan Letnan Satu Dul Arief dipilih menjadi penjuru Pasukan Pasopati
untuk melaksanakan operasi penculikan para jenderal karena kesatuan ini
berada langsung di bawah Presiden (bukan di bawah Markas Besar AD)
sehingga saat melaksanakan operasi tidak akan menimbulkan kecurigaan
dari para jenderal TNI-AD.
Keterlibatan Tjakrabirawa lebih
ditentukan oleh sosok Letkol Untung, yang memiliki rekam jejak militer
yang memungkinkannya membangun jejaring militer dengan kesatuan-kesatuan
AD lainnya yang bergabung dalam Gerakan 30 September, yaitu Batalion
454, Batalion 530, dan Brigade I. Beberapa peleton dari ketiga kesatuan
ini memperkuat Pasukan Pasopati. Batalion 454 dan 530 juga digelar untuk
melakukan pengamanan Istana dan kantor RRI.
Jejaring Letkol Untung dengan Batalion 454 telah dibangun sejak 1954.
Saat Gerakan 30 September digelar, Batalion 454 dipimpin oleh Mayor
Kuntjoro Judowidjojo, yang menjadi wakil komandan batalion saat Letkol
Untung menjabat Komandan Batalion 454. Kedekatan Letkol Untung dengan
Komandan Brigade I Kodam Djaya Kolonel A. Latief, yang juga berperan
dalam Gerakan 30 September, diawali di Batalion 454. Sebelum dipindahkan
ke Jakarta pada 1963, Brigade I merupakan bagian dari Tjadangan Umum
Angkatan Darat (Tjaduad) yang bermarkas di Ungaran, dekat dengan markas
Batalion 454.
Jika jejaring Letkol Untung yang dijadikan rujukan untuk
mengurai keterlibatan kesatuan-kesatuan AD dalam Gerakan 30 September,
pusat jejaring Gerakan ini bisa dilacak dari Batalion 454 Banteng
Raiders. Secara taktis militer, bisa dikatakan bahwa titik awal dan
titik akhir Gerakan 30 September adalah Batalion 454.
Karier
militer cemerlang Letkol Untung yang membawanya ke jabatan Komandan
Batalion I Tjakrabirawa berawal dari Batalion 454. Komandan Kompi
Tjakrabirawa yang juga Komandan Pasukan Pasopati, Letnan Satu Dul Arif,
juga pernah bertugas di Banteng Raiders langsung di bawah pimpinan Mayor
Ali Moertopo.
Penugasan ini terjadi pada akhir 1952, saat
Banteng Raiders digelar melawan Batalion 426 yang memberontak dan
bergabung dalam gerakan Darul Islam di perbatasan Jawa Tengah-Jawa
Barat. Kesatuan Banteng Raiders sendiri dibentuk oleh Kolonel Ahmad Yani
pada Juni 1952. Sebagai komandan brigade di wilayah Jawa Tengah bagian
barat, Kolonel Ahmad Yani memiliki ide membentuk kesatuan khusus yang
dapat diandalkan untuk melawan pemberontakan Darul Islam.
Kesatuan Banteng Raiders bentukan Ahmad Yani ini akhirnya menjadi
Batalion 454. Pada 1961, Batalion 454 (dan Batalion 530) dijadikan
bagian dari Tjaduad yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto. Tjaduad
yang dibentuk oleh KSAD Jenderal A.H. Nasution ini ditingkatkan menjadi
Kostrad pada Februari 1963.
Sebagai pimpinan Kostrad, Mayor
Jenderal Soeharto mengundang Batalion 454 (dan Batalion 530) untuk
berpartisipasi dalam perayaan 5 Oktober 1965. Sebagai Panglima Kostrad,
Mayor Jenderal Soeharto mengambil alih kepemimpinan operasional AD dan
memimpin operasi penumpasan Gerakan 30 September. Dalam operasi
penumpasan ini, Panglima Kostrad memerintahkan pasukan baret merah RPKAD
menghentikan petualangan militer pasukan baret hijau Batalion 454.
Sejarah akhirnya mencatat bahwa penumpasan Gerakan 30 September
berakhir dengan gelar operasi khusus yang dipimpin oleh Letkol Ali
Moertopo yang juga alumnus Banteng Raiders. Operasi khusus ini menjadi
awal kelahiran Kopkamtib yang turut memperkuat rezim politik-militer
Orde Baru.
(Tempo)
Sumber http://www.memobee.com/kesaksian-tjakrabirawa-yang-mengeksekusi-mayjen-m-t-haryono-ini-membuka-tabir-rahasia-g30s-pki-3277-sms.html
Pages
▼
Sabtu, 14 Februari 2015
Sabtu, 07 Februari 2015
Cara Haji Misbach Melawan Penyimpangan Dalam Islam
7 Februari 2011 | 18:35 WIB
Atas titah dari Tjokroaminoto, pemimpin utama Sarekat Islam (SI) kala itu, sebuah vergadering akbar akan segera dilakukan pada 24 Februari 1918, sekaligus akan mempertemukan antara Haji Misbach dan Martodharsono di atas podium. Vergadering itu rencananya akan dilakukan di Sriwedari, dan akan diikuti oleh sedikitnya 20.000 orang. Umat islam Surakarta sangat menunggu vergadering itu.
Pemicu pertikaian ini adalah artikel Djojosoediro di koran Djawi Hisworo, yang mana pemimpin redaksinya adalah Martodharsono. Pada saat itu, Djojosoediro, atas persetujuan dan dorongan dari Martodharsono, menulis:
“Ah seperti pegoeron (tempat beladjar ilmoe). Saja boekan goeroe, tjoemah bertjeritera atau memberi nasehat, keboetoelan sekarang ada waktoenja. Maka baiklah sekarang sadja. Adapon fatsal (selamatan) hoendjoek makanan itoe tidak perloe pakai nasi woedoek dengan ajam tjengoek brendel. SEBAB GOESTI KANDJENG NABI RASOEL ITOE MINOEM TJIOE A.V.H. DAN MINOEM MADAT, KADANG KLE’LE’T DJOEGA SOEKA. Perloe apakah mentjari barang jang tidak ada. Maskipon ada banjak nasi woedoek, kalau tidak ada tjioe dan tjandoe tentoelah pajah sekali.”
Umat Islam, terutama di Surakarta, gempar dengan tulisan tersebut. Sebagian besar menganggap bahwa tulisan tersebut merupakan pelecehan terhadap nabi Muhammad dan umat Islam. Sarekat Islam, sebagai organisasi islam terbesar kala itu, merasa wajib untuk melakukan pembelaan. Untuk itu, pada awal Februari 1918, Tjokroaminoto telah membentuk apa yang disebut Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM) untuk “memertahankan kehormatan Islam, Nabi, dan Kaum Muslimin”.
Martodharsono sendiri bukan orang sembarangan. Dia adalah murid Tirto Adhi Soerjo, sang pemula, dan Raden Pandji Natarata alias Raden Sastrawidjaja, ahli sastra dari Yogyakarta. Ketika artikelnya mulai mendapat respon dan kemarahan dari umat Islam, Martodharsono pun berusaha memberikan klarifikasi di koran “Djawi Hiswara”. Namun, klarifikasi tersebut tidak bisa memadamkan api yang sudah terlanjur berkobar.
Di Surakarta, Haji Misbach segera membentuk Sidik Amanat Tableg Vatonah (SATV) untuk memperkuat “kebenaran dan memajukan islam”. Akan tetapi, SATV ini jangan dibayangkan semacam milisi untuk memukul lawan, melainkan sebuah gerakan untuk mempropagandakan islam, mendirikan sekolah-sekolah bumi-putra, dan menerjemahkan Al-quran dan teks-teks keagamaan klasisk yang berbahasa Arab.
Bagi Haji Misbach, melawan penyelewengan terhadap ajaran islam tidak bisa dengan kekerasan, melainkan dengan bantahan lewat famplet dan tulisan-tulisan. Bahkan, untuk semakin memperkokoh islam itu, Haji Misbach mendorong berdirinya sekolah-sekolah dan pusat-pusat pengajaran. Ia menganjurkan kaum muslimin untuk terus “bergerak”, tidak diam atau pasif.
Coba anda bayangkan jika orang seperti Djojosoediro dan Martodharsono menulis artikelnya di era sekarang, maka ia bisa diserukan untuk dipenggal kepalanya oleh kelompok FPI dan sejenisnya. Tetapi, Haji Misbach dan umat islam saat itu melawan pelecehan dengan cara bijaksana dan terhormat.
KUSNO
http://m.berdikarionline.com/gotong-royong/20110207/cara-haji-misbach-melawan-penyimpangan-dalam-islam.html
Sembilan puluh dua tahun yang silam. Di Surakarta
tersiar kabar mengenai rencana debat antara Haji Misbach dan
Martodharsono. Jauh-jauh hari, kedua tokoh ini sudah saling serang di
media masing-masing: Haji Misbach dengan “Medan Moeslimin”, sedangkan
Martodharsono dengan koran “Djawi Hiswara”-nya.
Atas titah dari Tjokroaminoto, pemimpin utama Sarekat Islam (SI) kala itu, sebuah vergadering akbar akan segera dilakukan pada 24 Februari 1918, sekaligus akan mempertemukan antara Haji Misbach dan Martodharsono di atas podium. Vergadering itu rencananya akan dilakukan di Sriwedari, dan akan diikuti oleh sedikitnya 20.000 orang. Umat islam Surakarta sangat menunggu vergadering itu.
Pemicu pertikaian ini adalah artikel Djojosoediro di koran Djawi Hisworo, yang mana pemimpin redaksinya adalah Martodharsono. Pada saat itu, Djojosoediro, atas persetujuan dan dorongan dari Martodharsono, menulis:
“Ah seperti pegoeron (tempat beladjar ilmoe). Saja boekan goeroe, tjoemah bertjeritera atau memberi nasehat, keboetoelan sekarang ada waktoenja. Maka baiklah sekarang sadja. Adapon fatsal (selamatan) hoendjoek makanan itoe tidak perloe pakai nasi woedoek dengan ajam tjengoek brendel. SEBAB GOESTI KANDJENG NABI RASOEL ITOE MINOEM TJIOE A.V.H. DAN MINOEM MADAT, KADANG KLE’LE’T DJOEGA SOEKA. Perloe apakah mentjari barang jang tidak ada. Maskipon ada banjak nasi woedoek, kalau tidak ada tjioe dan tjandoe tentoelah pajah sekali.”
Umat Islam, terutama di Surakarta, gempar dengan tulisan tersebut. Sebagian besar menganggap bahwa tulisan tersebut merupakan pelecehan terhadap nabi Muhammad dan umat Islam. Sarekat Islam, sebagai organisasi islam terbesar kala itu, merasa wajib untuk melakukan pembelaan. Untuk itu, pada awal Februari 1918, Tjokroaminoto telah membentuk apa yang disebut Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM) untuk “memertahankan kehormatan Islam, Nabi, dan Kaum Muslimin”.
Martodharsono sendiri bukan orang sembarangan. Dia adalah murid Tirto Adhi Soerjo, sang pemula, dan Raden Pandji Natarata alias Raden Sastrawidjaja, ahli sastra dari Yogyakarta. Ketika artikelnya mulai mendapat respon dan kemarahan dari umat Islam, Martodharsono pun berusaha memberikan klarifikasi di koran “Djawi Hiswara”. Namun, klarifikasi tersebut tidak bisa memadamkan api yang sudah terlanjur berkobar.
Di Surakarta, Haji Misbach segera membentuk Sidik Amanat Tableg Vatonah (SATV) untuk memperkuat “kebenaran dan memajukan islam”. Akan tetapi, SATV ini jangan dibayangkan semacam milisi untuk memukul lawan, melainkan sebuah gerakan untuk mempropagandakan islam, mendirikan sekolah-sekolah bumi-putra, dan menerjemahkan Al-quran dan teks-teks keagamaan klasisk yang berbahasa Arab.
Bagi Haji Misbach, melawan penyelewengan terhadap ajaran islam tidak bisa dengan kekerasan, melainkan dengan bantahan lewat famplet dan tulisan-tulisan. Bahkan, untuk semakin memperkokoh islam itu, Haji Misbach mendorong berdirinya sekolah-sekolah dan pusat-pusat pengajaran. Ia menganjurkan kaum muslimin untuk terus “bergerak”, tidak diam atau pasif.
Coba anda bayangkan jika orang seperti Djojosoediro dan Martodharsono menulis artikelnya di era sekarang, maka ia bisa diserukan untuk dipenggal kepalanya oleh kelompok FPI dan sejenisnya. Tetapi, Haji Misbach dan umat islam saat itu melawan pelecehan dengan cara bijaksana dan terhormat.
KUSNO
http://m.berdikarionline.com/gotong-royong/20110207/cara-haji-misbach-melawan-penyimpangan-dalam-islam.html